Demokrasi Majemuk

Yudi Latif, Cendekiawan Muslim, Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia

Demokrasi juga memerlukan tata kelola politik dan pemerintahan yang lebih inklusif, yang tak hanya mempertimbangkan suara mayoritas individu, tapi juga representasi berbagai golongan (marjinal), dan asal-usul teritorial.

Oleh: Yudi Latif, Cendekiawan Muslim, Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia

SAUDARAKU, di kamar hotel, dengan latar Masjid Syeikh Zayed, Solo, nan anggun, sebuah buku menemaniku mengarungi senja, hingga tirai malam menutup pembacaan.

Judulnya The Great Experiment: Why Diverse Democracies Fall Apart and How They Can Endure, karya Yascha Mounk (2022).

Bahwa gelombang pasang politik identitas destruktif di berbagai belahan bumi menunjukkan gejala terjadinya ketergagapan demokrasi dalam menangani kecenderungan pluralisasi etno-kultural.

Perkembangan demokrasi sejak awal pertumbuhannya spt di Athena hingga demokrasi modern di AS terbiasa menangani masyarakat homogen (mono-etnik), atau masyarakat dengan suatu etnik (SARA) yang mendominasi dan mengeksploitasi kelompok lain.

Sutu Kerajaan atau Kekaisaran lebih berpengalaman dan lebih baik dalam menangani masyarakat heterogen (multi-etnik). Alasannya, di dalam kerajaan (kekaisaran), rakyat tak terlalu berpengaruh dalam menentukan hukum dan kebijakan. Dalam demokrasi, peran rakyat sangat menentukan, oleh karena itu setiap kelompok bersaing untuk menentukannya.

Sebegitu jauh, belum pernah ada demokrasi yang berhasil dalam menangani masyarakat majemuk secara setara, dengan memperlakukan anggota setiap kelompok SARA secara fair.

Masyarakat heterogen telah lama menderita akibat dari dominasi kelompok mayoritas atau kelompok minoritas, serta anarki permusuhan antarkelompok karena lemahnya otoritas pemerintahan.

Tak heran, banyak orang pesimis bahwa masyarakat heterogen itu bisa hidup berdampingan dalam harmoni, dan mulai tergoda seruan fasistik.

Menghadapi tantangan itu, demokrasi harus menjalani proses eksperimentasi baru. Demokrasi kian perlu mengembangkan budaya kewargaan multikultural dengan memperluas jaring konektivitas dan inklusivitas antarkelompok, yang disertai usaha mengurangi ruang “sakral” (momen individu lenyap ke dalam emosi kelompok) dengan membuka ruang “profan” (momen individu bisa otonom).

Demokrasi juga memerlukan tata kelola politik dan pemerintahan yang lebih inklusif, yang tak hanya mempertimbangkan suara mayoritas individu, tapi juga representasi berbagai golongan (marjinal), dan asal-usul teritorial.

Diperkuat tata sejahtera berkeadilan dan berkemakmuran untuk yang dapat menghindari kecemburuan sosial, menumbuhkan rasa aman dan percaya. (*)

329

Related Post