Ibu Negara Sudah Berkemas, Jokowi Mau Pulang Kampung. Percaya?
Jakarta, FNN – Wali Kota Solo kini merangkap menjadi “juru bicara” Presiden Joko Widodo (Jokowi). Putra sulung Jokowi tak setuju masa jabatan presiden diperpanjang menjadi tiga periode. Gibran Rakabuming Raka mengatakan, pihaknya menaati konstitusi bahwa masa jabatan presiden dua periode. Bahkan Gibran mengabarkan bahwa ibunya sudah mulai mengemas barang-barang di Jakarta untuk dibawa ke Solo, Jawa Tengah, meski masa jabatan Jokowi baru berakhir pada 2024.
“Ya, saya kira akhirnya Gibran ini, atau anak Pak Jokowi, secara bijak mengambilalih kekacauan informasi. Itu bagus sebetulnya karena bagaimanapun selalu ada semacam pertahanan keluarga. Tetapi, problemnya bukan di situ. Tetap ini adalah persoalan negara. Jadi ya musti bicara adalah presiden,” kata pengamat politik Rocky Gerung dalam wawancara eksklusif dengan wartawan senior Hersubeno Arief, dalam kanal YouTube Rocky Gerung Official, Selasa, 17 Mei 2022.
Rocky menegaskan kalau pembicaraan soal tiga periode, itu pembicaraan di meja makan keluarga di mana setiap anggota keluarga boleh bersikap. Lalu anak-analnya mengatakan bahwa tiga periode itu buruk. Kemudian, anak yang bungsu menyarankan sebaiknya ksiap-siap saja ngepak (packing). Hal itu menurut Rocky adalah urusan di dalam keluarga Pak Jokowi, hal yang bagus, problem keluarga dibicarakan bersama dalam keluarga.
Tapi kalau problem bernegara, menurut Rocky tidak bisa anak presiden menjadi semacam sumber berita urusan publik. Tetap hal itu fungsi dari Sekneg, fungsi dari juru bicara Presiden, dan fungsi dari presiden sendiri.
“Jadi harus dipisahkan. Kalau soal pernikahan, ya oke itu soal yang pasti ada ketua panitia dari keluarga Presiden Jokowi. Ini kita musti juga teliti menganggap bahwa wawancara dengan anak presiden ya boleh saja, tapi nggak boleh jadi acuan untuk menilai bahwa isu perpanjangan, isu tiga periode selesai. Itu soal yang lain lagi,” tegasnya.
Apalagi lanjut Rocky kalau isu itu dipindahkan ke MPR lalu MPR dengan siasat tertentu mengakali lagi konstitusi, itu tidak bisa dicegah. Sebab kekuasaan itu selalu punya jalan untuk mencari peluang yang paling kecil sekalipun. Itu yang musti kita waspadai.
“Jadi harus kita bedain antara isu kepala keluarga dengan isu kepala negara,” katanya.
Jika isu soal kepala negara yang terkesan sepi, menurut Rocky hal itu cuma soal mendiamkan sejenak keadaan yang kemarin kacau, lalu seolah-olah sudah beres.
“Enggak, itu belum beres. Apalagi Pak Jokowi pulang dari Amerika, pasti dengan semacam kegamangan baru karena di pesawat mungkin Pak Jokowi berpikir iya ya, saya sudah ketemu Elon Musk, tapi di forum internasional saya di-cuekin, agenda-agenda resmi saya nggak bisa pidato di situ, karena memang Amerika itu mau mendapat kepastian Indonesia mau pro-Cina atau pro gue, begitu kan,” tegasnya.
Menurut Rocky, Amerika Serikat sengaja mempermainkan agenda untuk memberi sinyal pada dunia bahwa Indonesia masih ragu-ragu untuk masuk dalam blok Amerika.
“Hal itu sesungguhnya bukan urusan kita sebagai negara yang berdaulat, tetapi dalam politik internasional, karena kita dianggap sebagai negara pinggiran walaupun besar penduduknya, tapi kecil kemampuan kita untuk mempengaruhi Indo – Pasifik, maka Amerika menganggap bahwa nggak usah bicara deh Presiden Jokowi. Itulah yang terlihat dan orang pertanyakan kok Pak Jokowi nggak ada dalam agenda pembicaraan kepala-kepala negara. Karena dianggap ya memang Presiden Jokowi tunggu saja di G20 untuk kasih keputusan. Tapi Amerika mau tagih lebih awal karena dia mau konsolidasi di faksinya dia, di Eropa dalam rangka perang total itu,” paparnya.
Jadi sekali lagi, kata Rocky, Jokowi ketika pulang ke Indonesia, waktu di pesawat merenung, tiba di Jakarta apa yang akan terjadi, disambut oleh apa?
“Oleh kegembiraan soal teknologi tinggi, enggak. Oleh kegembiraan masyarakat petani yang menganggap bahwa kami bergembira karena kami bisa demo lagi di istana. Itu kontras,” tegasnya.
Jokowi kata Rocky akhirnya melihat lagi realitas bahwa minyak goreng itu telah memberatkan petani sawit dan itu tidak bisa ditolong melalui pertemuan dengan Elon Musk.
Tapi aneh, Lembaga survei Indobarometer menyatakan tingkat kepuasan publik atas kinerja Presiden Joko Widodo (Jokowi) mencapai 78,3 persen. Menurut Rocky, survei itu dibuat untuk mengukur daya tahan dari barometernya sendiri.
“Barometer kan mengukur tekanan udara berapa 76,01 atmosfer gitu. Dan kelihatannya memang ini survei-survei ini berupaya untuk nyari rumah-rumah itu. Walaupun yang lebih bodoh sebetulnya adalah pers yang memuat dua-duanya itu, dari Indobarometer dan dari Burhanudin. Kan harusnya pers musti timbang-timbang, yang mana yang masuk akal. Masa dua-duanya benar dan dua-duanya salah,” paparnya.
“Satu di antaranya musti salah kan, 78 persen masih pro, sementara Burhanuddin mengatakan nggak, itu sudah di bawah 50% tuh. Kan mustinya pers, selain memberitakan, dia bikin perbandingan terus dianalisis supaya ketahuan mana yang Burhan bohong dan mana yang Indo bohong,” tegasnya.
Menurut Rocky, yang terjadi media-media saat ini sudah mengalami jurnalisme fatigue, mengalami kelelahan jurnalistik.
“Jadi dia pamerin saja di situ, supaya biarlah itu jadi kontroversi. Padahal bukan itu tugas media. Tugas media tetap adalah cari yang benar, dan mencari yang benar itu memang butuh energi dan butuh keberanian untuk berselisih dengan pemiliknya. Jadi sekali lagi, ini jurnalis kita didesain untuk membela hak rakyat. Jadi tetap, bagian yang membela hak rakyat itu yang dikedepankan. Bukan seolah-olah ini cover booth side,” pungkasnya. (sof, sws)