Geram Dengan Rezim Penguasa, Aggota DPD RI ini Siap Pimpin Pemakzulan Jokowi
Jakarta, FNN - Keputusan Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Pengganti Undang-undang Omnibuslaw Cipta Kerja terus mengundang kritik dari berbagai kalangan. Para praktisi hukum tata negara menilai tidak ada alasan yang kuat berupa kegentingan yang memaksa, yang bisa menjadi dasar Presiden Jokowi menerbitkan sebuah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang. Tindakan tersebut bahkan bisa dinilai sebagai pelecehan terhadap Keputusan Mahkamah Konstitusi yang telah memutuskan Omnibuslaw atau Undang-undang Cipta Kerja ini sebagai undang-undang inkonstitusional bersyarat. Oleh karena itu, sejumlah aktivis dan praktisi sedang menyiapkan langkah hukum untuk menggugat Perpu tersebut. Bahkan, seorang anggota DPD menyatakan dengan keputusan itu presiden sesungguhnya bisa langsung dimakzulkan atau dilengserkan. “Andai saja DPD punya kewenangan lebih, percayalah, saya akan mengambil inisiatif pemakzulan itu,” kata anggota DPD RI dari Sulawesi Tengah, Abdurrahman Thaha, sebagaimana dikutip dari tempo.co.
Sayangnya, kewenangan DPD itu sangat terbatas. Yang punya hak untuk mengajukan pemakzulan adalah anggota DPR RI, kemudian dilaksanakan oleh MPR. Kendati begitu, Abdurrahman Thaha mendorong seluruh anggota DPD RI untuk menemui Presiden Jokowi di istana dan mengingatkan preseden buruk yang dihasilkan dari penerbitan Perpu Omnibuslaw Cipta kerja itu.
Keputusan pemerintah menerbitkan Perpu Undang-undang Cipta Kerja kita kerja ini sungguh-sungguh sangat mengejutkan. Dalam keputusan sidang yang digelar hari Kamis, 25 November 2021, Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang dipimpin oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Utsman mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan oleh penggugat. Bahkan, pembentukan Undang-undang Cipta Kerja itu dinilai bertentangan dengan Undang-undang ‘45 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, sepanjang tidak dimaknai, tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun sejak keputusan itu diucapkan.
Dalam keputusan itu MK juga memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 tahun sejak putusan diucapkan. Apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka Undang-undang Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional tetap, tidak konstitusional. ya
Undang-undang Cipta Kerja ini sebelumnya digugat oleh sejumlah kelompok masyarakat yang terdiri dari Migran Care, Badan Kerapatan Adat dari Sumatera Barat, Mahkamah Adat Minangkabau, dan seorang warga bernama Muchtar Syair. Dengan keputusan tadi, tenggang waktunya kurang lebih baru 1 tahun, harusnya pemerintah dan DPR melakukan revisi terhadap beberapa ketentuan yang disebutkan oleh MK sebagai bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945. “Tetapi, yang terjadi alih-alih menjalankan Keputusan MK, Presiden pada 30 Desember 2022, malah menerbitkan Perpu Nomor 2 tahun 2022. Nah, ini memang yang dianggap Pemerintah sangat arogan,” kata Hersubeno Arief, wartawan senior FNN, dalam Kanal Youtube Hersubeno Point edisi Selasa (03/01/23).
