Irjen Ferdy Sambo Dicopot, Masalah yang Harusnya Mudah Dibikin Sulit

Kamarudin Simanjuntak menunjukan foto kejanggalan di tubuh Brigadir Joshua.

INSPEKTUR Jenderal Ferdy Sambo telah dicopot dari jabatannya sebagai Kadiv Propam Polri, Senin (18/7/2022) malam, oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.

Advokat Kamarudin Simanjuntak yang mewakili keluarga mendiang Brigadir Joshua pun melaporkan kasus ini ke Bareskrim Polri. Mereka pun meminta agar jasad Brigadir Nopryansah Joshua Hutabarat diotopsi ulang karena ditemukan banyak kejanggalan di tubuhnya.

Itulah buntut peristiwa penembakan Brigadir Joshua yang terjadi di Rumah Dinas Ferdy Sambo di Duren Tiga Nomor 46 Jakarta. Wartawan senior FNN Hersubeno Arief bersama pengamat politik Rocky Gerung membahasnya di Kanal Rocky Gerung Official, Selasa (19/7/2022). Berikut petikannya.

Akhirnya, tadi malam Kapolri menonaktifkan Kepala Divisi Propam Irjen Ferdy Sambo dan ini sebenarnya kita tinggal menunggu waktu, tetapi tetap menjadi teka-teki mau dinonaktifkan atau tidak. Tetapi yang lebih berat lagi adalah ketika tadi malam Kapolri menon-aktifkan Ferdy Sambo, siang harinya itu pengacara dari Brigadir Joshua melaporkan adanya dugaan pembunuhan berencana terhadap Brigadir Joshua, berdasarkan bukti-bukti yang mereka temukan.

Jadi kemungkinan tidak hanya satu orang yang terlibat, tidak ada tembak-menembak seperti yang dinarasikan selama ini. Nah saya kira ini sangat menarik.

Sekaligus saja kasus ini jadi cause celebre, kasus yang dilihat sebagai sesuatu yang menarik perhatian publik. Dan orang sebetulnya lagi bikin permenungan kenapa akhirnya rakyat kita mengambil alih tugas kepolisian. Rakyat akhirnya bikin investigasi sendiri dengan potongan-potongan berita, lalu disusunlah dalam bentuk videografis.

Jadi, usaha untuk memahami yang benar itu, tidak lagi bisa disodorkan oleh institusi resmi sehingga rakyat berspekulasi. Dan semua spekulasi rakyat itu justru didasarkan pada deteksi-deteksi yang secara akal sehat memungkinkan orang mengira-ngira.

Dan perkiraan orang awalnya adalah pasti ada keterlibatan Jenderal Sambo dan juga dalam perkiraan yang sama orang menduga harusnya Irjen Sambo diberhentikan sementara. Jangan terlalu lama. Mustinya di awal saja. Apapun itu, dalam upaya untuk netralitas, ya berhentikan saja dulu.

Karena bagaimanapun dia ada jabatan dan supaya dia nggak masuk kantor dulu. Tetapi, terlambat sehingga keburu masuk dalam bagian sensasinya. Tetapi, sudahlah. Pada akhirnya toh musti dimulai penelitian ini. Apakah betul ada pemerkosaan? Apakah betul ada pelecehan seksual?

Apakah mungkin untuk menghadirkan kembali satu konferensi pers yang betul-betul jujur. Orang akhirnya curiga ini satu paket konspirasi sebetulnya. Ada Kapolres yang akhirnya kurang tepat dalam menyampaikan info sehingga terciduk logikanya oleh publik.

Pers juga dengan jeli mulai merambah ke wilayah-wilayah yang tadinya tak terduga, mewawancarai sopir ambulans, minta keterangan tukang sapu, dan itu yang kemudian menyebabkan polisi membentak-bentak jurnalis.

Jadi, sebetulnya intinya adalah kalau kepercayaan itu makin lama makin hilang maka proses-proses yang ada di depan juga akan dipertanyakan orang. Padahal polisi lagi bersiap-siap untuk mengamankan peristiwa besar Pemilu, G20 Forum dan segala macam. Orang jadi kehilangan kepercayaan.

Jadi intinya itu. Pak Sigit masih punya energi untuk balikkan sepenuhnya supaya betul-betul publik merasa oke justru peristiwa ini menjadi titik balik untuk memuliakan kembali polisi.

