Hukum Bicara, Ahok Berat Geser Ma'ruf Amin
Oleh Muhamad Toha
Berita yang ditulis RMOL.co, Minggu (10 Februari 2019 |14:36 WIB) berjudul, “Mengapa Ahok Berpeluang Gantikan Ma’ruf?” sebenarnya tak terlalu mengejutkan. Sebab, di dalam internal Koalisi Capres Petahana, masalah ini sempat dibahas.
Nama Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok disebut-sebut berpeluang menggantikan Ma’ruf Amin jika Ketua Umum MUI ini tak bisa melanjutkan kontestasi Pilpres 2019 mendatang dengan “suatu alasan”. Dalam politik, segala hal bisa “terjadi”.
Melansir RMOL.co, Ketua DPP Partai Gerindra Habiburokhman mengingatkan ketika Ahok masih mendekam di balik jeruji, muncul spekulasi mantan Gubernur DKI Jakarta itu akan merapat ke PDIP. Kenyataannya sekarang sesumbar itu terjadi.
“Kita bicara kemungkinan-kemungkinan ya,” ujar Habiburokhman kepada Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (10/2/2019). Mengapa Ahok berpeluang menggantikan Maruf? Pertama, kata dia, kedekatan dengan Presiden Joko Widodo.
“Dulu kan mereka duet di pemerintahan DKI,” ulasnya. Kedua, parpol-parpol pengusung duet Ahok dan Djarot Saiful Hidayat saat Pilkada Jakarta 2017 lalu itu masih yang sama dengan koalisi paslon 01 Jokowi – Ma’ruf pada Pilpres 2019.
Kemudian saat Ahok menghadapi kasus penistaan agama, mereka solid memberi dukungan.
“Jadi chemistry-nya sudah ketemu, saya pikir tidak banyak penolakan di internal mereka karena kan sama-sama,” jelasnya.
Dalam konteks Pilpres 2019 pun menurutnya, tak akan menemui kendala berarti selama di antara parpol koalisi sepakat mengusung Ahok, maka tak perlu ada fit and proper test atau pembahasan seperti di DPR.
“Bisa langsung ditentukan kalau misal sudah ada situasi kiai Maruf digantikan,” ungkap Habiburokhman. Namun, politisi PDIP Politisi PDIP, Eva Kusuma Sundari menanggapi rumor itu semata untuk menggembosi Tim Kampanye Nasional Jokowi – Ma’ruf.
“Tidak ada ceritanya di UU, yang orang bisa menggantikan seseorang, itu seolah menjadi urusan personal kan ada koalisi,” ujar Eva saat dihubungi Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (10/2/2019).
Eva memberi contoh pergantian Wakil Gubernur DKI Jakarta pasca ditinggal Sandiaga Uno hampir tujuh bulan, di mana antara Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Gerindra sebagai pengusung belum menemui titik temu.
“Ganti wagub saja berantem loh di antara koalisi. Ahok itu siapa, partainya PDIP, masa nanti orang-orang PPP, koalisi ngomong masa’ PDIP sama PDIP,” ucapnya. “Lihat saja kasus di DKI, tidak kelar-kelar,” cetus Eva yang juga anggota DPR.
Sekali lagi Eva menekankan bahwa menggantikan seorang presiden dan wakil presiden tidak sesederhana karena secara konstitusi memiliki prosedur sangat rumit dan yang harus dilalui. “Lagian Pak Ma’ruf tidak bisa diganti sewaktu-waktu,” imbuhnya.
Eva menegaskan, tak ada skenario TKN menggantikan Ma’ruf di tengah jalan, seperti rumor yang beredar. “Karena tidak menjadi bagian dari kesepakatan TKN maupun koalisi di Pak Jokowi,” tukasnya.
Kabar yang beredar di kalangan terbatas di internal Koalisi Petahana, kini sedang terjadi tarik ulur antara perlu tidaknya mengganti cawapres Ma’ruf Amin dengan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang bebas pada 24 Januari 2019 lalu.
Apalagi, secara resmi Ahok sudah bergabung dengan PDIP, parpol pengusung utama paslon 01 Jokowi – Ma’ruf. Ma’ruf, sebagaimana diberitakan Liputan6.com membantah spekulasi yang disebutnya sebagai “menyesatkan” itu.
