Denny Indrayana: Kita Harus Pastikan Presiden Pilihan Rakyat bukan Pilihan Uang
Jakarta, FNN - Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Denny Indrayana mengklarifikasi sejumlah isu yang menjadi topik pembicaraannya dengan Menko Polhukam Mahfud Md pada pertemuan 25 Januari 2023 lalu.
Ia mengirim kronologi peristiwa tersebut ke sejumlah media termasuk FNN. Berikut rilis utuhnya:
SIARAN PERS DENNY INDRAYANA
TANGGAPAN TERHADAP DOORSTOP MENKOPOLHUKAM MAHFUD MD DAN ALASAN SAYA MEMILIH ANIES BASWEDAN
Terhadap wawancara doorstop yang disampaikan oleh Menkopolhukam Prof. Dr. Moh. Mahfud MD hari Selasa (31 Januari 2023) yang lalu, yang menyebut pertemuan dengan saya, izinkan saya menyampaikan penjelasan sebagai berikut:
1. Saya memang rutin meminta waktu dan bertemu dengan Menkopolhukam Prof. Dr. Moh. Mahfud MD. Tujuannya adalah untuk silaturahmi dan saling berbagi informasi. Kebetulan, saya masih sering bolak-balik Melbourne-Jakarta, karena kantor saya INTEGRITY Law Firm ada di kedua negara tersebut. Bahkan, atas bantuan rekomendasi Prof. Mahfud juga, alhamdulillah, saya menjadi satu-satunya orang Indonesia yang punya izin praktik pengacara di Indonesia dan Australia. Prof Mahfud termasuk pejabat negara yang bersedia meluangkan waktu dan mudah ditemui. Biasanya setiap baru datang dari, atau akan berangkat ke Melbourne, saya meminta waktu Beliau, dan selalu dengan mudah dan ramah ditemui.
2. Dalam berbagai pertemuan, baik di rumah dinas ataupun kantor Menkopolhukam tersebut, biasanya kami mendiskusikan situasi politik dan hukum terakhir. Saling berbagi informasi dan cerita, serta bertukar pikiran. Pak Mahfud adalah akademisi dan politisi yang saya hormati dan menjadi tempat saya meminta saran dan pendapat. Benar, sebagai junior, saya menganggap Beliau sebagai tokoh politik-hukum yang bisa dijadikan panutan. Meskipun dalam posisi sekarang sebagai Menkopolhukam beberapa rekan tidak jarang berpandangan negative atas beberapa pernyataan Prof. Mahfud di media, saya sering dapat memahami dan menyatakan, “Tidak mudah berposisi di lingkaran dalam pemerintahan. Saya pernah mengalaminya sewaktu menerima amanah sebagai Staf Khusus Presiden (2008-2011) ataupun Wamenkumham (2011-2014). Ruang gerak Prof. Mahfud sebagai Menkopolhukam, bawahan Presiden, pasti lebih sempit ketimbang saat masih bebas selaku pengamat/akademisi. Tapi saya tetap mempercayai kapasitas dan integritas antikorupsi Beliau.”
3. Di pertemuan terakhir pada Rabu, 25 Januari lalu di kediaman dinas, kami sempat mendiskusikan banyak hal. Tidak semua bisa saya ceritakan dalam rilis ini. Tetapi sedikit di antaranya, memang akhirnya menjadi cukup viral ketika dijadikan konten di channel Refly Harun. Forumnya sendiri sebenarnya adalah Focus Group Discussion, dimana saya dan beberapa pengamat politik, ekonomi dan hukum tata negara diundang oleh rekan Jumhur Hidayat untuk berbicara soal kemungkinan penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden. Di forum itu saya menyampaikan analisis dan pendapat saya, termasuk bercerita sedikit soal diskusi dan tukar pikiran saya dalam beberapa pertemuan dengan Prof. Mahfud.
4. Pada pertemuan di malam rabu tersebut, di antara yang saya dan Prof Mahfud bicarakan adalah:
a. Memang ada politisi—yang tidak perlu saya sebutkan nama dan partainya—menyampaikan kepada Prof. Mahfud bahwa dia dan kelompoknya telah siap untuk mengadakan Sidang Istimewa MPR, sekaligus melakukan perpanjangan ataupun pemilihan Presiden, sehingga tidak diperlukan lagi Pemilu 2024. Skenarionya, Sidang Istimewa MPR diadakan saat Presiden Jokowi sedang melakukan kunjungan kenegaraan di luar negeri. Atas gerakan politik demikian, Prof. Mahfud dengan tegas mengatakan, bahwa perintah dari Presiden Jokowi tetap mengadakan dan menyukseskan pelaksanaan Pemilu 2024. Saya dan rekan-rekan civil society diminta Beliau untuk melakukan langkah-langkah advokasi agar Pemilu 2024 tidak gagal dilaksanakan, dan yang lebih penting berlangsung secara jujur dan adil.
