Gonjang-Ganjing Nusantara
Oleh Sugengwaras *)
Motif kebohongan yang dibungkus pembangunan dengan biaya APBN adalah salah satu modus jitu yang digunakan oleh setan-setan politik di lingkaran istana.
Politik tidak identik dengan kekuasaan dan kekerasan, tanpa perjuangan politik tidak ada NKRI. Namun politik yang dibungkus dengan strategi, bisa menghancurkan tatanan dan peradaban bangsa. Contoh gamblang adalah pembangunan jalan kereta api cepat Jakarta-Bandung yang cacat visibel, paradok perhitungan manfaat, pemerataan rakyat dan untung rugi.
Jokowi pada awalnya mewanti-wanti agar tidak menggunakan biaya APBN, namun kini karena pelambatan kerja dan pembengkakan biaya yang salah satunya akibat pandemi Covid - 19, terpaksalah bekerja dengan pola mumpung kuasa dengan menaikkan dan membuka lahan baru perpajakan yang dibebankan kepada rakyat melalui perubahan NIK di KTP menjadi NPWP. Artinya bagi pemegang KTP otomatis sebagai wajib pajak, bisa jadi ke depan akte kelahiran juga akan di-NPWP-kan.
Dikatakan non-visibel karena asumsi atau prediksi akan meraub penumpang sebanyak 40.000 orang perhari, adalah imposible, di samping jarak yang relatif dekat dengan kecepatan tinggi juga menambah ketimpangan pemerataan kesejahteraan rakyat di luar area Jakarta-Bandung.
Keterlibatan Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) sang superman yang mengangkangi 10 jabatan penting, mengindikasikan kebuntuan berpikir sang presiden dalam tugas negara yang bisa dibagi habis oleh para pakar dan praktisi di bidangnya.
Penyiapan tim pemilu pada Pilpres 2024 yang mengarah kepada dominasi eks pejabat lama KPU dan BAWASLU, mengindikasikan cara-cara dan permainan lama dengan bungkus baru.
Konsep RUU Kepolisian yang mengarah akan bisa menangkap, mem-BAP dan memidana langsung kepada anggota TNI semakin menambah kecurigaan atas gagasan Tito Karnavian dalam bukunya yang berjudul Democratic Policing, serta cuplikan arahan Tito sewaktu menjabat Kapolri terkait agar semua jajaran Polri bersabar. Kita mengalah untuk kepentingan yang lebih besar, yaitu mewujudkan Democratic Policing yang nantinya TNI akan tunduk pada hukum kepolisian. Untuk itu agar terus rangkul TNI.
Jika suratan di atas tanpa direkayasa dan dikurang lebihi, Tito harus klarifikasi kepada masyarakat umumnya, dan TNI khususnya, agar kekompakan TNI POLRI tidak hanya sebagai jebakan atau slogan belaka.
Perlu dipahami dan disadari bahwa antara TNI dan POLRI merupakan badan atau instansi yang sangat dominan dalam bidang Pertahanan dan Keamanan Negara, yang menjalankan politik negara untuk kepentingan negara dan meninggalkan politik praktis untuk kepentingan tertentu.
Oleh karenanya TNI POLRI harus disetarakan kedudukannya serta disesuaikan kebutuhan awak dan peralatanya agar tidak merasa arogan secara sepihak yang bisa memunculkan kecemburuan.
Logikanya tidak mungkin polisi akan paling terdepan berperan di negara ini, karena kondisi dan hakikat menghadapi ancaman senantiasa harus diimbangi dengan awak, sarana dan prasarana yang dimiliki. Konkritnya polisi hanya berkemampuan beberapa kilo meter dari pantai dengan kedalaman tertentu untuk menyikapi bahaya atau ancaman laut, apa lagi bahaya udara atau ancaman udara. Sedangkan hakikat ancaman jauh lebih dimampui oleh ancaman nyata baik di darat, laut, maupun udara ketimbang kemampuan yang dimiliki polisi.
Sayangnya pihak TNI sendiri secara oknum pejabat strategis, banyak yang abai pengertian ini sampai-sampai menggeneralisir dan menyalahtafsirkan makna kepemilikan presiden terhadap raktyatnya include TNI POLRI nya. Menyedihkan sekali.
Maka tidak mengherankan bahwa masyarakat merasakan kebohongan dan kegaduhan yang dipertontonkan rezim ini tak ada habis-habisnya bak tepi tanpa batas.
Atau barangkali ini sebagai tantangan dari rezim untuk menungggu celotehan PEOPLE POWER?
*) Purnawirawan TNI AD, tinggal di Bandung