Diberitakan Masuk Angin, Ketua DPD RI: "Saya Bersumpah Tak Ada Barter Politik dengan Jokowi"

Jakarta, FNN - Pernyataan dari ketua DPD RI, La Nyalla Mahmud Mattality, menjadi perbincangan yang menarik dan kontroversial, sejak kemarin. Hal itu terjadi karena menyangkut perpanjangan masa jabatan Pak Jokowi. Kalau soal Dekrit dan kembali ke Undang-Undang Dasar  ’45, orang mungkin jarang yang ingat. Yang diingat orang hanya perpanjangan masa jabatan presiden 2 sampai 3 tahun. Bahkan, Hersubeno Arief, wartawan  senior FNN, sempat menyebut La Nyalla “masuk angin”. Rupanya sebutan ini membuat La Nyalla tidak berkenan, sehingga secara fair Hersubeno Arief memberikan hak jawab kepada La Nyalla Mattality dalam Kanal Youtube Hersubeno Point edisi Kamis (24/11/22). Dalam edisi hak jawab ini, dihadirkan pula Rocky Gerung. “Ya, saya menikmati badai yang ditiupkan Pak La Nyalla, semua orang merasa terguncang. Padahal di belakang itu ada konsep akademis, ada konsep politis, ada konsep kenegaraan, dan kalau dia dicampur maka bingung yang mana arahnya, La Nyalla yang negarawan, yang politisi, atau yang mencari gara-gara,” ungkap Rocky. Berikut klarifikasi La Nyalla.

“Posisi saya sebagai negarawan, saya selalu berpikir bagaimana caranya kita bisa merajut bangsa agar bangsa kita bisa sejahtera, tidak terjadi polarisasi.  Saya mau tanya: kita ini mau cari presiden melalui Pilpres langsung atau melalui MPR? Kalau saya sudah tegas katakan saya ingin kembalikan Undang-Undang Dasar 45 sesuai dengan naskah asli, yang kemudian diadendum. Itu berarti saya tidak berpikir Pilpres secara langsung, saya berpikir Pilpres melalui MPR. Karena saya sudah berjuang mulai dari amandemen untuk memasukkan independen, nggak bisa. Kemudian kita berjuang yang sudah ditentukan PT 20% kita berjuang untuk 0%, tidak bisa. Akhirnya semua berjalan dengan seterusnya ada Pemilu 2024. Kemudian saya mau katakan bahwa kita ini mau menggunakan Undang-Undang Dasar 1945 naskah asli atau UUD tahun 2002.  Kalau Pilpres secara langsung, itu konstitusi betul, tapi 2002. Kalau saya sebagai negarawan berpikir bagaimana caranya saya bisa meneruskan perjuangan pendiri bangsa.” 

“Saya punya konsep sebagai seorang negarawan, konsep saya itu kembali presiden mengeluarkan Dekrit, setelah itu diadendum. Sambil diadendum, Presiden bersama DPR dan DPD silahkan meneruskan perjuangan kenegaraannya sebagai pemerintahan yang sudah terpilih dengan menggunakan undang-undang 2002.” 

“Kalau kita mau kembali kepada Undang-Undang Dasar ‘45 yang pertama kita harus bisa lakukan adalah membatalkan Pemilu tahun 2024, caranya bagaimana saya nggak tahu, terserah sama orang yang mau kembalikan Undang-Undang 1945. Tapi, kalau tidak ada cara, kemudian Pemilu tahun 2024 dilaksanan, yang ada di dalam otak saya ini sudah sama saja kita akan menyengsarakan rakyat  5 tahun kemudian. Karena sejak adanya 2002, bumi, air, kemudian harta karun kita yang ada di bumi, tidak kita kuasai, tapi dikuasai oleh oligarki.”  

“Untuk membatalkan, ada dua jalan yaitu membatalkan Pemilu 2024; dan membatalkan pemilu 2024 dengan cara perpanjangan. Saya berpikir praktis saja, kalau memang itu mau diubah kembali pada Dekrit, kita kembalikan masa kira-kira bisa satu tahun ya satu tahun selesai, kalau nggak bisa 2 tahun, dia selesai. Ini tergantung tim yang mengubah. Itu maksud saya.”

Menanggapi peristiwa ini, setelah mendengar klarifikasi La Nyalla, Rocky Gerung mengatakan, “Saya ikuti perdebatan publik dua hari dan tajam sekali itu. Dan memang keliru kalau menyebut bahwa La Nyalla masuk angin. Itu salah. Yang terjadi La Nyalla menghembuskan badai. Badai itu yang kemudian jadi perbincangan antara mereka yang percaya dan mereka yang nyinyir, antara mereka yang pesimis dan mereka yang optimis. Saya sebut ini proposal La Nyalla yang menghentakkan kesadaran kita bernegara.” 

Menurut  Rocky Gerung, ada wilayah-wilayah yang kritis dari proposal: pertama, publik menginginkan ada satu perubahan kualitatif. Perubahan kualitatif  itu bukan melalui pemilu, tetapi harus melalui sesuatu yang radikal. Proposal ini proposal radikal karena sifatnya Dekrit yang artinya, ada kedaruratan. Kalau kita baca psikologi publik,  semua orang merasa negara ini dalam keadaan darurat, karena tidak percaya lagi bahwa sistem ini akan disempurnakan melalui pemilu 2024. Jadi, kedaruratan itu juga inline dengan sifat dari Dekrit. “Dengan kata lain, proposal dekrit itu sesuai dengan psikologi publik yang menghendaki ada satu radikal break,” tandas Rocky.

