Islam Dan Keseimbangan Hidup
by Shamsi Ali
New York City FNN – Ahad (10/01). Islam memang unik dan Istimewa. Dari sudut mana saja kita bahas akan menarik, dan membuat hati kita semakin jatuh cinta dan bangga. Hal itu dikarenakan, salah satunya, kesempurnaan ajarannya. Bahwa Islam itu bersifat “syaamil, kaamil wa mutakaamil”.
Kata “Syamil” itu bermakna meliputi segala hal. Dalam artian bahwa Islam itu mencakup segala lini kehidupan manusia. Tidak akan ada aspek hidup lain, kecuali Islam sejatinya hadir untuk menjadi petunjuk (guidance).
“Kamil” berarti sempurna (complete). Artinya, Islam itu pada dirinya memang tidak lagi menyisakan sesuatu yang tidak ada. Semua aspek ajaran Tuhan itu sejatinya ada terangkum semuanya dalam ajaran Islam. Tinggal manusia tertantang untuk menggalinya saja.
Sementara “mutakaamil” berarti saling menyempurnakan. Kesempurnaan Islam pada segala aspek kehidupan manusia tidak berdiri sendiri, dan terpisah antara satu dengan lainnya. Antara aspek ketuhanan (akidah) misalnya, tidak terpisah dari aspek sosial (kemanusiaan).
Keunikan ajaran Islam itu sekali lagi, selain memang mencakup seluruh lini hidup secara paripurna, juga memiliki keseimbangan yang alami. Bahkan keseimbangan ini menjadi salah satu kekuatan Islam dalam membangun kehidupan manusia yang stabil dan solid. Kita lihat misalnya, bagaimana Islam menjaga keseimbangan itu dalam segala aspek kehidupan manusia.
Pertama, Islam menjaga keseimbangan hidup manusia dalam aspek relasi vertikal dan relasi horizontal (hablun minallah wa hablun minan naas). Dalam Surah 3 ayat 112 disebutkan bahwa manusia akan mengalami kehinaan dimana pun kecuali jika menjaga relasi secara baik dengan Allah (hablun minallah), dan dengan manusia (hablun minannas).
Implementasi ayat ini terlihat dalam ragam ayat Al-Quran yang memerintahkan menjaga kekokohan iman kepada Allah. Tapi juga berbagai ayat yang memerintahkan menjaga kebaikan kepada sesama manusia. Bahkan dengan alam sekitar.
Hadits-hadits Rasul juga penuh dengan peringatan untuk membangun iman kepada Allah tanpa melupakan kewajiban kepada sesama. Bahkan tidak jarang iman itu dipersyaratkan dengan kebaikan sosial (horizontal). Salah satunya, “tidak beriman di antara kalian sampai tetangga ya selamat dari perkatakan dan perbuatan buruknya”.
Kedua, dalam Islam hidup manusia juga mencakup aspek ritual dan aspek sosial (ubudiyah dan mu’amalat). Mungkin tidak berlebihan, jika dikatakan bahwa aspek ubudiyah dalam Islam tidak akan menjadi sempurna kecuali terimplementasikan secara moral dalam kehidupan sosial. Misalnya, nampak dalam ibadah puasa, “barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan buruk, maka tidak ada hajat bagi Allah untuk orang itu tinggalkan makan dan minumnya”.
Ibadah ritual tanpa kebaikan sosial akan berakhir kepada kesia-siaan. Atau mungkin lebih dikenal dalam sebuah hadits dengan kebangkrutan (hadits Ulil muflis). Artinya, ibadah ritual yang tidak terbukti dalam moralitas prilaku sosial akan menjadikan pelakunya justeru bangkrut di akhirat dan masuk neraka.
