Fahri Hamzah Keliru Soal Anies
Partai Gelora menjual slogan “Arah Baru Indonesia”. Tapi kebijakan yang dipilih oleh elitnya patut diduga lebih mencerminkan sebagai sebuah persembahan untuk penguasa. Sehingga, arahnya bukan “Baru” tapi “Keliru”.
Oleh: Sulung Nof, Penulis
Pendahuluan
SEORANG jurnalis FNN mengirim pesan teks kepada saya terkait rencana beliau untuk membuat tulisan berjudul “Fahri Buldozer Anies”. Diskusi saat itu berkembang usai mempublikasi tulisan bertajuk “Kopi Pahit”.
“Judulnya ngeri,” respon saya perihal rencana tulisan beliau tersebut. Namun setelah ditunggu sejak pekan lalu, tampaknya artikel itu belum juga muncul. Di mesin pencarian juga belum ditemukan jejak-jejak dokumen terkait.
Oleh karena itu saya akan melanjutkan sekuel “Kopi Pahit” untuk menanggapi nyanyian Fahri Hamzah (FH) yang berkali-kali menyerang Anies Baswedan dalam beragam mimbar politik. Supaya seimbang, maka perlu diluruskan.
Dalam forum komunikasi relawan, saya sajikan isu agar kritik FH bisa difasilitasi melalui podcast. Tetiba penawaran itu disambut oleh seorang kreator konten. Insya Allah, kita akan berdiskusi pada Sabtu akhir pekan ini (24/12/2022).
Melalui tulisan ini, tanpa mengurangi rasa hormat sedikitpun, kami mengundang Bapak Fahri Hamzah agar dapat berdiskusi melalui podcast Saeful Zaman. Walaupun saya menyadari bukanlah kawan diskusi yang setara.
Dalil pertama, FH adalah tokoh nasional – yang seringkali melahap orang yang kontra dengan dirinya. Dalil kedua, kapasitas beliau jelas lebih mumpuni. Dalil ketiga, referensi yang digunakan saat debat basisnya kuat dan persuasif.
Meskipun kita sama-sama dari UI, namun beda nomenklatur dan jurusan. Beliau alumni kampus bergengsi, sementara saya lulusan kampus calon akademisi. Beliau jurusan Depok, sementara saya jurusan Jakarta.
Pamit ke Prabowo
Saya selaras dengan saran/kritik FH agar Anies Baswedan sowan ke Prabowo Subianto (PS) usai purnatugas. Etika itu beliau tunjukkan saat bertemu dengan Presiden Joko Widodo, sepekan pasca purnatugas di Balaikota.
Namun di balik yang tampak, kita tidak tahu pasti mengapa Anies belum juga silaturrahim dengan PS. Dugaan saya, beliau sudah berkomunikasi dengan Ketum Gerindra. Tapi bisa jadi kunjungannya belum diterima saat ini.
Jika keadaannya demikian, dan Anies sendiri merasa perlu menjaga kehormatan PS, maka tuduhan FH bahwa beliau tidak beretika jelas kebablasan. Silakan bandingkan dengan calon yang diusung PS pada Pilgub DKI satu dekade lalu.
Non-Partisan
FH menuding Anies sebagai orang yang berada di luar gelanggang parpol, tapi berusaha membawa peruntungan dirinya ke dalam pentas kepemimpinan nasional sejak Konvensi Partai Demokrat. Sementara parpol kebagian capek.
Beliau amnesia, PT 20% diketuk palu saat dirinya memimpin sidang. Posisinya ketika itu adalah sebagai Wakil Ketua DPR dari Fraksi PKS (?). Artinya, beliau mendiamkan sebuah sistem yang memblokir peluang hadirnya calon presiden independen.
Simpulannya, kalau FH jengkel karena Anies bisa maju sebagai Bakal Calon Presiden tanpa harus memiliki KTA, maka logikanya pada saat itu dirinya memang menjadi bagian yang menjegal melalui penetapan Presidential Threshold 20%.
Massa Marah
FH lanjut menuding bahwa relawan dan masyarakat yang mendukung Anies Baswedan dilabel sebagai “Massa Marah”. Beliau tampaknya tidak cakap dalam membedakan antara kemarahan dengan harapan.
Padahal, relawan dan masyarakat yang ramai mendukung Anies Baswedan adalah wujud dari sebuah harapan akan perubahan dan perbaikan jika kelak beliau menjadi Presiden RI pada 2024. Ini waktunya untuk merestorasi Indonesia.
Jika logika FH demikian, maka eksistensi Partai Gelora adalah wujud dari kemarahan beliau terhadap PKS dan para fungsionarisnya. Sebab, status beliau saat itu sudah dipecat dari PKS. Itulah yang menyebabkan amarahnya muncul.
Arah Keliru
Partai Gelora menjual slogan “Arah Baru Indonesia”. Tapi kebijakan yang dipilih oleh elitnya patut diduga lebih mencerminkan sebagai sebuah persembahan untuk penguasa. Sehingga, arahnya bukan “Baru” tapi “Keliru”.
Contoh. Gelora mendukung Bobby Nasution sebagai Calon Wali Kota Medan. Lalu FH mulai mengkritisi #KamiOposisi. Kemudian beliau lanjut mengusili Anies Baswedan. Ngamen di beragam acara untuk kampanye negatif.
Apakah persembahan itu ada kaitannya dengan kelancaran proses pendaftaran parpol, mulai dari verifikasi administratif dan faktual yang disyaratkan oleh KemenkumHAM dan KPU? Wallahu a'lam. Perlu dibuktikan lebih jauh.
Penutup
Tulisan ini punya legal standing. Pertama, saya adalah relawan dari REKANAN /Rekan Anies Baswedan. Kedua, memiliki KTA Partai Gelora. Adakalanya aktif mengikuti acara #GeloraTalks. Silakan cek validitas data keanggotaannya.
Apa yang saya tuangkan di sini adalah sebagai penyeimbang dari seorang yang sebelumnya pernah menjadi instrumen pendukung berdirinya Gelora. Secara DNA, jika FH mendukung Anies, maka sebaiknya beliau juga mendukung Anies.
Bandung, 20122022. (*)