Haji Entong Gendut versus Belanda
Oleh Ridwan Saidi, Budayawan
CONDET sampai akhir abad XIX M daerah yang makmur. Mereka bersawah, berkebun, dan membatik sutra.
Condet adalah jenis ulat yang dapat dibuat sutra.
Kedamaian dan kemakmuran Condet dirusak Belanda. Belanda menjual tanah di Condet kepada pemodal a.l Lady Rollinson.
Petani Condet harus bayar sewa di atas tanahnya sendiri.
Ini membuat gusar putra asli Condet Tong Gendut. Entong sering berkunjung ke Cing Sairin di Cawang. Cing Sairin dianggap berpengetahuan politik.
Beberapa tahun sebelumnya seperti dilaporkan Kartodirdjo di Ciampea, Bogor, pada malam 14 Januari 1913 ratusan petani kepung rumah wedana yang rakyat anggap blo'on tapi zalim. Tak ada korban tewas, tapi mobil wedana dirusak, dan kuda-kuda piaraan wedana dilukai (majalah Tani, Desember 2008).
Peristiwa Ciampea melibatkan Cing Sairin.
Sairin selalu luput dari penangkapan hingga wafatnya. Ia dimakamkan di Kampung Kerendang seberang Roxy. Waktu saya kecil Mak pernah bawa saya ziarah ke makam Cing Sairin. Tak jelas keberadaan makam itu sekarang.
Tong Gendut mengawali pemberontakannya pada tahun 1916 secara unik.
Ia gelar pertunjukan topéng Betawi depan rumah Lady Rollinson. Tuan Tanah dan penjajah diperolok topemg.
Esok hari Tong Gendut dan warga Condet menyerang pos-pos jaga. Korban tewas di pihak Belanda empat orang.
Hari esoknya Belanda membalas kepung rumah Tong Gendut. Menurut sebuah tulisan di Prisma, Tong Gendut keluar rumah sambil teriak, Sabilullah gua kaga takut. Puluhan peluru menghujani tubuh Tong Gendut
Ia sahid.
Setelah itu Belanda obrak-abrik kampung Condet. Infrastruktur industri batik dihancurkan. Banyak native yang tinggalkan Condet, mereka kembali beberapa tahun kemudian. (*)