ONH Naik Ugal-ugalan, Ini Penjelasan Dirjen Haji Kemenag
Jakarta, FNN - Dalam beberapa hari ini, masyarakat ramai memperbicangkan soal kenaikan biaya naik haji. Perbincangan semakin ramai ketika ada informasi dari pemerintah Arab Saudi bahwa mereka menurunkan biaya naik haji, sedangkan Indonesia malah menaikkan biaya naik haji. Meskipun baru usulan dari Kemenag RI, tapi rencana ini sudah meresahkan masyarakat, terutama calon jemaah haji.
Untuk merespons kabar tersebut, Direktur Penyelenggaraan Haji dan Umroh, Prof. Hilman Latief, menyampaikan beberapa hal terkait pembiayaan haji di Indonesia dalam Kanal Youtube Hersubeno Point edisi Minggu (22/01/23) bersama Hersubeno Arief, wartawan senior FNN.
Dalam penjelasannya Hilman menyampaikan bahwa Indonesia merupakan satu kontingen haji yang lebih terorganisir dibanding dengan negara lain. Bahkan, penyelenggaraan haji di Indonesia diatur dalam Undang-undang No. 8 tahun 2019 tentang penyelenggaraan haji, di mana Kementerian Agama bertugas untuk mendampingi, membimbing, dan melindungi jamaah.
"Karena peminat begitu besar maka sejak 15 tahun mulai ada antrean sehingga masyarakat disiapkan sistem setoran awal haji sebesar 25 juta dan dikelola oleh Kemenag. Tetapi, kemudian muncul undang-undang No. 34 tahun 2014 di mana dana itu dikelola oleh Badan Penyelenggara Keuangan Haji (BPKH) sehingga Kementrian Agama sudah tidak memegang dana operasional haji itu, kecuali untuk kebutuhan-kebutuhan tugas," kata Hilman.
Hilman menegaskan bahwa dalam menetapkan biaya, karena dana itu dikelola oleh sebuah badan, maka ada ujroh dalam pengelolaannya, dan disebut dengan nilai manfaat, diperoleh setiap tahun oleh BPKH. Sebagian dari dana manfaat itu kata Hilman digunakan untuk memberikan subsidi untuk keperluan jamaah, ada yang bentuknya virtual account,dan ada yang digunakan untuk penambahan biaya operasional setiap penyelenggaraan.
"Sejak 2010, bentuk nilai manfaat (dari pengelola) per tahun dibagi untuk seluruh jamaah dan sebagian digunakan operasional. Dari tahun ke tahun nilanya semakin tinggi, tetapi tidak diimbangi dengan kenaikan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH/ONH). Biaya keseluruhannya dinamakan dengan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji," paparnya.
Hilman menegaskan bahwa pada tahun 2020 tidak ada ibadah haji padahal harusnya naik, tahun 2021 juga tidak ada ibadah haji padahal harusnya naik. Tahun 2022, sebetulnya Kementerian Agama dan DPR sudah menyusun skenario yang berimbang, 51% : 49%. Tetapi, tahun 2022, seminggu sebelum keberangkatan jamaah, Saudi menetapkan harga layanan haji (masyair) atau layanan di Armina (Arafah, Muzdalifah, dan Mina) untuk jamaah internasional paling rendah 22 juta rupiah. Padahal, sebelumnya hanya sekitar 6 juta rupiah dan sudah belasan tahun tidak pernah naik.
"Waktu itu Indonesia sudah protes. Demikian juga negara-negara lain yang hampir semuanya mengajukan keberatan. Alasan yang disampaikan waktu itu adalah penghitungannya seperti kita sewa bus. Meskipun penumpangnya tidak maksimal, tetapi biaya yang harus dibayar tetap. Indonesia memahami hal tersebut tapi dengan berbagai catatan bahwa kenaikan harga yang fantastis itu belum berimbang dengan layanan yang harusnya diterima oleh jamaah," tegas Hilman.
Tahun ini, kata Hilman Kementerian Agama pada Desember 2022 dan Januari 2023 sudah bertemu dengan pihak muasasah dan memperoleh informasi bahwa saat ini Saudi mengubah sistemnya dari muasasah atau foundation menjadi syarikah atau company. Jadi, saat ini betul-betul haji dikelola oleh swasta dan mulai diterapkan tahun ini, 2023.
Hilman menegaskan bahwa pada tahun 2023 ini Saudi mengampanyekan transformasi layanan haji, menerjemahkan Saudi Vision 2023, dan sebagainya di mana mereka betul-betul ingin mengelola haji secara profesional. Pada saat yang sama, basisnya atau perspektifnya adalah bisnis. Inilah yang kemudian ada transformasi.
Tahun ini juga lanjut Hilman, Saudi menurunkan biaya untuk domestik dan internasional. Untuk layanan masyair, memang turun sekitar 30%. Cuma, masalahnya kurs dollar yang tahun lalu hanya Rp 14.200,- tahun ini asumsinya Rp15.200,- sehingga ditarik garis aman Rp15.000.
"Sedangkan asumsi kurs real tahun lalu hanya Rp3.800,- sekaang sudah Rp4.080. Selain koreksi dari kurs itu, yang juga dihitung kemudian adalah biaya transportasi udara yang merupakan 30%-40% biaya jemaah haji. Tahun lalu Rp 29.500.000,- tahun ini diperkirakan sekitar 32-33 juta," tegasnya.
Terkesan berat, kata Hilman karena penggunaan nilai manfaat dikurangi. Tahun lalu sebesar 59% karena seminggu sebelum keberangkatan jamaah, Saudi menetapkan harga baru dan harus lunas. Pilihannya, minta jamaah melunasi tambahan 16,5 juta rupiah per orang dalam waktu seminggu,(ini sangat tidak mungkin), nego sudah tidak bisa dilakukan, dan harus cari alternatif yaitu harus ada uang 1,45 triliun untuk menutup kebutuhan jemaah agar tahun 2022 jamaah masih bisa kita berangkatkan. Akibatnya, biaya dari nilai manfaat jauh lebih besar (dibulatkan 60%).
"Kemenag berdiskusi untuk mencari rasionalisasi agar keberlangsungan nilai manfaat bisa diperlakukan secara lebih adil. Bukan hanya untuk jamaah yang tahun ini berangkat, tapi juga untuk jamaah yang berangkat pada tahun-tahun yang akan datang. Indonesia ingin membangun satu sistem keuangan haji yang berkadilan dan berkelanjutan," katanya.
Ini artinya, lanjut Hilman kalau usulan Kemenag disetujui, akan berlaku untuk jemaah haji tahun 2023. "Ini juga berarti ada konsekuensi bahwa mereka yang sudah masuk dalam jadwal pemberangkatan tahun 2023, harus menambah kekurangan biaya yang cukup besar," pungkasnya. (sof)