Celaka Omnibus Law Cilaka

Oleh Dimas Huda

Jakarta, FNN - "Maka celakalah orang-orang yang menulis kitab dengan tangan mereka (sendiri), kemudian berkata, "Ini dari Allah," (dengan maksud) untuk menjualnya dengan harga murah. Maka celakalah mereka, karena tulisan tangan mereka, dan celakalah mereka karena apa yang mereka perbuat."(QS Al-Baqarah 79).

Ada tiga kata celaka dalam Surat Al-Baqarah itu. Kata pertama “celaka” dalam tafsir Jajalayn disebut sebagai “siksaan berat”. Sedangkan Quraish Shihab menafsirkan “kebinasaan dan siksaan”.

Sementara itu kbbi.web.id, menerjemahkan arti celaka “v 1 (selalu) mendapat kesulitan, kemalangan, kesusahan, dan sebagainya; malang; sial”.

Belakangan kata “celaka” menjadi buah bibir. Ya, setelah pemerintah menyerahkan Surat Presiden (Surpres) sekaligus draf dan naskah akademik Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja ke DPR RI. Hanya saja, “celaka” itu dilafalkan dengan “cilaka”.

Kalangan aktivis dan cerdik pandai menyebut RUU Cilaka untuk draf RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Kata “cilaka” adalah akronim dari “cipta lapangan kerja”. Merespon itu, Presiden Joko Widodo lalu mengubahnya menjadi RUU Cipta Kerja disingkat “cika”.

Saat pertama kali dicetuskan, nama yang muncul sebenarnya adalah RUU Omnibus Law Kemudahan Berusaha dan Daya Saing. Lantaran ada kesan RUU ini hanya untuk kepentingan pengusaha alias tidak pro buruh, maka nama itu ditanggalkan. Diganti. Dimunculkanlah nama “cipta lapangan kerja”. Celakanya, banyak pihak kelewat cerdas sehingga membuat akronim “cilaka”. Kalangan buruh bahkan ada menyebut “Cilaka 12”, untuk 12 alasan menolak RUU ini.

Jokowi mengganti “cilaka” menjadi “cika”. Hanya saja, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, membikin nama yang berbeda. Ia lebih suka dengan “ciptaker” kependekan dari cipta kerja.

Wakil Ketua Komisi IX, Sri Rahayu, juga punya akronim yang berbeda lagi. "Disingkat cilaka enggak bagus, makanya (kata) lapangannya dihapus, jadi cipta kerja jadi ciker," ujarnya, saat menerima audensi dari perwakilan massa aksi buruh di ruang rapat Komisi IX Rabu (12/2).

Sapu Jagat

Seperti yang sudah terjadi, RUU Cilaka alias Cika alias Ciker alias Ciptaker ini kini sudah sampai ke Senayan. Para buruh menolak dan menggelar aksi demonstrasi. Mereka menilai RUU ini sarat kepentingan pengusaha.

Bakal UU “sapu jagat” ini memang penuh kontroversi lantaran melebur sejumlah perundang-undangan dalam satu keranjang. Tujuannya bagus, meringkas berbagai macam peraturan yang selama ini dinilai menghambat investasi.

Akan tetapi, sejak diwacanakan Jokowi, penyusunan RUU ini sangat tertutup. Tak seperti lazimnya sebuah RUU, naskah akademiknya tidak bisa diakses. Masyarakat pun buta tentang apa saja yang bakal diatur dalam RUU itu. Padahal, masukan dari para pemangku kepentingan sangat vital dalam penyusunan sebuah RUU.

Dalam sejarah penyusunan perundang-undangan, baru pada rezim pemerintahan sekarang sebuah RUU dikerjakan secara kilat, tak melibatkan masyarakat, dan sulit diakses. Sebut saja penyusunan RUU KPK yang tak mengajak KPK dan ujung-ujungnya membuat lembaga antirasuah itu kehilangan taji. Melempem.

Demikian halnya RUU Cilaka alias Cika alias Ciker alias Ciptaker. Dalam urusan ketenagakerjaan, RUU ini justru banyak memangkas hak tenaga kerja. Salah satunya adalah ketentuan mengenai permohonan PHK yang harus diajukan tertulis kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial serta alasan yang menjadi dasarnya. Artinya, dengan RUU ini, pengusaha bisa memecat karyawan secara semena-mena.

Wajar jika ada yang bilang RUU ini merupakan alat pemerintah untuk mendapatkan investasi asing melalui cara-cara kolonial. Substansi RUU Cilaka menyerupai watak pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Mereka menyebut konsep sistem ketenagakerjaan dalam RUU mirip aturan Koeli Ordonantie masa kolonial Belanda. Aturan itu untuk menjamin pengusaha dapat mempekerjakan kuli perkebunan tembakau dengan upah sangat murah dan tanpa perlindungan. Para buruh juga diancam hukuman kerja paksa sementara pengusaha yang melanggar aturan hanya dikenakan sanksi denda ringan.

Lebih jauh lagi bahkan ada yang bilang Omnibus Law Cilaka mengembalikan politik pertanahan nasional ke zaman kolonial karena semangatnya sama dengan ketentuan dalam Agrarische Wet 1870. Kedua aturan tersebut sama-sama berambisi untuk mempermudah pembukaan lahan sebanyak-banyaknya untuk investasi asing dengan merampas hak atas tanah dan ruang kelola masyarakat adat dan lokal.

Formalisme hukum yang kuat dalam RUU menghidupkan kembali semangat domein verklaring khas aturan kolonial. Masyarakat kehilangan hak partisipasi dan jalur upaya hukum untuk mempertahankan tanah yang mereka kuasai.

Terlebih, guna memuluskan RUU Cilaka, Presiden Joko Widodo meminta kepada Kejaksaan, kepolisian dan Badan Intelijen Negara atau BIN untuk mendukung dan mengantisipasi ancaman aturan ini. Lagi-lagi, penggunaan alat negara seperti ini menyerupai kerja kepolisian kolonial Hindia Belanda yang ditugaskan memata-matai, menangkap, dan menyiksa rakyat saat itu.

Kejanggalan lainnya adalah direduksinya beberapa ketentuan tentang pembakaran hutan oleh korporasi. Belum lagi dengan dihapusnya pasal tentang ruang partisipasi publik untuk mengoreksi atau menguji izin lingkungan dan/atau izin usaha melalui peradilan administrasi.

Selanjutnya, hak paten juga dikebiri. Hak dan kewajiban pemegang paten akan dihapus. Padahal, ketentuan ini dirancang untuk mendukung dan memberi landasan bagi alih teknologi, penyerapan, investasi, dan penyediaan lapangan kerja. Harus diingat, belum tentu pemegang paten adalah investor yang akan membuka usaha di Indonesia.

Jika tidak hati-hati membahasnya, RUU ini memang bisa membikin kita “cilaka”

Penulis wartawan senior.

946

Related Post