Insentif Nakes: Gaduh Yang Tak Perlu
By Tamsil Linrung
Jakarta, FNN - Ada tiga fakta serius dalam perkembangan Covid-19 di tanah air. Pertama, Januari 2021, Indonesia menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang menembus satu juta kasus covid-19.
Kedua, Indonesia juga mencatat sejarah baru angka kematian akibat Covid-19 tertinggi, tidak hanya di Asia Tenggara tetapi bahkan di Asia.
Ketiga, Indonesia berada pada peringkat teratas di Asia dan nomor tiga tertinggi di dunia dalam jumlah kasus kematian Tenaga Kesehatan (Nakes) akibat Covid-19.
Tiga fakta itu bertali-temali. Dan Nakes berada tepat di tengah, diapit antara perjuangan menyelematkan nyawa pasien dan upaya melindungi keselamatan diri sendiri. Mereka berdiri di tapal batas antara sehat dan terjangkit, hidup dan mati.
Tingginya angka kematian Nakes berpotensi mengakibatkan penanganan pasien yang tidak optimal di kemudian hari. Pemerintah telah berupaya menambal celah itu. Saat membahas anggaran bersama Komite IV DPD RI Januari lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan akan menambah sebanyak 8.572 Nakes untuk ditempatkan di 148 fasilitas kesehatan di seluruh Indonesia.
Langkah itu baik dan harus kita dukung. Namun, bagi kami yang membidangi kesehatan di Komite III DPD RI, problemnya tentu bukan sebatas menambal celah bolong Nakes secara kuantitas. Ketika negara meminta mereka ke medan perang melawan Covid-19, maka Pemerintah wajib menjamin kualitas kehidupan mereka, fisik maupun psikologis, materi maupun non-materi.
Insentif yang Gaduh
Sayangnya, gaduh pemotongan insentif Nakes sempat memecah fokus perjuangan Nakes. Pemantiknya, Surat Keputusan Menteri Keuangan yang ditandangani Sri Mulyani pada 1 Februari 2021. Dengan SK ini, besaran insentif Nakes dipangkas hingga 50 persen.
Tak pelak, protes pun bermunculan dari banyak arah. Beberapa di antaranya disuarakan oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), LaporCovid19, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dan lain-lain.
Komisi IX DPR juga tegas menolak. Saya sendiri, selaku anggota Komite III DPD RI yang membidangi kesehatan, juga menyayangkan keluarnya SK Menkeu tersebut. Untungnya, Pemerintah cukup responsif. Belakangan, niat itu dianulir.
Kita mengerti bahwa di tengah situasi keuangan negara yang terbatas, Pemerintah tentu bekerja ekstra keras mengakali paceklik. Namun, langkah yang ditempuh harus pula menimbang faktor psikologis masyarakat. Ketika perancangan kebijakan menyangkut penanganan Covid-19, situasi psikologis Nakes tentu menjadi faktor penting yang harus diperhatikan.
Itulah sebabnya, agenda kebijakan sebaiknya terlebih dahulu digodok secara matang sebelum akhirnya disajikan dalam bentuk keputusan. Dengan begitu, kebijakan tidak justru menjadi sumber persoalan baru atau setidaknya menjadi sumber kegaduhan baru.
Insentif sungguh bukan semata soal uang. Bahkan terlalu menyederhanakaan masalah bila sudut pandangnya dibangun dari arah sana. Insentif adalah wujud apresiasi negara kepada Nakes yang ditugaskan Pemerintah berjuang di medan berisiko tinggi. Insentif adalah salah satu cara negara berterima kasih.
Kita tahu, okupasi rumah sakit akan tinggi seiring meningginya laju Covid-19. Rumah sakit rujukan Covid-19 bahkan banyak yang telah penuh. Sebagian pasien dirawat atau diisolasi di hotel atau rumah singgah lainnya sehingga Nakes harus pula terkonsentrasi di sana.
Dilema insentif Nakes bukan kali ini saja. Jika kita mengamati pemberitaan media massa, di sana-sini, ada saja berita tentang insentif sebagian Nakes yang tertunda atau belum terselesaikan.
Problemnya memang tidak melulu di Pemerintah, tetapi juga pada Pemerintah Daerah. Namun, penanganan Covid-19 tentu harus dirumuskan sebagai orkestra perlawanan yang padu, dalam satu jalur komando yang efektif-efesien.
Dukungan Masyarakat
Bangsa ini sesungguhnya punya modal besar menanggulangi wabah. Perjalanan pandemi telah mendidik dan membangun kesadaran masyarakat hidup dalam protokol kesehatan yang cukup baik.
Rakyat agaknya juga optimistis, mendukung, dan percaya bahwa pemulihan ekonomi oleh Pemerintah dapat mengatasi dampak Covid-19 terhadap kehidupan perekonomian mereka. Kesimpulan ini tergambar dari hasil survei Indonesia Development Monitoring (IDM) yang dirilis 31 Januari 2021. Optimisme masyarakat terbaca sebesar 81,9 persen.
Namun, melalui survei yang sama, IDM juga menemukan bahwa 63,8 persen responden menyatakan pemerintahan Joko Widodo tidak dikelola secara clean Government. Persepsi ini salah satunya dilecut oleh perilaku pungli dan koruptif yang dipertontonkan sebagian pejabat.
Oleh karena itu, cara memutuskan kebijakan hendaknya tidak mendegradasi harapan dan dukungan rakyat yang besar tadi. Apalagi bila kebijakan dimaksud terkait alokasi anggaran, termasuk gonjang-ganjing pemotongan insentif.
Masalah pandemi covid-19 memang saling tumpang tindih dengan problem ekonomi bangsa. Titik balik perbaikan ekonomi akan sangat bergantung kepada penanganan pandemi Covid-19. Sebaliknya, penanganan pandemi tentu memerlukan alokasi biaya yang tidak sedikit. Ini seperti simalakama.
Namun kita tidak harus terjebak dalam simalakama itu. Sebab barangkali saja ada pos anggaran lain di luar penanganan Covid-19 yang bisa ditunda dan dialihkan untuk menanggulangi situasi darurat ini. Kreativitas perencanaan memang dibutuhkan.
Sekarang, kita sudahi gaduh insentif. Kita kembali menyinergikan semua inisiatif baru penanganan Covid-19, baik sektoral kesehatan maupun non kesehatan. Gagasan dan penerapannya harus dibuat dalam satu garis komando yang padu, dengan skala prioritas terukur. Yang sedang berjalan saat ini adalah program vaksinasi. Ayo kita sukseskan.
Penulis adalah Senator Komite III DPD RI