Cek Kosong, Ilusi & Hayalan Dari Omnibus Law
by Anthony Budiawan
Jakarta FNN – Ahad (11/10). Sedih dan pilu nasib rakyat Indonesia. Kebijakan ekonomi berdasarkan coba-coba tanpa kajian menyeluruh dan masuk akal. Kebijakan coba-coba ini hanya berdasarkan intuisi. Yang ternyata salah arah. Atau memang tujuannya mau menguntungkan pihak tertentu saja? Mereka itu adalah oligarki, korporasi dan konglomerasi.
Target pertumbuhan ekonomi 2015-2019 dipatok 7 persen. Realisasinya jauh di bawah itu. Jauh panggang ari api. Pertumbuhan ekonomi 2015 hanya 4,9 persen. Akibatnya, pemerintah kelihatan bingung dan penik. Jurus kebijakan coba-coba mulai dijalankan.
Sejak 2015 pemerintah mulai menerbitkan Paket Kebijakan Ekonomi (PKE). Katanya untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi menjadi 7 persen. Hasilnya? Silahkan cari di laut bebas. Tidak hanya satu kebijakan, tetapi berjilid-jilid. Puncaknya 16 November 2018, pemerintah menerbitkan PKE jilid XVI yang sangat absurd dan akhirnya harus direvisi atau dibatalkan.
PKE intinya kebijakan insentif perpajakan untuk menarik investasi dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Tetapi, hasilnya nihil. Pertumbuhan ekonomi 2015-2019 rata-rata hanya 5 persen per tahun. Lebih rendah dari dua periode 5 tahun sebelumnya. Pertumbuhan rata-rata 2005-2009 dan 2010-2014 masing-masing 5,6 persen dan 5,8 persen per tahun.
Kemudian pemerintah mengeluarkan kebijakan Tax Amnesty (TA) yang berlaku Juli 2016 hingga Maret 2017. Tax Amnesty lagi-lagi memberi janji angin surga. Janji manis ditebar pemerintah dan pengikut intelektualnya. Setara dengan pengikut yang aktif di medsos. Propagandanya sangat militan. Sampai mengancam bagi yang tidak ikut Tax Amnesty.
Janji manis Tax Amnesty sebagai berikut. Pertama, Tax Amnesty akan membawa kembali uang penduduk Indonesia yang disimpan di luar negeri. Nilainya fantastis, sekitar Rp 4.000 triliun, bahkan sampai Rp 11.000 triliun. Kedua, dengan uang hasil Tax Amnesty itu, akan membuat pertumbuhan ekonomi meroket. Ketiga, Tax Amnesty membuat rasio penerimaan pajak terhadap PDB naik drastis. Dari 11 persen menjadi 14,6 persen pada 2019.
Janji Tax Amnesty ternyata tidak terbukti. Pertumbuhan ekonomi hanya rata-rata 5 persen per tahun pada 2015-2019. Rasio penerimaan pajak 2019 malah turun menjadi 9,8 persen. Uang yang masuk (repatriasi) dari luar negeri hanya Rp 146 ,6 triliun. Jauh di bawah nilai propaganda.
Yang menjadi “korban” Tax Amnesty malah penduduk di dalam negeri. Nilai harta dalam negeri yang dilaporkan sebesar Rp 3.633,1 triliun. Padahal banyak harta ini diperoleh dari hasil kerja yang sudah bayar pajak. Tetapi belum dilaporkan di SPT Tahunan yang memang sebelum tahun 2008 tidak diwajibkan untuk itu. Sedangkan harta luar negeri yang dilaporkan terkait Tax Amnesty hanya Rp 1.180 triliun, jauh di bawah nilai propaganda.
Kebijakan PKE dan Tax Amnesty dapat dikatakan gagal. Tetapi, pelaku penggelapan pajak sudah terbebas dari ancaman pidana penggelapan pajak. Pemerintah, dan DPR yang menyetujui Tax Amnesty, aman-aman saja. Juga bebas dari segala konsekuensi akibat kegagalan dalam mengambil kebijakan yang merugikan masyarakat luas dan menguntungkan segelintir orang saja.
Karena tidak sanksi atas kegagalan kebijakan ini. Karena tidak ada mekanisme pemberian tanggung jawab kepala negara kepada rakyat. Akibat hak konstitusi rakyat sudah dirampok dengan UUD “palsu”. Sebelumnya, presiden Soekarno turun karena pertanggung jawabannya tidak diterima MPR. Begitu juga presiden Habibie. Ooh betapa buruknya nasib rakyat Indonesia sekarang ini.
Setelah Tax Amnesty, kini giliran Omnibus Law Cipta Kerja dimainkan. Maksudnya dikenalkan ke publik. RUU Cipta Kerja yang diumpan pemerintah sudah disahkan DPR menjadi UU pada 5 Oktober 2020. Pengesahan UU ini disambut gelombang protes dari berbagai elemen masyarakat.
Seperti biasa, pro dan kontra saling sikut menyikut. Pihak kontra mengatakan UU ini sangat merugikan masyarakat termasuk buruh, pekerja dan petani. Bahkan ada yang mengatakan UU ini membuat sistem perbudakan di Indonesia aktif kembali. Tragis mendengarnya. Selain itu, 35 investor global menyuarakan kekhawatirannya terhadap potensi kerusakan lingkungan hidup.
Pemerintah tentu saja ada alasan mengapa begitu ngotot mau mengesahkan UU Cipta Kerja. Alasannya klasik, sama seperti alasan Tax Amnesty. Yaitu, untuk menarik investasi sebesar-besarnya. Investasi asing maupun dalam negeri. Menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Benarkah propaganda ini? Benarkah UU Cipta Kerja akan meningkatkan investasi? Jangan-jangan propaganda ini akan menjadi cek kosong belaka, seperti pada kebijakan Tax Amnesty. Maksudnya, semua janji manis hanya isapan jempol saja. Kalau ini sampai terjadi, apakah pemerintah dan DPR berani bertanggung jawab karena sudah begitu ngotot mengesahkan UU tersebut, meskipun diiringi protes dan korban jiwa? Misalnya, mengundurkan diri kalau gagal?
Masalah ekonomi yang lemah saat ini bukan karena UU. Karena dengan menggunakan UU yang sama, pertumbuhan investasi pada periode 5 tahun sebelumnya (2010-2014) bisa lebih tinggi dari periode 5 tahun terakhir (2015-2019). Pertumbuhan investasi pada periode 2010-2014 rata-rata 27 persen per tahun. Jauh lebih tinggi dari periode 2015-2019 yang hanya 10,3 persen.
Pertumbuhan PMA dan PMDN periode 2010-2014 masing-masing 21,4 persen dan 32,8 persen. Juga jauh lebih tinggi dari periode 2015-2019 yang masing-masing minus 0,23 persen dan plus 19,9 persen. Padahal pemerintahan SBY pada periode kedua tersebut juga menggunakan UU yang sama, dengan pemerintahan Jokowi, yaitu UU yang belum diganti dengan UU Cipta Kerja.
Berdasarkan fakta ini, sangat tidak tepat menyalahkan UU atas pelambatan investasi. Oleh karena itu, solusinya bukan mengganti UU. Tapi seharusnya mengganti pengelola negara. Maksudnya, anggota kebinet yang tidak mampu. Selain itu, pemerintah dan DPR harus bertanggung jawab kalau kebijakan yang sudah makan korban nyawa ini ternyata gagal. Harus ada konsekuensinya. Berani?
Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS).