Di Mana “Rasul” Kami?

by Zainal Bintang

Jakarta FNN - Hanya berselang sepuluh hari, masih di dalam suasana memperingati Hari Pers Nasional tahun ini, mata saya menangkap sebuah arsip yang berisi rangkuman suara hati almarhum Jakob Oetama dalam bentuk naskah pidato berjudul, “Antara Jurnalisme Fakta dan Jurnalisme Makna".

Pidato Jacob Oetamaitu disampaikan pada acara “Penerimaan Penganugerahan Gelar Doktor Honoris Causa” dalam Bidang Komunikasi dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 17 April 2003. Pemimpin “kerajaan” media grup Kompas tersebuta meninggal dunia 09 September 2020.

Menjelang usia 76 tahun kemerdekaan Indonesia dan di usia 75 pers Indonesia, apa yang telah diberikan dunia pers kepada bangsa ini? Tidak ada salahnya mengutip kembali pernyataan JFK (John F. Kennedy) ketika dilantik sebagai Presiden Amerika Serikat ke-35, “Ask not what your country can do for you – ask what you can do for your country”. Artinya, “jangan tanya apa yang negara Anda bisa lakukan untuk Anda ; tanyakan apa yang dapat Anda lakukan untuk negara Anda”.

JFK, yang pensiunan Letnan Angkatan Laut Amerika Serikat (1941-1945) tersebut, pernah bekerja sebagai koresponden, Hearst Newspapers (1945-1946). JFK dilantik sebagai Presiden Amerika Serikat ke-35 pada Januari 1961, dan dibunuh, tertembak November 1963 pada usia 46 tahun.

Saat ini beredar dua berita “trending topic” di masyarakat. Pertama, Transparency International Indonesia(TII) menyatakan IPK (Indeks Persepsi Korupsi) Indonesia pada 2020 turun ke peringkat ke 102 dari 180 negara. Dibandingan pada tahun 2019, Indonesia menempati posisi ke 85.

Kedua, turunnya IDI (Indeks Demokrasi Indonesia) di tahun 2020 versi The Economist Intelligence Unit (EIU). Indonesia menduduki peringkat ke-64 dengan skor 6.3. Sebelumnya 6.48. Di kawasan Asia Tenggara saja, indeks demokrasi Indonesia ada di peringkat empat, di bawah Malaysia, Timor Leste, dan Filipina. Dalam kurun waktu 14 tahun terakhir Indonesia dikategorikan sebagai negara flawed democracy (demokrasi cacat).

Sekitar 18 tahun yang lalu, Jakob Oetama dalam inti pidatonya itu telah memprihatinkan gejala “merajalelanya konsumerisme dan hilangnya rasa malu” pada bangsa ini . “Media harus memahami lebih jauh, mengapa korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) merajalela. Apa akar permasalahannya?

Latar belakang struktur dan budaya feodal ikut menyuburkan KKN. Demikian pula dengan paham feodal, bahwa power is privilege. Warisan sejarah bisnis yang diungkapkan dengan setiap penguasa ada koneksi bisnisnya. Tertimpa oleh sikap hidup kapan lagi. Merajalelanya konsumerisme dan hilangnya rasa malu”, tulis Jakob Oetama.

Frasa “tertimpa oleh sikap hidup kapan lagi, merajelelanya konsumerisme dan hilangnya rasa malu”, yang disinggung Jakob, justru inilah persoalan bangsa yang serius. Infrastruktur moralitas merosot di tengah masifnya pembangunan infrastruktur fisik, seperti jalan tol, jembatan layang dan pelabuhan udara maupun laut.

Kader partai politik sebagai pemangku jabatan publik melakukan malpraktik. Korupsi berjamaah, yang didalam berbagai kajian disebutkan, “korupsi materi dan korupsi politik”. Kenyataan iuni menegaskan lemahnya komitmen sekaligus rendahnya kualitas moralitas beberapa politisi.

Miris membaca hasil temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Temuan yang menunjukkan sepanjang tahun 2004 - 2019 terdapat 1152 kasus yang melibatkan pejabat publik dan swasta yang melakukan tindak pidana korupsi. Dari jumlah tersebut, 397 orang diantaranya menduduki jabatan politik. Tercatat 257 orang adalah anggota DPR atau DPRD, 21 orang adalah gubenur dan 119 orang adalah bupati atau walikota. Dimana semuanya berlatar belakang dari partai politik.

Reformasi 1998 ternyata tidak serta merta menghilangkan budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di tubuh birokrasi Indonesia. Meski telah 20 tahun lebih reformasi berlalu, hingga kini, disaat Presiden Jokowi berkuasa, korupsi tetap saja menjadi “primadona” kekuasaan.

