Hati-Hati, GAR ITB Menyerempet Isu SARA
ADA yang menduga Gerakan Anti Radikalisme (GAR) alumni ITB adalah “mainan” yang sengaja diciptakan untuk mengacaukan ketenangan di kampus. Ada kelompok kecil orang dengan latar belakang etnis dan agama tertentu yang dijadikan pion-pion pengacau. Akhir-akhir ini mereka mempersoalkan kemenonjolan aktivitas dan peranan civitas academica yang berlatar belakang Islam.
Ini sangat berbahaya. Tidak pernah ada persoalan di antara semua orang dari latar belakang apa pun, selama ini. Jumlah civitas academica Institus Teknologi Bandung (ITB) mayoritas adalah warga muslim. Baik di kalangan dosen maupun mahasiswa. Tentu tidak ada masalah dengan proporsi ini.
Sebagian besar perguruan tinggi, baik PTN (perguruan tinggi negeri) maupun PTS (perguruan tinggi swasta), pastilah memiliki fakta demografi (kependudukan) yang sama seperti di ITB. Sebab, memang seperti itulah fakta kependudukan Indonesia. Inilah statistik proporsional yang tak terelakkan.
Adalah fakta juga bahwa warga muslim menyandang keperluan-keperluan relijiusitas yang khusus selama mereka berada di lingkungan kampus. Misalnya, mereka memerlukan masjid atau surau. Mereka melaksanakan kegiatan pengajian di masjid maupun surau. Banyak pula yang harus melaksanakan berbagai aktivitas bersama (berjemaah) pada bulan Ramadan di masjid kampus termasuk berbuka puasa, dll.
Rata-rata dalam implementasi keperluan khusus itu, para civitas academica muslim di mana pun juga nyaris tidak pernah mengalami masalah dengan sesama warga kampus yang non-muslim. Selama puluhan tahun telah terbangun pengertian di antara segenap komponen non-muslim di kampus-kampus tentang keperluan khusus relijiusitas dimaksud. Selama puluhan tahun itu pula tidak pernah ada gesekan yang bernuansa SARA.
Pengertian yang terbangun itu sangat sesuai dengan dasar negara Indonesia –Pancasila. Negara ini memang bukan negara agama. Tetapi negara ini harus diisi oleh orang-orang yang memegang sila Ketuhanan Yang Maha Esa (KYME). Para pendiri negara ini bersepakat bahwa KYME merupakan sila terpenting yang harus mendasari proses pembangunan bangsa di segala aspek.
Bagi warga muslim, KYME itu adalan pelaksanaan ibadan sholat lima kali dalam sehari. Kalau KYME biasa disebut sebagai esensi Pancasila, maka sholat lima waktu sehari adalah esensi KYME itu. Untuk tetap bisa menjaga esensi Ketuhanan itu, diperlukanlah tempat sholat yang layak dan nyaman.
Secara historis, tempat sholat inilah yang menjadi bagian integral dari kegiatan akademik sejak awal-awal Indonesia mengenal pendidikan tinggi modern. Masjid-masjid kampus boleh dikatakan sama usianya dengan perguruan tinggi setempat. Sesuatu yang telah integral sifatanya berdasarkan fakta demografis dan faktor filosofis (Pancasila), tentunya sudah menjadi baku dengan sendirinya di kampus-kampus.
Belakangan ini berkembang sesutau yang terasa sangat tidak natural. Ada elemen-elemen yang mencoba mengutak-atik “kesepakatan” historis ini. Dan cara mereka mempersoalkan fakta sejarah ini sangatlah tendensius. Cara itulah yang sedang dipresentasikan oleh Gerakan Anti Radikalisme (GAR) alumni Institut Teknologi Bandung (ITB).
GAR masuk melalui isu yang sangat seksi saat ini. Yaitu, radikalisme. Isu ini tidak saja seksi tetapi juga sensitif bagi kaum muslimin. Sebab, di tengah gelombang islamofobia akhir-akhir ini, GAR “menembak” Prof Din Syamsuddin dengan tudingan radikalisme. Tetapi, akal sehat yang ada di semua pihak membuat pembunuhan karakter (character assassination) terhadap Pak Din tidak berhasil.
Tidak ada pihak yang memberikan peluang kepada GAR ITB. Tentu ini bukan karena faktor Din Syamsuddin sendiri yang terbukti bukan seorang radikal seperti ditudingkan oleh gerakan alumni itu, melainkan juga karena semua pihak memahami fakta domografis dan fakta historis bangsa ini.
Penolakan terhadap argumentasi GAR ITB tentang Pak Din merupakan isyarat bahwa mereka adalah gerombolan yang sangat berbahaya. Semua pihak memahami bahwa jika skenario gerombolan ini dibiarkan, maka akan terbuka kemungkinan munculnya percikan konflik SARA yang tak perlu terjadi.
Kalaulah pembunuhan karakter Din Syamsuddin sukses, GAR ITB diperkirakan akan menulari kampus-kampus lain. Sengaja atau tidak, sangat mungkin akan berlangsung orkestrasi kegaduhan yang berpunca dari fakta demografis dan historis kampus-kampus Indonesia yang selama ini sudah sangat lazim dengan keperluan khusus para civitas academica (dosen dan mahasiswa).
GAR ITB tidak hanya mempersoalkan “keradikalan” Pak Din, tetapi juga program Beasiswa Perintis 2021 yang diberikan oleh perusahaan kosmetik Wardah produksi Paragon milik Nuhayati Subakat –salah seorang anggota Majelis Wali Amanat (MWA) ITB. Program beasiswa ini bekerja sama dengan pengelola Masjid Salman ITB. GAR mencecar habis soal ini.
Mereka mempertanyakan mengapa beasiswa itu diberikan kepada para calon mahasiswa muslim saja. Melihat latarbelakang para inisiator GAR ITB, tak salah kalau orang menyimpulkan kelompok alumni itu berangkat dari niat buruk. Lagi-lagi, masalah ini sangat peka (sensitif) dari kaca mata hubungan antargolongan.
Jadi, dari dua hal di atas, patut diduga GAR ITB telah menyiapkan misi yang menyerempet isu-isu SARA. Semua pihak harus berhati-hati.