Hati-hati, Jangan Sampai Terjebak ke “Point of No Return”
by Asyari Usman
Jakarta FNN - Kamis (15/10). Perlawanan rakyat terhadap kezoliman para penguasa kelihatannya tidak akan surut. Saya memperkirakan perlawanan sipil akan semakin gencar. Sebab, kezoliman penguasa itu bukan hanya Omnibus Law UU Citpa Lapangan Kerja (Cilaka) saja.
Daftar kozoliman itu sangat panjang. Ada pelemahan KPK. Ada UU Minerba. Ada kasus Novel Baswedan yang dipermainkan. Kemudian penindakan korupsi e-KTP yang melindungi orang-orang kuat kelompok penguasa. Ada korupsi Sumber Waras yang tidak diselediki. Ada kematian 600 petugas KPPS yang tidak diungkap secara transparan. Para penista agama yang dibiarkan tanpa tindakan hukum. Sebaliknya, lawan-lawan penguasa selalu cepat ditangkap dan diproses. Dan banyak lagi.
UU Cilaka yang disahkan dengan cara licik itu hanyalah satu di antara sekian banyak kezoliman penguasa negeri. Kalau pun mau disebut UU Cilaka itu sebagai puncak kezoliman, tidak salah juga. Namun, bisa saja serial kezoliman akan lebih dahsyat lagi.
Mereka akan terjebak ke dalam matarantai atau lingkaran setan kezoliman yang tidah mudah diputus. Sangat mungkin para penguasa akan melanjutkan kezoliman UU Cilaka dengan kezoliman-kezoliman berikutnya.
Sebagai contoh, untuk mempertahankan UU yang dikatakan akan membawa sejuta celaka tsb, hampir pasti para penguasa merasa perlawanan sipil yang semakin meluas harus dihadapi dengan cara-cara brutal dan sadis. Nah, cara-cara brutal dan sadis ini akan membawa penguasa melangkah ke kezoliman lainnya.
Ketika penguasa sadar bahwa kebrutlan dan kesadisan terhadap rakyat telah menggoreskan luka perasaan yang dalam, tidak hanya luka fisik, maka sangatlah lumrah perlawanan sipil akan semakin berkobar. Sehingga, para penguasa tidak punya pilihan lain. Mereka harus melanjutkan cara-cara brutal dan sadis itu. Bahkan mungkin menjadi semakin brutal. Semakin sadis.
Inilah titik yang sangat berbahaya. Orang sering menyebutnya ‘point of no return’. Yaitu, titik yang tidak punya putaran balik. Sebaiknya para penguasa berhati-hati. Jangan sampai terjebak melangkah ke titik ini. Taruhannya sangat tinggi.
Mengapa? Karena ‘point of no return’ yang Anda ciptakan akan memicu ‘point of no return’ di pihak rakyat yang melancarkan perlawanan sipil. Rakyat yang menghadapi kebrutalan dan kesadisan merasa tidak punya alternatif. Rakyat bisa jadi akan merasa “diam berarti selesai dilindas UU Cilaka, melawan berarti menghadapi perlakuan brutal dan sadis”.
Kalau rakyat sudah sampai ke sini, yaitu diam habis dan melawan pun selesai, itu sama dengan ‘point of no return’. Di titik ini, tentu rakyat akan memilih mana tindakan yang lebih berharga. Tidak mungkin mereka akan memilih diam. Karena, mereka tak rela UU Cilaka itu berlaku.
Banyak rakyat yang melihat bahwa penerapan UU itu berarti mereka dan anak-cucu akan menjadi budak di negeri sendiri. Mereka akan menjadi jongos di rumah sendiri. Akan menjadi buruh yang tertindas. Bahwa mereka akan berada di bawah cengkeraman pemodal asing tanpa batas waktu. Inilah yang mereka bayangkan jika UU Cilaka diteruskan oleh penguasa.
Rakyat melihat apsek-aspek bagus di UU Cilaka itu hanya ‘lip service’ belaka. Hanya mulut manis semata. Cuma tipu daya saja.
Ini yang akan menguatkan kesimpulan ‘point of no return’ di benak rakyat. Nah, kalau rakyat menyimpulkan seperti ini dan pihak penguasa telah lebih dulu terjebak ke dalam posisi yang sama, yaitu sama-sama berada di titik ‘point of no return’ itu, bisa dibayangkan bagiamana dahsyatnya benturan energi kedua pihak.
Bisa saja penguasa “menang” dalam benturan itu. Sebab, pihak penguasa memiliki keunggulan fisik. Misalnya, penguasa memiliki perangkat keras berupa personel keamanan yang terlatih dan bersenjata lengkap. Sementara rakyat tidak. Penguasa memiliki gas air mata, peluru karet dan peluru tajam, APD yang berstandar tinggi, kendaraan lapis baja, sepatu keras yang bisa menghancurkan wajah dalam sekali tendangan, dlsb. Sementara rakyat pendemo bukanlah orang yang memiliki peralatan tempur.
Para penguasa juga memiliki superioritas untuk menegakkan hukum sesuai keinginan mereka. Misalnya, penguasa bisa mengatakan apa saja tentang orang-orang yang menentang mereka. Para penguasa berada di posisi untuk melakukan pendekatan intimidatif. Singkat kata, para penguasa bisa selalu menang.
Tetapi, yakinlah, kemenangan pihak penguasa dalam benturan dengan rakyat, tidak akan bertahan lama. Sebab, rakyat yang melawan memiliki keunggulan psikis berupa moril dan moral. Rakyat bisa saja kalah secara fisik. Tetapi, mereka menang secara psikis. Mereka punya moril (semangat dan tekad keras) untuk menyelamatkan Indonesia. Mereka juga punya moral (akhlak) untuk membela dan mempertahankan kebenaran.
Moril dan moral yang orisinal itulah yang tak dimiliki oleh para penguasa. Kalau pun mereka punya, maka moril dan moral mereka itu palsu. Yang biasa diperjualbelikan. Moril penguasa adalah semangat oligarki yang mengutamakan kerakusan untuk menguasai kekayaan negara. Yaitu, moril yang berlandaskan pada kejahatan.
Bagimana dengan moral penguasa? Jika dilihat dari tindakan brutal dan sadis yang dialami rakyat, maka moral penguasa adalah nilai-nilai premanisme yang mereka poles menjadi panduan “mulia” untuk menegakkan keamanan. Atas nama hukum, para penguasa tampaknya meyakini bahwa manghadapi rakyat pendemo dengan cara-cara preman, tidak bertengangan dengan nilai moral universal.
Itulah sebabnya para penguasa akan selalu bisa menang. Tetapi, kemenangan itu akan menimbulkan luka nurani yang akan menjadi monumen kebencian. Inilah yang menyeramkan. Indonesia bakal menjadi “the land of perpetual enmity”. Akan menjadi “negeri permusuhan abadi".
Penulis Wartawan Senior FNN.co.id.