Banyak yang menyebut korupsi yang Terstruktur, Sitematis dan Masif (TSM) saat ini sebagai “cacat bawaan” reformasi. Tercatat 11 menteri terjerat kasus korupsi. Tiga diantaranya merupakan menteri sosial. Mengungguli jabatan lain. Pelaku korupsi terbanyak kalangan legislatif dan eksekutif, bahkan yudikatif. Semuanya pejabat publik yang telah mengangkat sumpah dengan kitab suci.

Kepada siapa lagi rakyat dapat menggantungkan harapan kemaslahatan masa depan bangsa ini? Sementara itu, pemimpin yang tersedia sebagaimana ditulis Jakob Oetama, mereka yang terlihat sangat bersemangat “konsumerisme dan hilangnya rasa malu”. Mesin Pemilu sebagai wahana demokrasi harus berani dikatakan “gagal total” menyeleksi calon pemimpin bangsa yang ditawarkan partai politik.

Ibarat “kawah chandra dimuka”, partai politik gagal sebagai kampus suci penggemblengan mentalitas dan moralitas calon pemimpin supaya kuat, terlatih, bersahaja dan tangkas. Calon pemimpin yang berani tampil berani. Yang menutup semua peluang kejahatan politik. Apapun namanya.

Jakob Oetama menyinggung tulisan Samuel P. Huntington bersama Laurence E. Harrison tentang Culture Matters yang disinggung kedua penulis dalam bukunya tersebut. Jakob mempertanyakan, kultur yang mana? Ethika Protestan? Revolusi Meiji, Konfucian, Ascetisme Gandhi, Ascetisme Hatta.

Kita punya, kita bahkan termasuk kaya budaya. Bagaimana menjadikan budaya Indonesia sebagai pemicu kemajuan, Pemicu pemerintah yang bersih, Pemicu hidup hemat, kerja keras? Bagaimana berencana serta membangun social trust alias kepercayaan sosial yang kuat, kreatif, produktif?

Peringatan Hari Pers Nasional 2021 diisi partisipasi insan pers atau para pekerja media alias wartawan mendukung program FJPP (Fellowship Jurnalisme Perubahan Perilaku) yang diselenggarakan Dewan Pers dan Satuan Tugas Penanganan Covid 19 bersama PWI yang bertema, “Bangkit dari Pandemi, Jakarta Gerbang Pemulihan Ekonomi, Pers sebagai Akselerator Perubahan”.

Diberitakan 5000-an wartawan dari Aceh sampai Papua aktif mengampanyekan perubahan perilaku masyarakat supaya taat prokes (protokol kesehatan) sesuai standar WHO. Sembari menangkal berita hoaks terkait Covid 19. Program yang diluncurkan awal Oktober itu, menurut Ketua Satgas Penanganan Covid 19 Doni Monardo, pada Desember mencapai keberhasilan 63 persen program sosialisasi itu mengubah perilaku masyarakat. Dan itu oleh kerja keras dan kerja rela insan pers.

Fakta itu membangun harapan dan semangat baru. Besarnya kepercayaan masyarakat kepada insan pers (wartawan) adalah modal sosial yang masif efektif membangun ketahanan akhlakul kharimah untuk “Reinventing Indonesia Baru”, sebagaimana disinggung Jakob Oetama. Bersih dari mental pecundang dan pembonceng gelap demokrasi.

Kekuatan Indonesia baru itu sejatinya terkonsolidasi menjadi moral force (kekuatan moral) yang terniscayakan sebagai mesin pendorong gerakan nasional kesadaran rakyat untuk bangkit mengubah aneka UU hasil reformasi. Terutama pasal-pasal di dalam UU yang banyak salah jalan dan melahirkan pemimpin dadakan, yang daripadanya budaya korupsi tersuburkan.

Pers Indonesia memikul tanggung jawab moral menjadi obor penerang langit demokrasi dari kegelapan. Rakyat harus didorong keberaniannya bangkit menyita mandat dari komplotan politisi korup yang bermarkas di partai politik. Politikus yang telah disandra para oligarki dan konglomerasi licik, picik, culas dan tamak. Oligarki dan konglomerasi yang tidak pernah puas menghisap darah kakyat negeri ini.

Saatnya publik kembali mengampanyekan mentalitas kejujuran dan kesederhanaan sebagai prasyarat utama menjadi seorang pemimpin bangsa. Kita punya tokoh asketisisme legendaris yang harus dijadikan ikon suri tauladan moralitas. Seorang tokoh proklamator yang hingga akhir hayatnya, tidak pernah bisa mampu membeli, walau hanya sekedar sepasang sepatu Bally. Lantaran diikat konsistensi moralitas tinggi yang menolak menunggangi celah-celah kekuasaan. Namanya Bung Hatta!

Seorang karib mantan pejabat mengirim pesan WhatsApp, “rakyat Indonesia saat ini merindukan pemimpin jujur”. Rakyat itu kini seakan sedang berteriak, dimana “rasul” kami?

Penulis adalah Wartawan Senior Pemerhati Masalah Sosial Budaya.

494

Related Post