Ya, tadi malam saya mengamati saat Pak Sigit menyampaikan pengumuman, saya lihat wajahnya rileks. Tidak ada tekanan. Ini menarik karena jujur saja kan orang selama ini kemudian mengaitkan dengan Pak Listyo Sigit. Ada apa ini kok Pak Sigit seperti seolah-olah melindungi Pak Ferdy Sambo.

Sudah sampai 10 hari, ini tanggal 18 sedangkan peristiwanya tanggal 8 Juli 2022. Artinya 10 hari. Padahal banyak sekali jenderal polisi senior yang menyatakan bahwa sebenarnya untuk kasus ini enggak perlu waktu lama, cukup 1 x 24 jam bisa terungkap, sangat mudah diungkap, karena lokasi dan sebagainya jelas.

Ya, tentu namanya hitungan non-kasus, misalnya soal ini kader siapa, ini klik siapa? Soal-soal itu yang kita tahu dari awal itu bahwa Trunojoyo (Mabes Polri) itu jadi semacam medan persaingan juga antara klik atau groupings di situ, blog siapa itu, fraksi siapa, atau bahkan proksi siapa di situ.

Nah ini membuat kita mengalisis kembali apakah betul meritokrasi di dalam kepejabatan tinggi Polri itu dasarnya adalah prestasi atau politis. Kan begitu intinya. Orang selalu anggap bahwa di situ ada orang yang lebih dekat dengan Pak Jokowi, juga ada yang lebih dekat dengan Ibu Mega, ada yang lebih dekat dengan macam-macam itu kan?

Jadi kontrol publik akhirnya menemukan bahwa memang Polri itu remote control-nya banyak dari luar. Jadi, itu intinya sebetulnya. Nanti kalau kita baca diam-diam atau bisik-bisik di antara anggota Komisi III, kita tahu siapa yang lagi mendekati politisi, yang mana yang lagi disponsori oleh partai.

Jadi kerumitan itu yang membuat orang menganggap harus ada satu peristiwa yang membuat lumer sebetulnya. Ini faktor baru, yaitu peristiwa di Duren Tiga itu. Dan Pak Sigit musti betul-betul melumerkan keadaan ini dengan satu prestasi yang betul-betul presisi dalam upaya untuk membongkar kejahatan ini.

Saya kira antusiasme publik dan media juga karena memang selama ini kita pahami lembaga Polri sekarang sudah banyak ditarik-tarik untuk kepentingan politik.

Jadi orang lihat ini momentum, dan sebenarnya saya kira polisi nggak perlu baper dalam situasi ini. Justru itu bisa menjadi momentum berbenah bagi polisi. Ini kalau mau melakukan pembenahan, ini momentum yang baik saya kira.

Itu betul. Jadi, saya duga keras bahwa konstelasi sudah terjadi dan polisi atau pimpinan Polri mengambil risiko untuk membongkar kasus ini dengan akibat apapun. Bahwa sistem perkaderan yang mungkin berantakan lagi, lalu faksi-faksi itu kemudian harus konsultasi ulang, tapi itu semua adalah pilihan dari Pak Kapolri.

Karena beliau sebetulnya yang di masa terakhir ini harus memutuskan ini Polri mau ke mana arahnya, supaya kita bersiap-siap untuk menghadapi guncangan politik yang mungkin disponsori oleh guncangan ekonomi, dan guncangan ekonomi yang bisa menimbulkan kerusuhan bahkan keresahan psikologi massa.

Jadi semua ini musti dilihat sebagai satu paket. Kan sinyal pertama adalah orang nggak percaya pada keterangan polisi. Nah, bagaimana nanti kalau terjadi dispute dalam persaingan politik. Partai ini melaporkan, lalu polisi dianggap memihak, lalu berantakan. Jadi, kita anggap saja bahwa bukan bermaksud blessing in disguise, tapi peristiwa ini adalah momentum untuk perubahan secara radikal klik-klikan di kalangan kepolisian.

Sementara kader-kader yang muda sebetulnya menginginkan supaya polisi itu tumbuh secara profesional karena mereka sebetulnya bersaing untuk dapat posisi yang bukan sekedar mewah tapi bergengsi. Setiap orang yang masuk kepolisian ingin ada gengsi di situ.

Mereka tetap ingin polisi Indonesia itu jadi semacam cermin dari sekolahnya karena itu yang disebut etika tertinggi dalam kepolisian.

Dan kita membayangkan, tadi saya lihat video bagaimana polisi dan tentara China itu dihormati oleh rakyatnya, bahkan anak-anak. Tentu bukan dengan maksud membandingkan karena tetap itu negara komunis yang kendali politiknya itu termasuk mengendalikan militer.

