Dr. Syahganda Nainggolan, Insya Allah Bebas
by Dr. Margarito Kamis, SH. M.Hum
Jakarta FNN – Senin (04/01). Dr. Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, Anton Permana, dan lainnya dikenal berhaluan Koalisi Aksi Menyelematkan Indonesia (KAMI). Mereka kini masih berada dalam tahanan. Kasus super ringan yang dituduhkan kepada mereka, akan tergelar di pengadilan. Syahganda, kabarnya, akan disidangkan di Pengadilan Negeri Depok.
Akan jelas pasal berapa, dalam UU apa yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum kepada Syahganda. Pasal apapun, dalam UU apapun, yang didakwakan kepada mereka, hampir pasti tidak dapat dibuktikan. Syahganda, nampaknya sangat dekat dengan pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang hukum Pidana. Dia dapat diprediksi akan dituduh atau didakwa oleh Jaksa penuntut umum dengan pasal itu. Persisnya Syahganda dituduh menyebarkan kabar bohong, yang mengakibatkan terjadinya keonaran.
Kalaupun Syahganda didakwa dengan pasal lain, misalnya pasal 28 UU Nomor 11 tahunn 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang diubah dengan UU omor 19 ahun 2016 tentang Perubahan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, tetap saja sulit bagi jaksa membuktikannya. Pasal ini tidak menjadikan media elektronik sebagai “golden goal” hal yang dilarang, melankan “content.” Contentlah yang menjadi hal yang dilarang.
Baik pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 maupun pasal 28 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yan telah diubah itu, didakwakan kepada Syahganda, apapun bentuk dakwaannya, tetap saja sulit mendatangkan peluang terbukti. Mengapa?
Terdapat dua hal sebagai penyebabnya. Kedua hal itu adalah sifat material artikel atau tulisan Syahganda, dan konteks aktual tata negara. Perihal materi atau konten tulisan Syahganda, harus dipecakan dengan menemukan kenyataan hukum berikut. Apakah tulisan itu nyata-nyata, jelas dan kongkrit terbaca tanpa ragu sebagai ajakan kepada orang? Ajakan untuk melakukan perbuatan melawan hukum?
Hal apa dalam tulisan itu yang memiliki kualifikasi hukum sebagai bohong? Bila Presidium KAMI menyatakan mendukung pemogokan nasional akan dilakukan buruh, bukan mendukung demonstrasi, lalu Syahganda menafsirkan KAMI mendukung demonstrasi buruh, dimanakah letak kebohongannya?
Kebohongan macam apakah yang menjadi maksud substansial pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946? Apakah pada saat peristiwa ini terjadi Indoneasia sedang berada dalam masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan persis pada tahun 1945 dulu?
Apakah Nederlands Indie Civil Administration (NICA) sedang eksis di Indonesia pada saat Syahganda menuliskan isi pikirannya mengenai demonstrasi terhadap RUU Omnibus Cipta Kerja , dan menyebarkannya? Apakah ada Koninglijke Nederlands Indische Leger (KNIL) pada saat itu?
Apakah ada orang bekas KNIL yang dicari-cari oleh laskar-laskar perjuangan kemerdekaan dari sabotase Belanda? Misalnya laskar Hisbullah dan Kris (Kebaktian rakyat Indonesia Sulawesi)? Apakah tentara Belanda yang membonceng NICA, sedang bergerak dari Surabaya memasuki Jakarta?
Om Ventje Sumual, dalam Buku “Memoar” diterbitkan oleh Bina Insani, tanpa tahun, setelah mengambarkan susana nyata masyarakat Jakarta kala itu, menulis “banyak penghasut dikalangan penduduk”. Keadaan sungguh berat.
Belanda, sesuai penilaian pemerintah akan kembali. Itu sebabnya pemerintah memberi penjelasan agar rakyat bersiaga menghadapi kembalinya penjajah Belanda yang membonceng tentara sekutu. Benar-benar berat. Kata Om Ventje, kami harus menghadapi dua masalah sekaligus.
Kerja sosial untuk menolong warga yang jadi korban ekses revolusi, sekaligus menjalankan revolusi itu sendiri.” Situasi politik sangat sembrawut. Perihal keadaan ini, dapat dicek pada semua buku sejarah sejarah TNI, parlemen dan lainnya. Saya ingin mengajukan satu keadaan kecil untuk mempertebal konteks UU Nomor 1 Tahun 1946, yang mungkin akan ditembakan kepada Syahganda.
Tanggal 4-5 Januari 1946 menurut Adam Malik, diadakan pertemuan wakil-wakil organisasi politik dan militer di Purwokertto dibawah pimpinan Tan Malaka. Dalam pertemuan itu, disepakati pembentukan Wadah Persatuian Perjuangan (PP). Wadah ini dikukuhkah pada tanggal 4 Februari 1946, di Solo.
Tanggal pengukuhan iitu menunjuukan terjadi tiga minggu sebelum UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Hukum Pidana dibentuk oleh BP KNIP, dan diresmikan oleh Dr. Suwandi pada tanggal yang sama juga. Tanggal pembentuka UU ini, sama dengan terjadi tiga minggu sebelum pemerintahn RI, pindah dari Jakarta ke Yogyakarta.
