Ganjar Itu Jokowi Kecil Yang Hendak Menghalangi Megawati Mengatur Politik PDIP

Jakarta, FNN – Kandang banteng sedang gaduh. Pergolakan di tubuh partai warisan Bung Karno itu lantaran ada upaya “kudeta” senyap yang dilakukan petugas partai. Ini yang membuat Ibu Mega marah, karena DPP membaca gelagat tak sedap bahwa Ganjar itu perwujudan dari Jokowi kecil yang hendak menghalangi Megawati mengatur politik PDIP. Kegaduhan itu tak cukup hanya dhapus dengan keterangan pers Hasto Kristianto, Sekjen PDIP. Maka publik menyangsikan kemesraan yang dieksploitasi oleh Sekretariat Presiden, sebab sesungguhnya mereka sedang perang batin. Jika mereka baik-baik saja, mustinya Trimedya Panjaitan dan Masinton Pasaribu sudah dipecat karena menyebut presiden bebal.

Demikian tafsir singkat dari hasil wawancara wartawan senior FNN Hersubeno Arief dengan pengamat politik Rocky Gerung dalam kanal YouTube Rocky Gerung Official, Rabu, 08 Juni 2022. Petikannya:

Situasi politik sekarang semakin menyenangkan, lucu, kacau, dan seru. Bagaimana menurut Anda?  

Iya, banyak orang yang akhirnya melihat bahwa Indonesia itu politiknya soal pribadi doang, bukan soal kelembagaan, hubungan kelembagaan, regulasi, dan institusi. Ini betul-betul soal pribadi. Dan itu buruknya. Jadi, seolah-olah 270 juta rakyat Indonesia, itu tergantung pada suasana hati dua orang.

Sekarang orang sedang fokus memperhatikan apa yang terjadi di antara Bu Mega dengan Pak Jokowi. Setelah beberapa kali mereka nggak ketemu dalam forum penting, salah satu yang paling mencolok adalah ketika peringatan hari lahir Pancasila 1 Juni di Pulau Ende. Tapi kemarin orang mulai melihat ada yang mulai mencair. Ibu Megawati muncul di istana merdeka dan videonya kemudian sengaja diposting oleh Sekretariat Kepresidenan. Padahal videonya cuma 32 detik. Kemudian ramai-ramai mulai dari Sekretariat Presiden sampai staf membantah bahwa tidak ada kegiatan antara Pak Jokowi dengan Ibu Mega. Katanya hari ini Pak Jokowi akan menghadiri peresmian Masjid Attaufik di Lenteng Agung, di sekolahnya kader PDIP?

