Fenomena Anies dan Gerilya Oligarki

Politisi senior Partai Golkar, Akbar Tanjung, anggota DPD, Tamsil Linrung, Sekjen KAHMI Nasional, Menimbang Kaharyadi dan M Jusuf Kalla. Mereka bersilaturrahmi ke rumah kediaman mantan Wakil Presiden itu di kawasan Jakarta Selatan, belum lama ini. (Foto: FNN/Istimewa)

Jusuf Kalla memprediksi ada empat poros kekuatan politik dalam pilpres 2024. Salah satunya, poros Partai Nasdem, Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Demokrat. Tiga partai ini diharapkan mengusung Anies Baswedan- Khofifah Indar Parawangsa. Khofifah adalah kandidat terkuat yang dapat diandalkan meraih suara mayoritas di Jawa Timur dan tidak menutup kemungkinan di Jawa Tengah

Oleh: Tamsil LinrungAnggota DPD RI/Pejuang PT 0%

JIKA saja ada jajak pendapat tentang siapa tokoh politik yang paling banyak dimaki, barangkali Anies Baswedan jawabannya. Kalau jajak pendapat itu diteruskan dengan pertanyaan siapa tokoh politik yang paling dingin menanggapi makian, mungkin jawabannya akan tetap Anies.

Ini bukan sanjungan, bukan pula sokongan politik. Ini sekadar mengemukakan fakta, dan kita harus jujur menarasikan fakta. Di tengah buasnya UU Informasi dan Transaksi Elektronik memangsa rakyat, tak sekali pun Gubernur DKI Jakarta ini memanfaatkan kedigdayaan aturan itu. Padahal, dialah tokoh politik yang banyak mendapat serangan verbal. 

Siapa sangka, sikap dingin Anies justru menjadi kekuatan yang menyulap cacian banyak orang menjadi pengatrol simpati publik. Semakin diserang, semakin dia berkibar. Semakin sabar, semakin menampakkan kelas kenegarawanannya. 

Alih-alih menanggapi, Anies memilih tetap fokus membenahi Jakarta meski jabatannya tinggal menghitung hari. Konsep “gagasan-narasi-karya” yang menjadi pijakan kinerjanya, dalam lima tahun ini terasa telah mengubah Jakarta menjadi lebih baik. 

Konsep itu boleh dibilang antitesa semboyan “kerja-kerja-kerja” khas Presiden Joko Widodo. Rakyat bisa merasakan perbedaan keduanya. Rakyat juga bisa membandingkan capain keduanya, meski tidak apple to apple.

Sebagai gubernur, prestasi Anies memang tidak diragukan. Bayangkan, 53 penghargaan pernah ia raih hanya dalam tempo  1 tahun 4 minggu. Anehnya, lawan politik, terutama oleh buzzer-buzzer itu, sering menyebut dia tidak bisa bekerja. 

Para buzzer itu juga tak bosan membandingkan kinerja Anies dengan Gubernur DKI Jakarta sebelumnya. Padahal, jauh panggang dari api. Tidak perlu mengulik semua pencapaian untuk membuktikannya. Cukup menyodorkan fakta opini Wajib Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) RI untuk DKI Jakarta selama 5 tahun berturut-turut, maka kita bisa menarik kesimpulan. Bukankah pemerintahan yang bersih menjadi ukuran paling mendasar? 

Maka wajar, di antara deretan nama yang disebut-sebut bakal menjadi calon presiden, sosok Anies cukup menonjol. Karena segudang prestasi itu, ia tidak perlu menggandeng nama besar orang tua hingga kakek atau neneknya. Ia juga tidak perlu bergantung pada nama besar presiden, atau berharap dukungan tukang survei. 

Gaya komunikasi berikut jaringan internasional yang luas adalah kelebihan lain yang ia miliki. Kelebihan ini rasanya cukup menonjol di antara deretan nama-nama capres yang ada. Dan yang harus menjadi catatan tambahan, di antara nama-nama capres itu, hanya Anies yang relasinya relatif berjarak dari penguasa, bahkan cenderung dipersepsikan berseberangan. 

Dari perspektif itu, tantangan Anies melaju di 2024 menjadi kian besar. Terlebih, mekanisme politik kita agaknya didesain untuk tidak sungguh-sungguh menemukan calon pemimpin terbaik. 

