Gagah-Gagahan Jokowi Versus Protes Daerah
Kalau diasumsikan harga nikel sebesar US$ 23 ribu per ton, padahal pada Maret 2022, harga nikel sempat menclok di level US$ 50 ribu per ton, angka totalnya ketemu Rp 34 triliun.
Oleh: Nasmay L. Anas, Wartawan Senior dan Pemerhati Persoalan Publik
SEMPAT viral, ketika Presiden Joko Widodo memperingatkan Gubernur Maluku Utara (Malut) Abdul Ghani Kasuba untuk berhati-hati membuat kebijakan. Karena, menurut presiden, propinsi itu dinyatakan sebagai daerah dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia.
Luar biasa, karena mencapai 27 persen. Tidak ada daerah lain di belahan dunia mana pun di masa sekarang yang mengalami pertumbuhan ekonomi setinggi itu.
Dengan gagahnya Presiden Jokowi mengatakan, “Hati-hati Pak Gubernur! Hati-hati Maluku Utara, hati-hati, hati-hati! Jangan main-main, karena pertumbuhan ekonomi di Maluku Utara itu 27 persen.”
Presiden Jokowi juga menambahkan, “Pertumbuhan ekonomi di Malut sudah tinggi sekali. Paling tinggi di dunia. Enggak percaya? Cek, mana ada pertumbuhan ekonomi sebuah provinsi 27 persen.” Hal itu dikemukakan Jokowi, saat membuka Pertemuan Tahunan Bank Indonesia di JCC, Jakarta Pusat, Rabu, 30 November 2022.
Pertanyaannya: Mengapa Propinsi Malut bisa mengalami pertumbuhan ekonomi begitu pesat? Meminjam istilah Jokowi: Meroket! Dan tentu saja, jawabannya: Karena menurut presiden, telah terjadi hilirisasi industri di sana. Sebab saat ini di sana telah dibangun smelter nikel. Sehingga hasil tambang bisa diolah terlebih dahulu sebelum diekspor ke luar negeri.
Tidak tanggung-tanggung, Jokowi juga menyebut inflasi di Maluku Utara rendah dibanding daerah lainnya. Hanya 3,3 persen. Karena itu, beberapa survei menyebut, masyarakat Maluku Utara sebagai paling bahagia di Indonesia.
Pertanyaannya lagi: Benarkah demikian? Benarkah masyarakat di Malut merupakan yang paling bahagia di Indonesia?
Yang jelas, ternyata Gubernur Malut Abdul Ghani Kasuba mengeluhkan peringatan presiden itu. Karena menurut dia, pertumbuhan ekonomi tersebut tidak berpengaruh kepada kehidupan masyarakat Malut.
“Pertumbuhan ekonomi tinggi, sebenarnya masyarakat tidak menikmati apa-apa,” ujarnya.
Hal itu disampaikannya kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, ketika dia bicara dalam Rapat Kerja Nasional Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup Tahun 2022 di Gedung AA Maramis, Kemenko Perekonomian, Rabu (21/12/2022). Seperti dilansir detikFinance, Rabu, 21 Des 2022.
Meski Abdul Gani tidak mengemukakan pernyataannya itu sebagai sebuah protes keras, namun orang dapat menilai. Bahwa pernyataan presiden itu tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Bahwa masyarakat paling bahagia di Indonesia adalah masyarakat Malut adalah omong kosong.
Sebab, sejumlah fakta justru memperlihatkan banyak hal yang berbeda. Jauh sekali dari apa yang diungkapkan presiden. Karena faktanya adalah sebagai berikut:
Pertama, tambang nikel di Maluku Utara hanya tinggalkan kerusakan alam. Menurut catatan Walhi Maluku Utara, pertambangan nikel di Malut telah mengakibatkan hilangnya hutan alam di pulau kecil seluas 16.000 hektar itu. Hanya dalam 15 tahun terakhir.
Kedua, Industri pertambangan nikel tersebut juga mencemari laut dan menyebabkan penurunan jumlah nelayan. Direktur Walhi Malut Faizal Ratuela menyebutkan, sepanjang tahun 2014 hingga 2018 saja, telah terjadi penurunan jumlah nelayan secara sangat drastis. Dari 8.587 pada 2014 menjadi 3.532 orang pada 2018.
Ketiga, Malut yang kondang sebagai provinsi kaya nikel, ternyata tidak mampu membuat rakyatnya sejahtera. Ekonom Pergerakan Kedaulatan Rakyat (PKR), Gede Sandra menyebutkan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2021, sebanyak 70 persen warga Malut tidak dapat mengakses makanan bergizi.