Sinyal-sinyal begini yang kita sebut saja, mungkin sudah cair. Kalau sudah cair artinya reshuffle kabinet PDIP akan dapat 3-4 kursi. Kira-kira begitu gampangnya. Tapi apa gunanya tukar tambah politik, kalau badai ekonomi sedang masuk ke Indonesia. Itu percuma. Dan yang lebih penting sebetulnya terlalu berlebihan orang-orang PDIP, mulai dari Sekjen,  “Oh itu tidak ada problem, tidak ada masalah”. Justru kalau diterangkan begitu kita mengerti bahwa memang ada masalah. Nah, itu dipamerkan bahwa seolah-olah tidak ada masalah. Kan nggak natural, Pak Jokowi dalam satu minggu 3-4 kali bertemu Bu Mega. Itu artinya ada tukar tambah yang sedang disogokkan. Dan memang ada konsekuensinya. Kalau memang dari awal tidak ada ketegangan maka konsekuensinya Trimedya Panjaitan sudah bisa bisa dipecat. Masinton Pasaribu juga bisa dipecat karena dia sudah mengatakan presiden bebal. Itu suara partai. Jadi, Ibu Mega sedang sodorkan dua peralatan itu. Itu yang kita sebut sinyal beginian, kan ya dangkal betul politik semacam itu, kecuali bersamaan dengan pertemuan dengan Ibu Mega, Ibu Mega bilang ke publik bahwa saya sudah bertemu Pak Jokowi dan dua anak buah saya itu emang ngacau. Kan kita tahu, misalnya, Trimedya itu membuat konferensi pers dalam bentuk laporan tertulis. Artinya, itu keputusan partai. Bahwa Ganjar itu adalah Jokowi kecil yang hendak menghalangi Bu Mega untuk mengatur politik PDIP. Berarti Bu Mega marah, maka dikirim sinyal itu. Itu tanda semacam enggak bisa dihapus sekadar dengan keterangan Hasto. Ya boleh saja itu keterangan public relation, tetapi relasi politik tetap memanas. Kecuali Ibu Mega sudah betul-betul mengucapkan saya akan mendukung Ganjar. Selesai masalahnya. Kan cuma itu battle field-nya. medan perangnya ada di situ. Jadi, selama tidak ada keterangan langsung dari Bu Mega, nanti Hasto datang lagi dan bilang iya memang masih ada masalah sedikit, tapi nanti akan diselesaikan. Lalu kita dengar lagi tokoh-tokoh PDIP ngoceh-ngoceh lagi untuk menghajar Jokowi juncto Ganjar. Ya sudah kita anggap saja bahwa ini head line saja, tapi di belakang layar orang selalu enggak bisa dibohongi untuk membaca keadaan sebetulnya. Ini sebetulnya berkaitan dengan isu reshuffle. Mungkin untuk balancing karena PDIP sudah mulai terdesak dan Ganjarist sebetulnya sudah di depan. Sebetulnya kita bisa lebih jauh melihat bahwa dua pihak ini, Presiden Jokowi maupun Ibu Mega sudah bertemu dengan pihak ketiga, yaitu para investor politik alias oligarki.

Ya, saya sepakat dengan Anda karena memang memang apple to apple kalau sekarang Pak Jokowi hanya meresmikan masjid meskipun masjid sangat penting artinya karena menggunakan nama almarhum suaminya Ibu Mega, Pak Taufik Kiemas, tapi kalau dibandingkan ketika peresmian K-smart, kampusnya STIN (Sekolah Tinggi Intelijen Negara) Smart Kampus Doktor Honoris Causa Ir. Soekarno dan Pak Jokowi tidak hadir, ini maksa banget ya?

Ini kan ketegangan bolak-balik saja, karena kekacauan koordinasi makropolitik. Sering kita sebut kekacauan itu disebabkan oleh masyarakat dipasang presidential threshold. Ada KIB yang mungkin diintip bahwa ini sebetulnya mau pro-Ganjar tapi separuh hati, masih ada jalan tikus, karena bagaimanapun Pak Airlangga itu punya potensi juga untuk jadi presiden. Lalu mulai timbul sinyal apa sebetulnya yang terjadi tiba-tiba Airlangga ditanya wartawan siapa calon presidennya, tentu dia tidak akan menyebutkan namanya sendiri kan? Sebetulnya sebut saja, saya mau jadi calon presiden karena saya yang memimpin Koalisi Indonesia Bersatu. Tapi beliau kasih sinyal bahwa itu tokoh yang tidak berbasis politik aliran. Lalu orang menduga bahwa itu berarti Ganjar. Kalau Ganjar berarti Ibu Puan tersisih di situ. Lebih lagi Bu Mega mungkin baca pernyataan itu dan menganggap KIB ini adalah mainan baru Jokowi. Padahal, sebetulnya kita ingin lihat Pak Airlangga Hartarto mengucapkan sesuatu yang betul-betul bisa dihitung akibatnya. Kalau cuma sekadar bilang politik aliran, kan orang di dalam teori ilmu politik dasar, yang disebut politik aliran itu santri dan abangan. Jadi, nggak boleh yang santri dan abangan. Siapa yang abangan? Ganjar mungkin abangan dalam perpolitikan yang dibuat oleh Herbert Feith dulu untuk memetakan politik Indonesia. Artinya Ganjar juga enggak boleh dong. Kan dia politik aliran juga. Aliran abangan. Santri-santri enggak boleh juga. Itu artinya Erick Thohir yang lagi disasar karena Erick Thohir lagi main-main sama kalangan santri. Jadi, Pak Airlangga musti jelas. Kalau enggak, orang akan menganggap Pak Airlangga kurang mengerti juga apa yang disebut politik aliran.  Kan  secara teoritis begitu yang disebut politik aliran. Nggak ada aliran lain yang disebut sosial demokrat yang dari kalangan sosialis sampai kalangan PKI, dan PKI sudah nggak dianggap lagi. Ini bahayanya kalau Pak Airlangga tidak dibekali dengan konsep yang utuh. Menyebut politik aliran itu artinya yang berbasis abangan sebagai aliran dan santri sebagai aliran, tidak akan diusung Golkar. Kacau argumen Airlangga.

