Ferdinand Hutahaean Itu Korban Kultur Jilat-Menjilat
Oleh Asyari Usman, Jurnalis Senior FNN dan Pemerhati Sosial Politik.
PENISTA agama yang melecehkan Allah SWT, Ferdinand Hutahaean, meminta maaf kepada umat Islam. Dia mengaku khilaf menuliskan cuitan “Allahmu lemah”.
Seiring dengan permintaan maaf itu, Ferdinand mengaku bahwa dia seorang muslim tetapi minim ilmu agama. Karena itu, dia memohon bimbingan dari para guru agama.
Tidak hanya meminta maaf, mantan politisi Partai Demokrat itu mengatakan dirinya menderita penyakit “down” selama setahun. Mungkin itulah yang membuat dia mengalami semacam disorientasi. Bisa jadi dia terombang-ambing dalam menjalani kehidupan.
Mengapa akhirnya Ferdinand meminta maaf? Padahal dia sempat menunjukkan sikap keras untuk melaporkan balik orang yang melaporkan penistaan yang dia lakukan. Apakah permintaan maaf ini mengisyaratkan bahwa dia tak di-backing?
Persis! Itulah persoalannya. Sekiranya dia punya backing, dia akan melawan. Tak mungkin Ferdinand meminta maaf.
Hari ini dia tak punya siapa-siapa untuk menyetop kasus penistaan itu. Dia dibuang dari sisi SBY tetapi tak diterima oleh Jokowi. Ferdinand kenal dengan sejumlah petinggi pemerintahan tapi tak bersambut. Jangankan bersambut, bahkan ada indikasi bahwa Kepolisian merasa mendapatkan tumbal untuk digunakan sebagai bukti bahwa mereka menangani serius laporan pelecehan agama. Bahwa Polisi tidak tebang pilih.
Penangangan kasus Ferdinand dengan serius oleh Polisi akan dipamerkan. Supaya publik bisa diyakinkan bahwa kali ini Polisi serius. Polisi berhutang kepada umat Islam. Mereka membiarkan Deni Siregar, Permadi Arya (Abu Janda) Ade Armando, dll, yang seenaknya melannggar aturan tanpa proses hukum.
Mumpung ada Ferdinand Hutahaean yang bisa diproses. Dia bukan orang Jokowi, atau belum diterima masuk ke gerombolan buzzer kebal hukum, meskipun dia berusaha menjilat junjungan.
Sekarang, mungkin Ferdinand menyesal. Dia menjadi korban kultur jilat-menjilat. Ternyata, menjilat pun pakai “fit and proper test” juga. Dicek rekam jejaknya apakah asli Jokower atau ‘acrobater’.[]