Keempat, penyebab utama ketidakmampuan mereka membeli makanan bergizi adalah karena kemiskinan. Badan Pusat Statistik Provinsi Maluku Utara, seperti dilansir malut.bps.go.id, konsumsi daging oleh Penduduk Maluku Utara sangat rendah. Hanya 0,2 persen rata-rata setiap bulannya.
Kelima, prevalensi stunting di Provinsi Maluku Utara berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2021 sebesar 27, 5 persen.
Hal ini diungkapkan Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi Maluku Utara, Renta Rego, di Hotel Sahid Bela Ternate, Kamis (14/9/2022). Bahkan dia menegaskan bahwa sebenarnya datanya jauh lebih tinggi. Karena, “Angka prevalensi stunting di Maluku Utara, yang tertinggi Kabupaten Taliabu, yakni sebesar 35,2 persen,” katanya.
Mengapa semua ini terjadi?
Tak dapat dipungkiri, karena upaya menyejahterakan rakyat tidak berjalan. Sementara, menurut sejumlah sumber yang layak dipercaya, China leluasa mengangkut nikel ke negaranya. Luput dari pajak dan kewajiban lainnya.
Hilirisasi tambang nikel, seperti diungkapkan presiden, sama sekali tidak terbukti. Semua karena dari hulu sampai hilir dikuasai Cina. Pemerintah daerah tak punya kuasa apa-apa.
Protes Daerah
Dalam beberapa waktu terakhir, aksi protes Bupati Kepulauan Meranti H. Muhammad Adil, SH, MM, terhadap Kementerian Keuangan juga tidak kalah viral.
Duduk perkara Bupati Kepulauan Meranti marah-marah itu adalah karena dalam Pengelolaan Pendapatan dan Belanja Daerah, dia menilai Kemenkeu tidak adil. Karena, Kemenkeu memberikan dana bagi hasil (DBH) yang nilainya kecil atas produksi minyak Meranti.
Adil melancarkan protesnya di hadapan Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan (Kemenkeu), Luky Afirman. Dalam acara yang digelar di Menara Dang Merdu, Bank Riau Kepri Syariah, Pekanbaru, beberapa waktu lalu.
Saking kesalnya dalam Rakornas Pengelolaan Pendapatan dan Belanja Daerah di Pekanbaru, Kamis (8/12/2022) lalu itu, Adil bahkan sempat melontarkan kata "ibl**" dan "set**". Sehingga Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) memberikan teguran keras kepada Bupati Kepulauan Meranti itu.
Pada awalnya, Adil menerangkan DBH yang diterima Kabupaten Kepulauan Meranti senilai Rp 114 miliar yang didasarkan pada perhitungan harga minyak 60 dollar AS per barel pada 2022.
Dari situlah, Adil kemudian mengungkit-ungkit pernyataan Presiden Jokowi yang mengatakan, harga minyak dunia mengalami kenaikan 100 dollar AS per barel, dalam pembahasan APBD 2023.
Sejumlah daerah yang dinyatakan kaya akan SDA, tetapi rakyatnya tetap miskin secara perlahan tapi pasti terus menggeliat. Mereka protes karena merasa dibohongi. Penyebabnya, tentu saja, bukan hanya karena DBH yang tidak adil. Tapi juga ketidakpedulian pemerintah pusat terhadap upaya menyejahterakan rakyat setempat.
Dalam hal ini coba perhatikan apa yang sempat dikemukakan pengusaha Mardigu Wowiek Prasantyo alias Bossman Mardigu. Melalui akun YouTube-nya, dia menceritakan sebuah desa bernama Desa Lelilef di Halmahera Tengah (Halteng). Di mana sekarang banyak berdiri perusahaan tambang China. Di desa yang pernah dikunjungi 10 tahun lalu, kini banyak dihuni pekerja China.
“Kondisinya beda dengan 10 tahun lalu. Di mana, Lelilef menjadi kota tambang, kota nikel yang luar biasa sibuk. Lebih kaget lagi, wajah penduduk Lelilef, sangat berbeda. Bukan lagi manusia lokal yang saya lihat 10 tahun lalu,” tuturnya.
Dia menyebut salah satu perusahaan tambang China bernama Tsingshan Holding Group. Ini bukan perusahaan ecek-ecek. Di China, Tsingshan HG adalah perusahaan tambang baja dan nikel terbesar. Yang sedikitnya memboyong 800.000 ton nikel dari Desa Lelilef ke China, melalui pelabuhan pribadinya.
Kalau diasumsikan harga nikel sebesar US$ 23 ribu per ton, padahal pada Maret 2022, harga nikel sempat menclok di level US$ 50 ribu per ton, angka totalnya ketemu Rp 34 triliun.
Tsingshan HG jadi sangat kaya. Dibiarkan mengeruk SDA Halteng begitu leluasa. Tapi sama seperti di Malut, rakyat di daerah itu tetap dibiarkan miskin. (*)