Sekarang ada kecenderungan bahwa itu diframing dan distigma bahwa aliran itu berarti Islam dan dalam hal ini yang mendapat stigma itu adalah Anies Baswedan, walaupun sebenarnya banyak tokoh-tokoh lain?

Sinyal-sinyal begitu yang orang anggap, ini ngapain sih KIB. Itu yang saya sebut nanti menjadi Koalisi Indonesia Berantakan karena konsepnya nggak utuh. Saya mengerti zig-zagnya Pak Airlangga, karena beliau juga lagi rentan diamputasi oleh Jokowi karena problem minyak goreng. Tetapi kita musti biasakan beri pelajaran pada publik tentang ketegasan politik, kejujuran politik, dan persaingan politik. Jadi, Pak Airlangga Hartarto dan Hasto, Sekjen PDIP, sama juga, main-main dengan istilah yang sebetulnya orang tahu di belakangnya tidak ada apa-apa, kosong. Istilah politik aliran itu berbahaya karena itu juga langsung seolah-olah Islamofobia. Padahal kalau kita baca teori ilmu politik, enggak begitu pengertiannya. Sinyal ini yang akan memperuncing friksi di masyarakat. Ini pentingnya konsultan politik yang berawawasan.

Masalah Megawati dan Jokowi, sebenarnya kalau cuma soal reshuffle kabinet, sebenarnya Permen, karena makanan utamanya itu adalah Pilpres 2024. Itu berarti urusannya antara Ganjar dengan Puan?

Betul dan kelihatannya kubu Pak Jokowi sudah dapat bisikan bahwa Anies itu berpotensi politik aliran. Kira-kira begitu. Karena banyak survei yang menganggap bahwa Anies masih diasuh oleh kalangan muslim yang radikal. Kemarin ada bukti bahwa Anies diusung oleh FPI walaupun ternyata itu hoaks. Pak Jokowi dengar itu. Jadi, mungkin itu yang diprotes oleh Pak Jokowi pada Ibu Mega, jangan Anies dong. Itu juga menunjukkan bahwa kubu Ganjar, itu nggak stabil. Kalau sudah fix ngapain takut pada Anies. Jadi, sangat mungkin juga kubu Ganjar amplopnya belum turun dari oligarki. Itu pentingnya datang ke kampus, datang ke redaksi-redaksi media massa, untuk duel argumen. Bukan sekadar dengan head line, lalu ada berita Bu Mega sudah  berdamai, tapi apa pointnya? Demi Anies atau demi Ganjar. Demi ketakutan pada politik aliran atau hanya transaksi dangkal untuk mendapat kursi baru setelah reshuffle. Politik kita diasuh oleh semacam tular tambah psikologi 2 orang antara Bu Mega dan Pak Jokowi. Padahal dalam seminggu ini ada akrobat lain seperti Prabowo yang ngalor ngidul nyari dukungan, ada Pak SBY yang akhirnya secara sinergis memikirkan masa depan politik Indonesia dengan mendatangi Nasdem. Politik Indonesia saat ini antara kasak kusuk dan hiruk pikuk. (sws)

391

Related Post