Penerbitan Perpu itu disampaikan oleh Menko Perekonomian Airlangga Hartato didampingi oleh Menkopolhukam dan Wamenkumham, Profesor Edi Yaris. Berikut cuplikannya, “Tadi kami sudah berkonsultasi, dipanggil Bapak Presiden dan diminta untuk mengumumkan terkait penetapan pemerintah untuk Perpu tentang Cipta Kerja, dan tadi Bapak Presiden telah berkonsultasi dengan sudah berbicara dengan Ketua DPR, dan pada prinsipnya ketua DPR sudah terinformasi mengenai Perpu tentang Cipta Kerja. Dan ini berpedoman pada Peraturan Perundangan dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 38/PUU/7/2009 dan hari ini telah diterbitkan Perpu Nomor 2 Tahun 2022 tertanggal 30 Desember 2022. Pertimbangannya adalah pertama kebutuhan mendesak. Pemerintah perlu mempercepat antisipasi terhadap kondisi global, baik yang terkait dengan ekonomi kita menghadapi resesi global, peningkatan inflasi, kemudian ancaman stagflasi, dan juga beberapa negara sedang berkembang yang sudah masuk kepada IMF itu lebih dari 30, dan sudah antri juga 30. jadi kondisi krisis ini untuk emerging developing country menjadi sangat riil dan juga terkait dengan geopolitik, perang Ukraina – Rusia, dan konflik lainnya juga belum selesai, dan pemerintah menghadapi tentu semua negara menghadapi krisis pangan, energi, keuangan, dan perubahan iklim...”
“Keputusan pemerintah menerbitkan Perpu Cipta Kerja itu sungguh mengejutkan. Apalagi, kalau kita simak penjelasan Airlangga Hartarto dan Mahfud MD tadi memang tidak cukup kuat,” ujar Hersubeno. Tadi disebut-sebut bahwa alasannya di antaranya perang di Ukraina yang membuat situasi global tidak ada ketidakpastian. Alasan ini lebih pada kepentingan dan kepastian hukum terhadap para investor. Padahal, amanat dari Mahkamah Konstitusi jelas, yaitu meminta pembuat undang-undang, dalam ini hal ini pemerintah dan DPR, untuk memperbaikinya. Mereka diberi waktu 2 tahun, harusnya cukup.
Tetapi, dalam penjelasan yang disampaikan Pak Mahfud, dijelaskan bahwa mereka berkejaran dengan waktu, terutama para investor yang perlu kepastian hukum. “Saya tidak terkejut kalau ada yang menganggap bahwa ini melecehkan Mahkamah Konstitusi. Jadi, alih-alih membicarakan terlebih dahulu dengan DPR, membahasnya, dan melakukan perbaikan-perbaikan, pemerintah malah menerbitkan Perpu,” ujar Hersu gemas.
Sekarang ini bola bergulir ke DPR. Apakah DPR akan mengesahkan Perpu itu menjadi undang-undang? Kalau kita berkaca dari berbagai pembahasan perundang-undangan, termasuk terbitnya Perpu nomor 1 tahun 2020 tentang stabilitas keuangan negara untuk penanganan covid, DPR hampir dipastikan akan mengesahkannya. Wajar kalau sekarang ini banyak yang frustrasi menghadapi rezim pemerintahan Jokowi ini. “Setiap kali membuat undang-undang yang bertentangan dengan rakyat, pemerintah dan DPR tetap jalan terus, tidak peduli ada unjuk rasa besar-besaran, termasuk ketika pembentukan Undang-undang Omnibuslaw ini. Kemudian jawabannya paling enak silahkan digugat ke Mahkamah Konstitusi,” ungkap Hersu.
Namun,menurut Hersu, dalam kasus Omnibuslaw Cipta Kerja, setelah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai inkonstitusional bersyarat, perlu dicatat, ini satu-satunya keputusan yang pernah diambil oleh MK tapi langsung diterpedo oleh Pemerintah dengan menerbitkan Perpu. “Ya, ini arogan sekali pemerintah. Mereka sangat tidak peduli, suara rakyat tidak didengarkan dan suara lembaga tinggi hukum seperti Mahkamah Konstitusi juga diabaikan,” ungkap Hersu.
Wajar kalau kemudian anggota DPD RI seperti Abdurrahman Thaha menyerukan adanya pemakzulan terhadap Jokowi. Bahkan, dia menyatakan dia akan memimpin andai saja DPD punya kewenangan. Sayangnya, DPD memang tidak punya kewenangan. Yang punya kewenangan itu DPR dan kita tahu DPR sekarang sepenuhnya sudah dikuasai oleh pemerintah. “Jadi, langkah apa yang harus kita lakukan?” tanya Hersubeno Arief mengakhiri pembahasannya. (ida)