Islamofobia Musuh Pancasila!
Musuh Pancasila bukan Islam, maka tak ada alasan menebarkan Islamofobia. Musuh Pancasila adalah mereka yang mulutnya berteriak NKRI harga mati, namun tindakannya mengangkangi konstitusi.
Oleh: Tamsil Linrung, Penulis adalah Ketua Kelompok DPD–MPR RI
HARI-hari belakangan ini, wajah Islam dan umat Islam Indonesia terlihat kusam. Senyum yang dulu merekah, kini sirna terkoyak oleh narasi radikal, intoleran, ekstrem dan sejenisnya. Stigma yang demikian popular ini sambung-menyambung menari di atas isu demi isu.
Isu itu ditiup bukan hanya dari mulut buzzer. Sejumlah pejabat, komisaris Badan Usaha Milik Negara, aparat keamanan, dan bahkan pimpinan Institusi Perguruan Tinggi ramai mengompori. Terbaru dilakukan oleh Rektor Institut Teknologi Kalimantan (ITK) Prof. Budi Santosa Purwakartiko yang menuduh orang mengenakan jilbab sebagai manusia gurun.
Begitulah, beberapa tahun belakangan ini, Islam seolah tiba-tiba menjelma menjadi agama penuh kontroversi. Dulu, jarang sekali ajaran atau simbol-simbol Islam dipersoalkan. Sesekali mungkin ada geliat, namun intensitasnya tidak seperti sekarang.
Sangat disayangkan, diantara penyebar Islamofobia adalah mereka yang justru beragama Islam. Demi kepentingan tertentu, mereka mengolok-olok simbol Islam secara terbuka. Urusan jenggot yang sunnah dibilang kambing, urusan cadar dibilang ninja, urusan jilbab dibilang manusia gurun.
Acapkali lagu Islamofobia didendangkan dari mulut pejabat atau pemangku kepentingan negeri. Narasi-narasi yang menyudutkan Islam tersebut malah menyembur dari mulut Menteri Agama, sosok yang seharusnya mengayomi dan menjaga keteduhan hati semua pemeluk agama. Uniknya, semua Menteri Agama yang telah menjabat di Pemerintahan Presiden Joko Widodo seolah kompak dalam satu sikap kontroversial itu. Apakah ini kebetulan? Wallahu a’lam.
Lontaran narasi gonggongan anjing justru muncul saat Menag Yaqut Cholil Qoumas menjelaskan aturan penggunaan toa atau pengeras suara masjid, misalnya. Belum usai kontroversinya, Yaqut kembali dengan narasi agar masyarakat menghargai LGBT (Lesbian, gay, biseksual dan transgender). Sebelumnya lagi, saat diangkat menjadi menag, Menag Yaqut mengatakan bahwa Kemenag adalah hadiah untuk NU, bukan umat Islam secara umum.
Setali tiga uang, Menteri Agama pilihan Jokowi sebelumnya juga seperti itu. Sebutlah Menag Lukman Hakim Sjaefuddin. Jejak digital membaca Al-Quran dengan langgam Jawa, menghargai orang yang tidak berpuasa, atau list 200 mubaligh masih mudah ditemukan. Begitu pula dengan menag Fahru Razy yang dulu heboh dengan wacana larangan cadar atau celana cingkrang bagi PNS dan sertifikasi penceramah.
Pertanyaannya, apa relevansi semua argumentasi itu dengan persoalan utama bangsa? Tidak ada, kecuali membuat kita bertengkar satu sama lain, semakin terbelah, dan menjauhkan fokus perhatian rakyat dari masalah riil bangsa.
Apa masalah riil itu? Tentu bukan Islam. Masalah riil bangsa itu antara lain ekonomi yang terus memburuk, juga syahwat memperpanjang masa jabatan, kemiskinan, kesenjangan, atau utang negara yang semakin menggunung yang kini telah menembus angka lebih dari tujuh ribu triliun rupiah.
Masalah riil lainnya adalah harga-harga kebutuhan dasar (seperti sembako) yang terus merangkak tinggi, sementara kesejahteraan semakin menurun. Survei Penelitian dan Pengembangan Kompas menemukan, 7 dari 10 orang warga negara Indonesia pada awal April 2022 sulit membeli kebutuhan pokok.
Jadi, Islamofobia di Indonesia boleh jadi tidak berdiri sendiri sebagai penyakit sosial an sich. Ada peluang Islamofobia sengaja dimunculkan. Untuk apa? Pertama, sebagai pengalihan isu.
Kedua, sebagai cara oligarki mempertahankan eksistensinya, berkembang, dan memamah biak. Islamofobia membelah masyarakat, memunculkan pengelompokan politik yang saling berhadapan.
Pertentangan dua kutub besar yang sering kita dengar dengan sebutan (maaf) Kadrun versus Kampret terus dipelihara, agar rakyat jauh dari persatuan. Dengan cara seperti itu, oligarki mengukuhkan kekuatannya.
Padahal, dunia mulai tersadar bahaya Islamofobia. Baru-baru ini, Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan tanggal 15 Maret sebagai hari internasional memerangi Islamofobia melalui resolusi GA/12408.
Indonesia seharusnya mengikuti tren positif itu. Apalagi, kita memiliki jimat kebangsaan bernama Pancasila. Sebagai pedoman hidup bangsa, Pancasila menjadi koridor kita menjalani hidup selaku warga negara Indonesia.
Itu dimungkinkan karena Pancasila tidak bertentangan dengan ajaran agama yang diakui Indonesia, termasuk ajaran agama Islam. Islam dan Pancasila justru saling mendukung satu sama lain.
Islamofobia bertentangan dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, yang mengharuskan menghargai agama yang diakui di Indonesia sekaligus menghargai pengikut-pengikutnya. Islamofobia juga bertentangan dengan sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Maka, penting menguatkan kembali cita rasa Pancasila kita. Ini sama pentingnya dengan menguatkan UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan semboyan NKRI harga mati. Penguatan itu diperlukan agar kita sebagai bangsa dapat mengokohkan jati diri di tengah dinamika politik yang semakin menjauh dari nilai-nilai bangsa.
Nilai-nilai Pancasila itu untuk dilaksanakan, bukan dijadikan alat agitasi untuk membelah anak bangsa atau menggebuk mereka yang tidak sepaham akibat perbedaan politik dan persepsi. Pancasila adalah milik kita semua. Bukan milik satu golongan tertentu, kelompok tertentu, atau partai politik tertentu.
Musuh Pancasila bukan Islam, maka tak ada alasan menebarkan Islamofobia. Musuh Pancasila adalah mereka yang mulutnya berteriak NKRI harga mati, namun tindakannya mengangkangi konstitusi.
Musuh Pancasila adalah mereka yang ingin memperpanjang masa jabatannya, sementara konstitusi mengatakan cukup lima tahun atau paling lama dua periode. Musuh Pancasila adalah koruptor, oligarki, dan mereka yang nyata-nyata ingin mengotak-atik Pancasila.
Dan, musuh Pancasila adalah Islamofobia! (*)