b. Saya juga menyampaikan kepada Prof. Mahfud, saya dan seorang tokoh akademisi dan antikorupsi dari Yogyakarta—tidak perlu juga saya sebutkan namanya—bersepakat untuk mendukung Anies Baswedan dalam pilpres 2024 yang akan datang. Perlu saya koreksi, tidak benar juga kalau dikatakan saya meminta izin kepada Pak Mahfud. Yang benar, saya menyampaikan informasi dukungan tersebut. Atas pernyataan saya tersebut, Prof Mahfud menyatakan, “Bagus. Bagusnya memang Anies Baswedan bisa menjadi capres.” Meskipun kemudian Beliau mengatakan, “Apakah teman-teman tidak mau mempertimbangkan calon presiden lain?” Lalu Beliau menyampaikan capres preferensinya, yang tidak etis saya sampaikan namanya di sini.
c. Sedangkan soal ada kasus-kasus hukum yang digunakan untuk menyandera beberapa pimpinan partai, termasuk soal KPK yang menyampaikan ke Pak Mahfud untuk mentersangkakan seorang Ketum Parpol, sebenarnya adalah materi diskusi kami di pertemuan sebelumnya. Prof Mahfud mengatakan, “Kepada Ketua KPK saya sampaikan, jalankan sesuai bukti dan proses hukum saja. Jangan dicampur-adukkan dengan politik.” Pandangan mana, yang tentu saja saya setujui.
Saya juga menyampaikan concern kepada Prof Mahfud, bahwa hukum hanya dijadikan alat alias instrumen strategi mempertahankan dan memenangkan kekuasaan saja, dengan atau bahkan tanpa pemilu 2024, jika diperlukan. Sehingga, kasus hukum dijadikan alat tawar (bargaining) untuk memaksa parpol atau tokoh bangsa untuk berposisi dan berkoalisi menjelang hajat besar Pilpres 2024. Sesuatu yang tentu saja tidak sehat dan harus dilawan, untuk memastikan Pilpres 2024 betul-betul terlaksana, tanpa politik uang dan tanpa politik curang.
5. Mengenai pilihan saya kepada Anies Baswedan, yang akhirnya disampaikan Prof. Mahfud dalam doorstop kemarin, dapatlah saya jelaskan secara singkat sebagai berikut:
Dalam setiap pemilihan presiden, saya memilih capres dengan dua kata kunci: Constitution dan Anti-Corruption. Di Pemilu 2014, saya memilih Capres Jokowi, dan memberikan salam dua jari setelah pencoblosan, meskipun masih berposisi sebagai Wamenkumham. Sayangnya, kebijakan politik-hukum Jokowi ternyata banyak yang dalam pandangan saya melanggar konstitusi. Lebih jauh, di periode kedua ini, KPK dilumpuhkan dengan Presiden Jokowi menyetujui Perubahan UU KPK. Pelumpuhan KPK itulah yang menurut saya memberi kontribusi langsung pada turunnya Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia menurut Transparency International dari 38 ke 34, hal mana baru saja dirilis kemarin. Itulah rekor penurunan IPK terburuk dalam sejarah reformasi Indonesia.
Dengan tetap menghormati para bakal capres yang lain, Anies Baswedan menurut saya adalah tokoh yang rekam jejaknya paling mendekati kedua parameter yang saya pegang tersebut: Konstitusi dan Anti-Korupsi. Pasti ada saja yang tidak sependapat, namun itulah pandangan dan penilaian saya. Saya mengenal Anies Baswedan sejak lama 20 tahun yang lalu, ketika masih sama-sama sebagai mahasiswa di UGM, Yogyakarta. Saat mana, Anies sudah menunjukkan leadershipnya ketika menjadi Ketua Senat Mahasiswa UGM.
Soal Konstitusi, kalau sekarang kepada Anies sering disematkan sebagai “Bapak Politik Identitas”, maka menurut saya itu adalah propaganda keliru, yang sengaja dihembuskan oleh para buzzerRp, yang memang ditugaskan untuk mendiskreditkan citra Anies.
Soal Anti-Korupsi, saya bersama-sama dengan Anies Baswedan menjaga dan mempertahankan KPK yang kuat dan independen. Termasuk, ketika sama-sama menjadi anggota Tim Delapan. Tim independen kepresidenan yang dibentuk untuk melawan kriminalisasi dua pimpinan KPK, Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto. Dimana Anies Baswedan didapuk menjadi Juru bicaranya, dan saya menjadi Sekretaris timnya, dipimpin almarhum Dr. Adnan Buyung Nasution. Anies pula gubernur yang membentuk TGUPP, atau dikenal dengan KPK Jakarta, untuk memastikan agenda antikorupsinya di Ibu Kota Jakarta.
Lebih jauh, kenapa saya mendukung Anies Baswedan, akan saya tuliskan pada artikel lain yang lebih lengkap. Untuk rilis kali ini, cukup demikian. Mari kita menjadi pemilih cerdas, dengan memastikan Pemilu 2024 terlaksana dengan free and fair. Serta, Capres yang kita dukung adalah berdasarkan rekam jejak kapasitas dan integritasnya, bukan karena alasan lain. Apalagi karena pilihan dukungan oligarki ataupun uang. DEMOkrasi, Daulat Rakyat, harus kita menangkan kembali, melawan DUITokrasi, Daulat Duit. Kita harus pastikan presiden adalah pilihan rakyat, bukan presiden pilihan uang!
Salam Integritas,
Prof. Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D.