Ciomas 20 Mei 1886
Oleh Ridwan Saidi, Budayawan
SEJAK Nederlands Indie efektif berkuasa tahun 1826 mereka ubah status tanah adat menjadi tanah particulier. Tanah2 dijual pada pemodal2 asing. Antara lain tanah persawahan di Ciomas, Bogor, di kaki Gunung Salak yang kemudian menjadi milik Tuan de Sturler, Belanda.
Sturler mempekerjakan demang dan pencalang yang galaknya bukan main.
Sistem upah kepada petani 12,5 sen per hari. Hari kerja berupah dalam sebulan 25 hari, yang lima hari disebut nian, kerja tanpa upah. Tiap panen, petani beroleh derep, tiap hasil panen lima pikul petani terima sepikul, dan kena pajeg, pajak.
Camat tak melindungi rakyat malah ikut menindas dan memeras.
Bulan Februari 1886 Ciomas yang berhawa dingin memanas. Camat Abdurrahman terbunuh. Apan, tersangka pelaku, dan beberapa petani melarikan diri ke Pasir Paok.
Di antara petani yang lari itu terdapat Idris yang ternyata otak dari perlawanan ini. Tidak ada keterangan sedikit pun yang dipunyai spion Belanda tentang Idris. Diperkirakan ia murid Cing Sairin Cawang yang kala itu masih muda.
Setiap usai panen bertempat di rumah istirahat Tuan Tanah di Gadog diadakan acara sedekah bumi dengan mabuk2an. Kaki tangan Belanda kumpul semua.
Idris dan anak buah kumpul di Ciomas selatan. Dalam time budget terukur kaum revolusioner itu bergerak ke Gadog. Mereka yang lagi mabuk2an diserang dan dibunuh. Ada 41 yang mati. Peserta pesta berhamburan lari dan diburu. Ada 70 orang yang luka2.
Tak satu pelaku penyerangan yang ditangkap. Peristiwa ini terjadi pada malam Jumat 20 Mei 1886.
Kemana Idris dan anak buahnya? Diduga mereka ke Cilegon gabung dengan Haji Wasid yang menyiapkan pemberontakan Cilegon 1888.
Tak ada ruang bagi pejuang-pejuang rakyat untuk putus asa. (*)
Sumber:
1. Protest movement in rural Java, 1973
2. Majalah Tani, 0ktober 2008.
RSaidi