Itu terlihat dari upaya kuat mempertahankan presidential threshol (PT) atau ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden. Padahal, PT ini telah puluhan kali digugat ke Mahkamah Konsitusi (MK), termasuk oleh saya dan beberapa rekan dari DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Akan tetapi, semua gugatan ditolak. 

MK (Mahkamah Konstitusi) berkukuh, partai politiklah yang memiliki legal standing. Lucunya, ketika Partai Bulan Bintang (dan lembaga DPD) mengajukan gugatan, nyatanya tetap ditolak dengan berbagai dalih. Sementara di sisi lain, kolega saya, fraksi-fraksi dari partai besar di DPR terlihat nyaman dengan aturan ini. Kita menemui jalan buntu karena hanya melalui dua lembaga inilah aturan presidential threshold dapat diubah.

Oligarki Bergerilya

Yang senang tentu oligarki. Ada oligarki politik, ada pula oligarki ekonomi. Pilpres adalah wadah yang tepat menyatukan kekuatan. Oligarki ekonomi menyiapkan cuan, oligarki politik bergerilya ke sana-kemari. 

Tujuannya, agar capres yang disodorkan ke hadapan rakyat adalah orang-orang mereka juga. Siapa pun yang unggul, pada akhirnya oligarkilah pemenang sejati. Sembari memekikkan demokrasi ala mereka, para oligarki menunggangi presidential threshold untuk mengatur paket boneka sebagai pemenang, dan paket lainnya sebagai lawan yang kalah. Dan kita akan terperangah karena yang kalah pun berpotensi duduk manis di kabinet yang diracik oligarki.

Jusuf Kalla memprediksi ada empat poros kekuatan politik dalam pilpres 2024. Salah satunya, poros Partai Nasdem, Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Demokrat. Tiga partai tersebut diharapkan mengusung Anies Baswedan- Khofifah Indar Parawangsa. Khofifah adalah kandidat terkuat yang dapat diandalkan meraih suara mayoritas di Jawa Timur dan tidak menutup kemungkinan di Jawa Tengah. 

Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) tentu layak diperhitungkan juga. Namun, anak muda cerdas ini barangkali lebih pas bila terlebih dahulu mengasah memimpin kementerian, mengikuti jejak sang ayah, Soesilo Bambang Yudhoyono. Jika AHY siap dengan gagasan itu, maka pasangan Anies Baswedan – Khofifah Indar Parawangsa dapat tampil elegan sebagai kandidat nonparpol. 

Nasdem telah menyatakan dukungannya kepada Anies Baswedan, selain kepada Andika Perkasa dan Ganjar Pranowo. PKS belum resmi menyatakan sikap, namun agaknya mengarah kepada Anies. Pun dengan Partai Demokrat, mengingat karakter partainya agaknya sulit bila menyatu dengan PDIP, Gerindra, atau Golkar dalam konteks hari ini.

Di banyak kesempatan, tiga partai ini terlihat makin harmonis. Namun, gerilya oligarki bukan tidak mungkin mencari celah. Bila salah satunya dapat “ditarik,” dua partai tersisa kemungkinan tersandung presidential threshold dan harus rela mengobral dukungan kepada capres dari poros lain.

Layu sebelum berkembang, sinyalemen keretakan tiga partai itu mulai berdetak menyusul pelukan teletubbies Puan dan Bang Surya yang begitu dinikmati keduanya. Mungkinkah kemesraan ini membuyarkan prediksi terbaru JK terkait pasangan Anies – Khofifah? Kita tunggu saja. 

Yang jelas, tidak sedikit pengamat politik menduga bahwa oligarki akan bekerja ekstra keras untuk mengganjal Anies. Maka, terhadap kasak-kusuk politik di atas, boleh jadi merupakan bagian dari proyek politik para oligar, meski tidak juga menutup kemungkinan terjadi secara natural.

Puan Maharani barangkali merasa semakin popular sehingga target sebagai Capres dalam pemilu 2024 menjadi  harga mati. Itu artinya, Ganjar Pranowo yang berkomitmen tidak akan ikut pilpres bila tidak diusung PDIP, ya… akan terganjal pula. 

Satu hal yang pasti, selama presidential threshold menjadi rahim bagi lahirnya koalisi Parpol dan pasangan capres, selama itu pula pekik demokrasi hanya teriakan omong kosong belaka. (*)

556

Related Post