Proposal Pak La Nyalla ini merupakan satu interupsi yang luar biasa, yang membuat orang kaget. “Itu poin penting dari seseorang yang berupaya untuk mencari jalan di tengah kebuntuan,” ujar Rocky. Kalau Mahkamah Konstitusi menolak argumen judicial review, itu artinya dia tidak mampu untuk menghasilkan jalan keluar dari kebuntuan politik.  Sekarang yang kasak kusuk jadi capres ini kan dimulai dari PT 20%: Anies bingung, Prabowo disandera oleh Jokowi, Airlangga dipuji dikit sudah merasa di atas angin, Ganjar cemas-cemas. “Mental politisi kita betul-betul dungu, dia pemimpin tapi akhirnya musti tunggu Pak Jokowi keputusannya,” jelas Rocky. Jadi, keadaan ini membuat rakyat merasa buat apa ada Pemilu kalau setiap calon presiden mesti tunggu restu dari Jokowi.

Dalam proposalnya Pak La Nyalla mendalilkan demi kepentingan rakyat banyak, tetapi menurut Rocky hari-hari ini rakyat banyak justru tidak lagi percaya pada Pak Jokowi. Di antara buktinya, Kompas kemarin membuat riset dan hasil riset menunjukkan bahwa rakyat yang percaya bahwa apapun yang diputuskan Jokowi itu akan bermutu, itu tinggal 15%. Jadi justru kalau sesuatu itu disentuh oleh Pak Jokowi jadi berantakan,  lanjutnya.  

Jika akhirnya rakyat bereaksi pada proposal Pak La Nyalla, menurut Rocky, itu karena mereka melihat di situ ada yang inkonsisten: pertama mengusulkan sesuatu yang radikal, bagus, dekrit, untuk menghentakkan bangsa ini bahwa ada yang nggak beres, tetapi kemudian disusulkan dengan perpanjangan masa jabatan. Kondisinya akan lain kalau orang menganggap bahwa Pak Jokowi masih punya semacam tabungan moral, seperti Gus Dur mengeluarkan Dekrit, seperti Bung Karno mengeluarkan Dekrit.  “Masalahnya, apakah Pak Jokowi sekarang punya kapasitas moral untuk mengatakan saya keluarkan Dekrit demi bangsa?” Kita percaya bahwa secara institusi hanya presiden yang mampu mengeluarkan Dekrit demi bangsa, demi bangsa yang lagi cemas, demi bangsa yang sedang kehilangan arah. Tetapi, masalahnya orang nggak percaya kalau Jokowi yang mengeluarkan Dekrit. Jadi ketegangan di situ. Tapi publik merasa kalau yang mengeluarkan Dekrit adalah presiden yang bernama Jokowi, itu cuma 15% orang yang akan ikuti, tambah Rocky. 

“Jadi, yang saya hitung jangan sampai teori Dekrit itu justru dibatalkan oleh opini publik yang tidak sepakat pada orang yang akan mengeluarkan, bukan pada dekritnya. Jadi orang anggap dekritnya bagus tetapi pelaksana dekrit itu yang buruk,” jelas Rocky. 

Tetapi, sambung Rocky, dia menangkap dari pembicaraan teman-teman di HTN agar memberi kesempatan kepada Pak La Nyalla untuk menunjukkan konsep akademis itu dan menguji pikiran itu. Jangan dibantah dengan seolah-olah menganggap bahwa ada kepentingan. Memang aturannya yang mesti kita perbaiki, di mana pun tempat kita memilih Presiden. Kalau di MPR, orang akan menghitung lagi, efisien atau tidak. Memang efisien, tapi potensi manipolitik sangat buruk karena lebih mudah disogok. 

Kemudian, lanjut Rocky, kita tahu pak Jokowi diasuh oleh oligarki, jadi memperpanjang Pak Jokowi artinya memperpanjang juga napas oligarki. Kalau mau, lepaskan dulu rantai belenggu oligarki pada Jokowi, baru kita izinkan Jokowi berpikir tentang kenegaraan. Karena sementara ini Pak Jokowi tidak berpikir tentang negara, dia berpikir tentang bisnis, tentang oligarki.  

Sementara itu, dalam kesempatan ini Hersu memberikan klarifikasi bahwa dirinya menulis “masuk angin” itu dalam tanda petik. Dalam tradisi jurnalistik itu adalah sebuah pertanyaan, bukan tuduhan. Itu yang harus dipahami. “Saya juga dalam stand point yang sama, soal kembali ke dekrit itu kita sepakat karena itu mekanisme konstitusi yang diatur dalam Undang-Undang Dasar ’45, tetapi yang menjadi masalah, sama dengan Bung Rocky, banyak orang yang terlalu berpikir apakah tidak terlalu naif menilai bahwa Pak Jokowi itu akan dengan sukarela setelah diberikan kewenangan diperpanjang masa jabatannya dan melakukan Dekrit, kemudian beliau tiba-tiba mundur setelah tugasnya selesai? Karena Pak Jokowi sekarang bersama timnya sedang berjuang dengan berbagai cara untuk memperpanjang masa jabatan,” pungkasnya. (ida)

384

Related Post