Dewan Pers Akan Cabut Kartu PWI Pak Kapolsek, 14 Tahun Nyamar Jadi Wartawan
Jakarta, FNN - Berita tentang seorang wartawan atau kontributor TVRI yang bikin kaget karena tiba-tiba saja diangkat menjadi Kapolsek di Karadenan, Blora, Jawa Tengah, kembali dibahas dalam Kanal Youtube Hersubeno Point edisi Rabu (14/12/22) bersama Hersubeno Arief, wartawan senior FNN.
Seperti diketahui bahwa selama 14 tahun terakhir, Umbaran Wibowo memang dikenal sebagai wartawan, yaitu sebagai kontributor TVRI wilayah Jawa Tengah. Tetapi, Senin,12 Desember 2022, kemarin Umbaran bikin geger karena dia tiba-tiba dilantik menjadi Kapolsek dengan jabatan perwira. Soal ini mendapat banyak sorotan dari kalangan netizen dan tentu para pemerhati pers, khususnya yang konsen dengan kemerdekaan dan independensi pers.
Dewan Pers menyatakan bahwa mereka akan meneliti dan kalau terbukti melakukan pelanggaran maka kartu keanggotaan Iptu Umbaran sebagai anggota PWI akan dicabut. Tentu harus berkomunikasi terlebih dahulu dengan lembaga pengujinya atau lembaga tempat dia bernaung sebagai wartawan, dalam ini adalah Persatuan Wartawan Indonesia. “Saya kira ini memang pasti akan dilakukan karena sudah diakui statusnya sebagai anggota Polri,” ujar Hersubeno Arief.
Dengan statusnya sebagai anggota Polri aktif, dia tidak boleh lagi merangkap sebagai seorang wartawan. Dalam situs Dewan Pers juga sudah diketahui bahwa status Umbaran Wibowo jelas memang diakui sebagai wartawan PWI yang tergabung dalam PWI sebagai wartawan madya. Ini termasuk wartawan senior karena satu jenjang lagi menjadi wartawan utama. Jika sudah menjadi wartawan utama maka dia bisa menjadi pemimpin di lembaga penerbitan. Misalnya bisa menjadi Pemimpin Redaksi atau Pemimpin Umum.
Polda Jawa Tengah juga sudah mengakui bahwa Inspektur Satu Umbaran Wibowo adalah anggota intelijen. Kepala Bidang Humas Polda Jawa Tengah, Komisaris Besar Polisi M. Iqbal Al Qudusi sudah membenarkan bahwa Iptu Umbaran Wibowo adalah anggota Polri. Penjelasan Iqbal ini sekaligus membantah rumor bahwaUmbaran dipecat dari anggota Polri setelah kasusnya meledak ke publik. Menurut Iqbal, Umbaran memang pernah bekerja sebagai kontributor TVRI untuk wilayah Pati. Dia bukan pegawai tetap TVRI, tetapi dia pernah ditugaskan untuk melaksanakan tugas intelijen di wilayah Blora. “Jadi, clear bahwa dia ini anggota Polri yang melaksanakan tugas intelijen dan menggunakan wartawan sebagai covernya,” ujar Hersu.
Bahwa dia merupakan anggota Polri sebelumnya juga sudah diakui oleh Umbaran. Dia menyatakan bahwa menjadi wartawan adalah penugasan dari pimpinan. Umbaran adalah anggota satuan intelijen keamanan dari Polri. Artinya, Umbaran memang anggota Polri yang sengaja disusupkan ke lingkungan dunia jurnalistik. “Soal ini yang saya kira harus kita bahas dan ini serius, perlu dipersoalkan oleh komunitas media, terutama saya kira PWI, karena organisasi ini disusupi oleh Umbaran dengan menjadi anggotanya,” usul Hersu. Dikutip dari kumparan.com, ternyata Umbaran pernah terlibat dalam penyelenggaraan pemilihan Kepala Desa di Desa Tutup, Blora. Tidak dijelaskan apa posisinya dalam penyelenggaraan Pilkades tersebut. “Pertanyaannya, apa diperbolehkan seorang anggota Polri aktif terlibat dalam kontestasi politik, sekalipun itu pada tingkat desa?” tanya Hersu.
Berkaitan dengan kontestasi politik ini, Dewan Pers pernah menerbitkan edaran bahwa seorang wartawan yang maju dalam pilkada dan atau menjadi tim sukses pasangan calon, diminta untuk segera nonaktif atau mundur sebagai wartawan. Dalam aturan Dewan Pers, seorang wartawan juga tidak boleh sedang menjadi anggota partai politik, anggota legislatif, atau rangkap jabatan dengan profesi lain, termasuk di instansi swasta, menjadi anggota Polri, atau menjadi anggota TNI. Wartawan itu juga tidak boleh menjadi humas instansi, baik swasta maupun pemerintah. Menurut Ghersu, hal ini berkaitan dengan konflik kepentingan dan independensi dari seorang wartawan, dan saya yakin Polri sebagai kelembagaan pasti sudah mengetahui. “Pertanyaannya, dengan pengakuan Polda Jawa Tengah itu, berapa banyak anggota Polri yang menyamar menjadi wartawan? Apakah praktik semacam ini biasa dan telah berlangsung lama?” tanya Hersu.
Kalau mengacu pada kasus itu Umbaran Wibowo, setidaknya kasus ini sudah berlangsung selama 14 tahun. “Saya yakin ini pasti bukan satu-satunya polisi yang ditugaskan sebagai wartawan. Ini pasti ada semacam kebijakan untuk menyusupkan anggota polisi sebagai wartawan,” tegas Hersu. Sebagai lembaga penegak hukum, lanjut Hersu, harusnya Polri juga mengetahui bahwa praktik semacam itu melanggar hukum dan sangat berbahaya karena mencederai praktek demokrasi. Karena bagaimanapun juga kemerdekaan pers harus dijunjung tinggi dan itu menjadi salah satu ciri utama dari sebuah negara demokrasi.
Soal lain yang disorot Hersu adalah mengapa akhirnya Polri, meskipun secara tidak langsung, membongkar penyamaran Umbaran dengan melantiknya menjadi Kapolsek. Bukankah dalam dunia intelijen, seperti CIA di Amerika, misalnya, ada kredo yang dijunjung sampai mati? Kredonya seperti ini: “Jangan buat pengakuan apapun, bantah semuanya, dan buat serangan balik dengan berbagai tuduhan”. Sedangkan kredo intelijen Indonesia seperti ini kira-kira: “Mati tidak dicari, sukses tidak dipuji, jika sampai gagal dimaki-maki”. Tapi mungkin itu prinsip Badan Intelijen Negara. Kalau polisi mungkin menganggap kalau penugasannya selesai maka ditarik kembali dan kembali masuk organik. (sof)