Apalagi dikatakan dirinya dijadikan alat akan diganti Ahok di tengah jalan jika terpilih pada Pilpres 2019. “Itu pernyataan salah dan menyesatkan umat, belakangan ini memang sering bergulir isu demikian, ini harus diluruskan,” katanya, Senin (19/11/2018).
Menurutnya, sebagai Rais Aam PBNU dan Ketua Umum MUI, maka ia tak pantas dijadikan alat untuk perjuangan merebut suara umat. Ia yakin tidak mungkin diperalat Jokowi, karena pemilihannya sudah melalui pertimbangan matang.
Ma’ruf masih percaya diri meski medan di Banten gawat. Dalam waktu dekat, Ma’ruf akan mengumpulkan kiai dan pengurus cabang NU di ponpes miliknya, An-Nawawi Tanara, di Serang. Apalagi Ma’ruf lahir di Banten.
Soal turunnya elektabilitas Jokowi menjelang Pilpres 2019 nanti diakui capres petahana itu dalam Rapat kerja daerah (Rakerda) Tim Kampanye Daerah Koalisi Indonesia Kerja (TKD-KIK) Provinsi Riau, di Hotel Prime Park Pekanbaru, Sabtu (15/12/2018).
“Saya sampaikan apa adanya, survei terakhir yang saya lakukan, sekarang kita baru mendapat 42 persen. Yang di sana (paslon dua) 54 persen. Hati-hati, tapi jangan pesimis. Saya yakin dengan militansi yang ada di Riau,” ungkap Jokowi.
Ungkapan jujur Jokowi soal survei yang dilakukannya itu, jelas menjadi tantangan tersendiri bagi paslon Jokowi – Ma’ruf. “Sekarang kita baru mendapat 42 persen. Yang di sana (paslon dua, Prabowo Subianto – Sandiaga Uno) 54 persen,” katanya.
Jika itu dibiarkan, bukan tidak mungkin Jokowi – Ma’ruf akan mengalami kekalahan, seperti diprediksi CEO Polmark Indonesia Eep Saifulloh Fatah. Hasil Pilpres, Rabu, 17 April 2019: Jokowi – Ma’ruf 47,27%, Prabowo – Sandi: 52,73%. Prabowo – Sandi menang!
Apalagi, setelah Ma’ruf Amin kakinya sakit sehingga tidak bisa aktif berkampanye. Namun, kabarnya, upaya itu ditentang habis-habisan oleh Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj dan Ma’ruf Amin sendiri. Konon, calon penggantinya adalah Ahok.
Sebelum bebas, Ahok pernah menyatakan akan memberi kejutan saat bebas nanti. Apakah mau mengganti Ma’ruf Amin? Menurut Ima Mahdiah, salah satu staf Ahok, Ahok sedang menyiapkan kejutan yang akan ia berikan setelah bebas nanti.
Figur seperti Ahok sangat dibutuhkan Jokowi, seperti saat mereka sama-sama memimpin Jakarta. Makanya, wajar jika muncul kabar, lantaran Ma’ruf tidak bisa diharapkan untuk menaikkan elektabilitas Jokowi, Ahok sangat dibutuhkan.
Tidak hanya itu. Kabarnya, amunisi Jokowi sekarang ini mulai “sekarat”, sehingga figur Ahok bisa menarik bantuan pendanaan dari China kembali. “Jokowi sudah habis-habisan, sehingga perlu dana segar dari China,” ungkap sumber Pepnews.com
Satu-satunya figur yang masih bisa dipercaya China adalah Ahok. “Jokowi tidak butuh ia harus menang. Yang dibutuhkan Jokowi sekarang ini support dana sehingga kampanyenya tetap bisa jalan,” lanjut sumber di kalangan Istana tadi.
Sudah lama beredar kabar dan terkonfirmasi, Ma’ruf sudah ditinggalkan Jokowi. Selama ia sakit pun, Jokowi tak pernah menjenguknya. Padahal yang butuh suara NU, Jokowi. Ma’ruf dipilih, bukan Mahfud MD karena Jokowi takut kaum nahdliyin meninggalkannya.
