Fenomena dan Anomali Hukum Pemanggilan Edy Mulyadi

Edy Mulyadi.

Salah satu unsur tidak terpenuhi, maka tidak dapat dipaksakan untuk disidik, diadili dan dihukum. Jelas itu merupakan pelanggaran hukum oleh penegak hukum.

Oleh: Suparno M. JaminPunokawan Politik ITB-Per

SESUNGGUHNYA apa yang disampaikan oleh Edy Mulyadi akhir-akhir ini masih dalam koridor hukum. Lebih dari itu, apa yang disampaikan oleh Bang Edy adalah suara sebagian besar rakyat Indonesia. Artinya, Bang Edy telah mewakili suara rakyat Indonesia yang selama ini merasa tidak terwakili oleh orang-orang yang merasa mewakili.

Mereka yang merasa mewakili, yang diantarkan oleh rakyat untuk duduk, lenggah di kursi Senayan, masih merasa mewakili saja. Belum dibuktikan benar-benar mewakili. Itupun bagi yang masih punya perasaan mewakili. Bagi yang tidak punya perasaan mewakili, mereka sibuk cari uang dan perpanjangan Ijin tinggal di Senayan.   

Alih-alih mewakili suara rakyat, tidak dipanggil Yang Mulia saja mereka protes, tapi anehnya Hukum dan Keadilan diperkosa ramai-ramai, mereka diam. Tidak jarang mereka ikut memperkosanya. Buktinya banyak mereka yang di-OTT yang hanya sekedar amplop berisi recehan.

Dan lebih aneh lagi banyak diantara mereka yang menggunakan Plat mobil pribadinya secara aneh dan nyata. Berbeda dengan plat nomer yang berlaku dikalangan rakyat biasa. Itupun mereka tidak mau dipersalahkan. Mereka merasa bangga dan terhormat memakai plat nomer aneh. Memalukan!

Bukti berikutnya, mana suara wakil rakyat ketika ada bancaan dana bansos, ada pelanggaran HAM KM 50, ada diskriminasi proses hukum terhadap Imam Besar Habib Rizieq Shihab (IB-HRS) dkk. Di mana mereka berada ketika para buruh nasibnya semakin tidak jelas setelah lahirnya Omnibus Law. Dimana mereka ketika banyak kawasan hutan yang terbakar dan atau dibakar, tetapi ketika ada yang menyuarakan data dan fakta justru didzalimi dan dikuyo-kuyo.

Tinggal satu dua saja wakil rakyat yang masih bersuara. Itupun tidak ada langkah kongkrit berikutnya, atau terkesan basa-basi.

Mana suara mereka ketika masyarakat dibelah dan diadu-domba, mana suara mereka ketika ada anak pejabat yang baru gede langsung jadi miliader. Di mana mereka berada ketika banyak warga yang digusur oleh para pengembang, dst. Nyaris Sepi Mamring tak ada suara dari Senayan.

Rasanya untuk mendengar suara mereka saja seperti orang bermimpi. Jangan-jangan bermimpipun bisa dihukum. Salahkah jikalau rakyat bermimpi berjuang bersama para wakilnya yang dahulu-kala diantarkan duduk di kursi Senayan?

Salahkah kalau Bang Edy bersuara lantang mewakili sebagian besar rakyat Indonesia yang diam seribu bahasa, ketika para oligar dan oligur semakin terang-terangan mencengkeram NKRI milik kita bersama.

Hanya rumput kering yang bisa menjawabnya. Itupun setelah datangnya hujan.

Pertanyaan berikutnya, berdasarkan KUHP, atau UU ITE sekalipun, apakah statement Bang Edy bisa dituntut secara pidana, apa unsur pidananya bisa terpenuhi, atau hanya karena Bang Edy terlalu vokal dan banyak tahu, atau rezim hari ini takut kalau rakyat semakin tahu tentang keadaan negeri ini yang sesungguhnya.

Waktu yang akan menjawabnya.

Untuk itu aparat penegak hukum harus tetap netral, Presisi, dan menjaga konstitusi. Karena semua akan dipertanggungjawabkan. Tidak ada seorangpun bisa dipidana, dengan dalih apapun sepanjang tidak memenuhi unsur-unsur pIdana sebagaimana yang terkandung dalam pasal yang disangkakannya

Salah satu unsur tidak terpenuhi, maka tidak dapat dipaksakan untuk disidik, diadili dan dihukum. Jelas itu merupakan pelanggaran hukum oleh penegak hukum.

Apalagi pendapat Bang Edy tersebut masih dalam koridor hukum, serta didukung oleh data dan fakta yang ada di lapangan. Dan sebagian besar rakyat Indonesia merasa terwakili, dan mendukung pendapat Bang Edy, karena tidak ada ujaran kebencian terhadap suku, ras, etnis maupun golongan (SARA).

Semua itu hanya merupakan wujud rasa cinta Bang Edy yang tulus kepada negara dan bangsa ini dari rong-rongan para oligar dan oligor yang semakin serakah di negeri ini. Ingat, bahwa pendapat Bang Edy ini di samping didukung oleh data dan fakta di lapangan, juga dijamin oleh konstitusi pasal 28 UUD 1945 dan buku ke I,  pasal 1 ayat 1 KUHP.

Indonesia Raya yang Adil dan Beradab, 27 Januari 2022. (*)

301

Related Post