DPR Dorong Audit Cegah Munculnya Honorer Siluman Jadi PNS
Jakarta | FNN - Anggota Komisi II DPR RI Mardani Ali Sera menekankan pentingnya audit terhadap proses pengangkatan tenaga honorer menjadi pegawai negeri sipil (PNS).
Usulan audit disampaikan Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) ini menyusul banyaknya temuan kasus tenaga honorer siluman dalam proses pengangkatan honorer menjadi PNS yang merupakan implementasi dari UU Aparatur Sipil Negara (ASN).
Penegasan itu disampaikan Mardani Ali Sera dalam diskusi Dialektika Demokrasi dengan tema "Implementasi RUU ASN usai Disahkan DPR" di Media Center Parlemen, Gedung MPR/DPR/DPD RI, Senayan, Jakarta, Selasa (31/10/2023).
Untuk diketahui, sesuai UU ASN yang baru sahkan, skema pengangkatan tenaga honorer menjadi PNS nantinya menggunakan sistem seleksi administrasi berupa verifikasi dan validasi data surat keputusan (SK) pengangkatan.
Tenaga honorer yang memiliki masa kerja paling lama dan bekerja di bidang fungsional, administratif, serta pelayanan publik di bidang pendidikan, kesehatan, penelitian, dan pertanian akan diprioritaskan dalam pengangkatan PNS.
Namun kenyataan di lapangan, pada proses masa pendataan itu terjadi tenaga honorer pendidikan seperti guru honorer yang selama ini sudah bekerja puluhan tahun bahkan mendapat julukan “pahlawan tanpa tanda jasa” tiba-tiba harus tersisih, oleh honorer siluman yang namanya tiba-tiba masuk dalam base data di Data Pokok Pendidikan (Dapodik).
Padahal honorer siluman selama ini tidak pernah terdata sebagai tenaga pendidik atau di bidang fungsional lainnya.
Menurut Mardani, honorer pahlawan yaitu para tenaga honorer yang sudah belasan tahun bekerja tetapi tidak diangkat. Tetapi meski UU ASN sudah memberikan rambu-rambu, masih ada saja yang namanya honorer siluman dari hasil kolaborasi jahat permufakatan dengan para pengelola atau pemegang otoritas, itu tiba-tiba namanya masuk.
Padahal, menurut Mardani, tenaga honorer siluman itu tidak terdata sebagai tenaga honorer yang harus memenuhi syarat dan kriteria untuk bisa diangkat menjadi PNS.
“Masih ada saja yang namanya honorer siluman dari hasil kolaborasi jahat permufakatan dengan para pengelola atau pemegang otoritas, itu tiba-tiba namanya masuk padahal nggak ada orangnya. Sehingga kami memandang, di undang-undang itu ada audit terhadap honorer ini,” tegas Mardani.
Soal audit rekrutmen honorer menjadi PNS ini, Ketua Umum Forum Guru Honorer Negeri Lulus Passing Grade Seluruh Indonesia (FGHNLPGSI) Heti Kustrianingsih menegaskan sangat mendukung usulan tersebut.
“Saya setuju kalau honorer memang diaudit dan memang betul, seharusnya sampai 3K kemarin, harus diaudit bener. Karena memang nggak orangnya,” ujarnya.
Terakhir, ia mendapati kasus ada guru honorer siluman yang setelah diselidiki selama ini pekerja pabrik, lalu tiba-tiba datanya masuk dalam base data di Dapodik. Bahkan sampat diketuk dan mendapat SK pengangkatan. Pihaknya pun tidak bisa berbuat banyak.
“Kemarin ada kejadian. Ada honorer siluman juga yang kerja di pabrik bisa jadi P3K, dan sekarang sudah ketok palu dapat SK. Ya.. kita mau bagaimana lagi. Jadi kalau memang ada audit saya setuju,” tegas Heti.
Di forum sama, Wakil Ketua Komisi X DPR RI Dede Yusuf mengatakan dari perkembangan terakhir rapat bersama Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sebagai mitra kerja Komisi X DPR, pihaknya mendapati konsep bahwa bagi pemerintah daerah yang tidak membuka formasi penerimaan dan pengangkatan guru honorer sebagai PNS, maka pemerintah pusat memberi keleluasaan kepada pihak sekolah untuk melakukan pengangkatan sendiri.
“Jika daerah tidak membuka formasi, maka pemerintah menawarkan PP pengangkatan itu bisa dilakukan oleh sekolah sendiri, jadi sekolah boleh mengangkat, dengan catatan mengambil dari database yang ada,” ungkap politisi dari Partai Demokrat ini.
Sementara itu mengenai guru pengangkatan guru honorer agama yang masuk dalam Kementerian Agama RI, Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Diah Pitaloka mengungkapkan poin besar dari persoalan ini adalah akses guru agama terhadap kesejahteraan masih sangat kurang.
“Yang kedua ketersediaan guru, kekurangan guru di ruang pendidikan keagamaan, dan ketiga yakni tenaga P3K. Kalau Kang Dede (Dede Yusuf) tadi penerimanya 1 juta (guru honorer umum), kalau nggak salah di pendidikan keagamaan baru 49.000,” ujar Diah.
Minimnya penerimaan dan pengangkatan guru agama, menurut politisi dari PDI Perjuangan ini karena persoalan sinkronisasi sistem penerimaan keguruan dan sistem manajemen keguruan.
“Kita berharap keinginan baik pemerintah untuk juga tidak terhambat hal-hal yang sifatnya teknis di kementerian. Jadi harus selalu konsolidasi, koordinasi karena kayak pendidikan keagamaan terbacanya jadi kecil, karena data yang masuk kecil,” tegas Diah.
Aturan Turunan
Sementara itu, Deputi Bidang SDM Aparatur di Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) Alex Denni mengatakan agar UU ASN lebih lincah dan dapat mengakomodasi beragam persoalan dan kebutuhan tenaga honorer, maka diperlukan peraturan turunan dari UU ASN baik berupa peraturan pemerintah (PP) maupun Peraturan Menteri (Permen).
“Agar lebih lincah kita atur di turunan bawahnya, karena yang paling tahu kebutuhan itu harusnya kan instansi pemerintahnya,” sebut Alex.
Ia mencontoh, pihaknya hampir setiap hari harus paraf usulan beragam kebutuhan. Ada usulan berupa rekrutmen, usulan perpindahan jabatan dan beragam usulan lainnya.
Namun, pihaknya mendapat kendala karena di UU lama, pemerintah pusat tidak bisa bergerak karena di UU lama usulan baru bisa dilakukan jika ada usulan dari pemerintah daerah setempat. Sehingga proses ya menjadi tidak lincah.
“Jadi misalnya atas rekomendasi Menteri Pendidikan misalnya di daerah tertentu gurunya kurang, kita bisa rekrut di situ. Kalau sekarang tidak bisa karena sekarang prosesnya adalah diusulkan oleh instansi dalam hal ini Pemda dan ditetapkan oleh menteri. Jadi nanti walaupun tidak diusulkan pun, kalau pemerintah (pusat) merasa prioritas, kita akan rekrut disitu termasuk mobilitinya,” tegas Alex. (Sur)