Jangan lupa Ma’ruf adalah Rais Aam PBNU. Jabatannya tertinggi di PBNUdan MUI. Gejala ia sudah ditinggalkan Jokowi mencuat ke publik ketika tidak diajak dalam pertemuan Jokowi dengan para Ketum dan Sekjen Partai di sebuah restoran di Jakarta (15/1/2019).
Ketua Umum TKN Erick Thohir kepada wartawan mengatakan Ma’ruf tak diajak karena kursi tidak cukup. Erick pasti bercanda. Tapi bercandanya keterlaluan. Untuk seorang kiai dan cawapres, masa’TKN tidak bisa minta tambahan satu kursi saja.
Tanda paling nyata bahwa Ma’ruf sudah ditinggal dan kehadirannya dianggap antara ada dan tiada sangat terlihat pada debat pertama dua hari kemudian (17/1/2019). Ia hanya diberi peran sangat sedkit oleh Jokowi. Ma’ruf hanya bertugas mengambil undian.
Dari 10 kali pengambilan undian pertanyaan, ia mengambil 9 kali dan Jokowi hanya sekali. Jokowi juga memilih berkampanye sendirian di televisi dengan tema “Visi Presiden.” Ma’ruf lagi-lagi tidak dilibatkan. Ini berbeda dengan kubu sebelah.
Paslon 02 Prabowo Subianto – Sandiaga Uno kompak tampil ketika Prabowo menyampaikan Pidato Kebangsaan. Jokowi dan TKN seakan sudah meninggalkan peran Ma’ruf. Adakah ini pertanda ia akan digantikan oleh Ahok yang sudah “aman” di PDIP?
“Lha kan melanggar UU Nomor 7 Tahun 2017, jika Ahok jadi cawapres. Gak bisa itu Ahok gantiin,” tegas Advokat Subagyo, SH kepada Pepnews.com. Ahok bakal terganjal dengan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu pasal 169 huruf “p”.
Isi pasal 169 huruf p, syarat capres – cawapres: “tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih”.
Sementara tata cara pergantian capres – cawapres tertuang dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 pasal 232. Jika dianggap tidak memenuhi syarat, maka parpol diberi kesempatan mengganti capres atau cawapres sebagaimana diatur pada pasal 232.
“Dalam hal bakal paslon yang diusulkan tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 227 dan Pasal 229, KPU meminta kepada parpol dan/atau gabungan parpol yang bersangkutan untuk mengusulkan bakal paslon yang baru sebagai pengganti.”
Dalam PKPU Nomor 22 Tahun 2018 tentang Pencalonan Peserta Pilpres, kandidat yang tidak lolos kesehatan atau “tidak mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai presiden dan wakil presiden”, bisa diganti dengan kandidat lain karena dianggap tak memenuhi syarat.
Pasal 29 PKPU Nomor 22 Tahun 2018, diatur tentang hasil dari tes kesehatan adalah 'mampu atau tidak mampu secara jasmani dan rohani' untuk menjadi capres atau cawapres di Pilpres 2019.
(1) Tim pemeriksa kesehatan menetapkan kesimpulan hasil pemeriksaan kesehatan bakal pasangan calon dalam rapat pleno.
(2) Kesimpulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan ke dalam berita acara yang ditandatangani oleh ketua tim pemeriksa kesehatan yang menyatakan: a. calon mampu atau tidak mampu secara jasmani dan rohani;
Sekarang tinggal mencari “alasan” jika capres petahana Jokowi dan TKN berniat mengganti cawapres Ma’ruf Amin.
Tapi, kabarnya, Ma’ruf dan struktural NU terus melawan. “Energi mereka akan benar-benar habis untuk urusan internal dan terjangan “tsunami” eksternal. Tinggal dilihat saja ke mana arah angin berhembus,” lanjutnya.
Terbongkarnya Permadi Arya alias Abu Janda dengan “meminjam” tangan Facebook dan isu Saracen itu adalah salah satu upaya “menyandera” NU kalau Ma’ruf jadi diganti. “Kita amati saja nanti pertarungan-pertarungan berikutnya. Dijamin menarik,” ujarnya.
Di dalam dunia politik, apa pun bisa terjadi. Peluang untuk melegalkan masuknya Ahok menggantikan Ma'ruf Amin masih mungkin terjadi. Perpu atau amandemen UU mungkin saja dilakukan. Pertanyaannya: beranikah Jokowi? (PEP)
')}