John D. Lege menulis, tanggal 4 Januari 1946 malam, diam-diam Bung Karno dan Bung Hatta diberangkatkan ke Yogyakarta. Sjahrir sendiri tetap berada di Jakarta. Pemisalahan ini berhasil menaikan level oposisi yang berada di Yogyakarta terhadap pemerintahannya.
Ketika Persatuan Perjuangan (PP) diinisiatifi oleh Tan Malaka- Amir Sjarifudin- memperoleh dukungan Pak Dirman pada waktu pembentukannya, melancarkan opisisi terhadap politik perundingan Sjahrir, dan hasilnya jelas. Sjahrir mengundurkan diri. Itu terjadi pada tanggal 23 Februari 1946.
Apa korelasinya dengan UU Nomor 1 Tahun 1946? UU Nomor 1 Tahun 1946 yang ditandatangani oleh Bung Karno, Presiden RI, dan Swandi, Menteri Kehakiman, dan diundangkan oleh A.G Pringodigdo, Sekretaris Negara pada tanggal 26 Februari 1946.
Praktis UU itu terbentuk tiga hari setelah Sjahrir meletakan jabatan sebagai Perdana Menteri, atau dua hari setelah kabinet Sjahrir resmi dinyatakan bubar oleh Bung Karno pada tanggal 28 Februari. Kabinet Sjahrir I ini dilantik pada tanggal 23 November 1945. Usianya tidak sampai empat bulan.
Apa dari kenyataan ini yang dapat dipertalikan dengan pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946, yang besar kemungkinan dituduhkan kepada Sahganda Nainggolan? Kenyataan inilah yang menjadi “original intent” dari pasal 15 itu. Kabar bohong, dan keonaran mutlak dipertalikan dengan keadaan itu. Situasi dan politik semrawut. Desas-desus ada dimana-mana. Pemerintah belum terbentuk secara normal, sehingga harus ditertibkan. Itu subtantive goal dari pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 itu.
Suka atau tidak, sejak tanggal 23 November 1945 itu. UUD 1945 telah kehilangan validitasnya sebagai hukum positif, setidaknya hanya berlaku secara simbolik. Mengapa? Sistem pemerintahan telah berubah dari presidensial ke sistem parlementer.
Kabinet Presidensial yang dipegang oleh Presiden Soekarno tersebut, dibentuk dan mulai bekerja pada tanggal 4 September 1945. Kabinet itu resmi berhenti dan bubar demi hukum pada tanggal 23 November 1945.
Terlepas dari sifat simbolik UUD 1945 disepanjang periode 23 November 1945 hingga 27 Desember 1949, untuk alasan apapun tidak dapat disangkal bahwa UUD itu tidak memuat satu pun ketentuan mengenai hak asasi manusia. Tidak ada satu pun pasal pada UUD 1945 itu, yang mengatur kebebasan menyatakan pendapat.
Pengaturan inilah yang membedakan secara substansial antara UUD 1945 yang berlaku sepanjang 1945- sampai dengan 27 Desember 1949. Lalu diberlakukan lagi pada tanggal 5 Juli 1959 hinnga sekarang yang telah mengalami perubahan sebanyak empat kali secara berturut-turut.
Cukup tegas dalam pasal 28E ayat (2) UUD 1945 yang telah diubah mengatur “Setap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nurnainya.” Menyatakan dukungan secara lisan, menyatakan pendapat, memberi dukung kepada sekelompok orang berdemonstrasi, dan demonstrasi itu sendiri merupakan tindakan hukum yang dibolehkan menurut UU. Lalu dengan cara apa sikap Sahganda dinyatakan salah?
Dengan alat dan pendekatan interpretasi apa dalam ilmu hukum, demonstrasi yang menurut hukum positif merupakan perwujujudan hak konstitusional setiap individu mengekspresikan pendapatnya, sehinga berkualifikasi melawan hukum? Apakah keonaran, dengan sendirinya ada setiap kali ada demonstrasi?
Bila ya, mengapa UU mengharuskan negara menggerakkan aparatur hukum menjamin berlangsungnya demonstrasi itu? Bahaya apa yang jelas-jelas ada dan nyata atau timbul (clear and present dangger) sebagai akibat dukungan Syahganda itu? Menghukum pikiran itu hanya terjadi di Inggris abad ke-17.
Saya berkeyakinan tanpa ragu, tidak ada seorang pun di Negara Kesatuan Republik Indoenesia tercinta ini, yang diam-diam memiliki, dan bekerja dengan halus membawa negara menjadi totaliter. Hanya di negara totaliter, pikiran orang menjadi subjek hukum pidana.
Beralasankah karena itu, Syahganda memiliki keyakinan pernyataannya tidak dikualifikasi pidana. Beralasan juga Syahganda melihat “amar putusan yang berisi tuduhan jaksa penuntut umum tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Kalaupun terbukti, perbuatan itu bukan tindak pidana. Semoga.
Penulis adalah Pengajar HTN Universitas Khairun Ternate.