Tetapi etiknya itu lo, bahwa orang berhadapan dengan polisi di jalan kayaknya cuek saja, nggak merasa bahwa polisi ini sebetulnya yang kita andalkan untuk membuat kita aman dan percaya bahwa keadilan bisa diterapkan.

Nah, refleksi ini sebetulnya sekaligus kita ucapkan supaya pembaharuan itu pertama-tama mulai dari etikabiliti itu. Itu intinya.

Dan, saya kira ini kalau kemudian pelaporan dari pengacara Brigadir Joshua dan kemudian lakukan secara transparan, bahkan kalau sampai level tertinggi, katakan ada Pak Ferdy Sambo yang terlibat di situ, dilakukan langkah-langkah hukum, orang mungkin bisa melupakan kelucuan-kelucuan, serta kekonyolan-kekonyolan yang terjadi kemarin karena simpang siurnya penjelasan dari polisi.

Dan sebenarnya kita sejak awal ketika tahu bahwa kok sampai 3 hari baru diumumkan pada publik, terus kemudian ada alasan karena hari raya, ini kan nggak masuk akal. Sebetulnya polisi ini kan sama dengan wartawan, nggak kenal hari raya. Justru pada hari raya orang lain libur mereka tidak libur.

Waktu saya bikin semacam konsep di kepala, jadi memang ada keterkejutan dan keterkejutan itu tidak pernah dibayangkan sehingga dikejar waktu maka tidak rapi persiapan untuk cover up ini.

Jadi masalah covering up ini yang kemudian justru menimbulkan perencanaan baru bagaimana meng-covering up sesuatu yang tidak sempurna, lalu ada juga covering up baru yang sebetulnya di dalam metodologi itu kita sebut “setiap penutupan jejak yang tidak sempurna itu akan menimbulkan jejak baru yang makin membuka peluang kecurigaan”.

Jadi jejak itu nggak bisa dihapus. Menghapus jejak artinya membuat jejak baru. Nah itu logikanya begitu.

Ya, itu kelihatan sekali bagaimana penjelasan-penjelasan yang beruntun yang kemudian bertabrakan satu dengan lain hal, dan kemudian dengan mudah sekarang ini jangan lupa Pak Polisi, ini sekarang era digital sehingga limpahan informasi itu publik bisa dengan mudah mengakses hal-hal yang kemudian bertentangan dengan penjelasan polisi. Jadi eranya Itu sudah berlalu, nggak bisa lagi seperti itu.

Juga selama tiga hari itu pasti penyidik atau mereka yang diminta untuk membuat semacam skenario itu mengalami mental fatigue, karena ada soal yang terganggu di situ. Ini bagaimana? Ya, tetapi dalam keadaan bertanya bagaimana, publik matanya lebih tajam karena publik ada dalam jarak.

Orang yang ada dalam jarak bisa melihat secara lebih lengkap, lebih helicopter view. Ada pemeo yang begini “bila Anda ada di dalam potret, Anda tidak bisa melihat diri Anda sendiri”. 

Jadi musti ada jarak. Jarak itu yang makin lama makin terbaca justru oleh jurnalis dan privat investigated yang akhirnya membantu keluarga untuk memberi kekuatan batin untuk melaporkan.

Akhirnya yang konyol sebetulnya kenapa tidak bisa diyakinkan pada keluarga bahwa kematian itu adalah akibat tembak-menembak.

Jadi kecurigaan keluarga itu betul-betul batinnya, karena mereka yang kenal bahkan mayatnya itu seolah-olah bicara pada keluarga. Dan, itu yang kita sebut sebagai six sense. Dan keluarga Brigadir Joshua six sense-nya, indra keenamnya, ringing, berbunyi. Lalu mereka memutuskan untuk melaporkan.

Itu tindakan yang bagus sebetulnya, kita hormati betul bahwa keluarga itu ia ingin cari keadilan saja. Dia nggak persoalkan siapa yang bunuh nanti saja di pengadilan, yang penting di tubuh anaknya itu dia temukan hal yang secara instingtif membuat mereka ragu bahwa itu adalah sekedar pembunuhan yang duel dan bukanlah penganiayaan yang direncanakan.

Karena itu, menemukan istilah ini ada pembunuhan berencana itu betul-betul membutuhkan keberanian besar, karena menduga itu sendiri sejatinya sudah merupakan pintu masuk untuk membuka persoalan. (Ida/mth)

478

Related Post