Ketiga, Islam juga memandang hidup manusia pada aspek rohani dan jasmani (ruhiyah wa jasadiyah). Penciptaan manusia dari tanah seperti yang digambarkan dalam Al-Quran “min turaab” atau “min thin” menunjukkan bahwa hidup manusia tidak mungkin bisa dipisahkan dari aspek material. Manusia perlu dan harus makan serta memenuhi segala kebutuhan materi dan jasadnya.
Manusia juga bukan makhluk material (jasad) semata. Manusia adalah makhluk spiritual yang bertengger pada wujud material. Dalam bahasa yang biasa saya diekspresikan, “spiritual being in a physical body”. Wujud ruhiyah dalam wujud jasad.
Karenanya setelah Allah menciptakan manusia secara sempurna dalam wujud jasad, Allah meniupkan ruh-Nya (nafakha fiihi min ruuhiHi). Maka sejak itu manusia secara esensi menjadi makhluk spiritual dalam wujud jasad (material).
Islam juga mewajibkan manusia untuk memenuhi kedua aspek hidupnya itu secara maksimal dan imbang. “Dan jika sholat telah ditunaikan, maka bertebaranlah kamu di atas bumi dan carilah rezeki Allah. Dan ingatkah Allah banyak-banyak, semoga kamu sukses” (Al-Jumu’ah).
Keempat, hidup manusia juga di lengkapi dengan dua prasarana dasar. Yaitu hati dan akal (qalb wa aql). Dalam Islam, manusia hanya akan hidup secara aman, nyaman dan stabil ketika hidupnya terbangun di atas kekuatan akal dan ketajaman batin (hati). Manusia yang kuat dalam akal (Ilmu dan pemikiran) dan tajam secara batin/hati akan membentuk karakter manusia hebat yang disebut “Ulul albaab”.
Itulah yang digambarkan dalam Surah Al-Imran, “Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi dan pergantian siang dan malam adalah tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi mereka yang Ulul albaab. Yaitu, mereka yang mengingat Allah dalam keadaan berdiri, duduk maupun berbaring. Serta memikirkan ciptaan Allah di langit dan di bumi”.
Manusia yang kuat secara akal tanpa hati boleh jadi akan menjadi penipu. Tetapi manusia yang tajam hati, tetapi lemah akal boleh jadi juga akan tertipu. Maka karakter orang beriman adalah “tidak menipu dan tak akan mudah tertipu”.
Kelima, akhirnya Islam juga mencakup hidup manusia dalam aspek orientasi kebahagiaan atau kesuksesan dunia dan akhirat (ad-dunya way akhirah). Dalam Islam hidup manusia itu harus berorientasi kepada kesuksesan dan kebahagiaan. Islam tidak melihat dunia ini sebagai tempat untuk menderita, lemah, termarjinalkan dan terbelakang. Tetapi tempat untuk kuat, maju, sukses dan menang.
Walaupun tentunya defenisi itu tidak selalu material oriented (orientasi materi). Tetapi bagaimanapun bentuk hidup itu, bagi seorang mukmin, hudup adalah kesuksesan dan kebahagiaan. Ayat-ayat Al-Quran itu penuh dengan motivasi, bahkan perintah kesuksesan. “Mereka itu adalah orang-orang yang berada di jalan hidayah dari Tuhan mereka dan mereka adalah orang-orang yang sukses”. (Al-Baqarah).
“Sungguh beruntung/sukses orang-orang yang beriman” (Al-Mukminun).
Disinilah kemudian Islam hadir untuk meyakinkan bahwa kesuksesan dan kebahagiaan hidup harus secara sempurna dan imbang. Ajaran Islam inilah yang kemudian diekspresikan dalam doa sapu jagad Umat, “Rabbana atina fid dunya hasanah wa fil akhirati hasanah wa qinaa adzaban naar”.
Maka beruntunglah kita dengan Islam. Berbahagialah kita dengan Islam. Dan harusnya kita semakin bangga dengan Islam kita. Semoga, amin.
Penulis adalah Ulama dan Presiden Nusantara Foundation di New York