Jebakan Otoriterisme di Depan Mata, Upaya Gagalkan Pemilu Makin Menguat

Ilustrasi

Jakarta, FNN - Opini yang ditulis oleh Wakil Ketua Komisi III, Desmond J. Mahesa, tentang lima skenario, bisa dikatakan serem. “Saya meyakini ini bukan sekadar tulisan seorang analis, tapi berdasarkan background informasi yang dia peroleh secara inside,” ujar Hersubeno Arief, wartawan senior FNN, mengawali pembahasannya bersama Rocky Gerung dalam Kanal Youtube Rocky Gerung Official edisi Rabu (14/12/22).

“Kita bisa bayangkan, misalnya, banyak orang yang kendati Pak Prabowo ada di dalam kekuasaan, tetapi mulai melihat bahwa bangsa ini memang ada dalam bahaya. Itu karena elitnya oportunis.” Demikian komentar pertama Rocky tentang opini yang ditulis oleh Desmond tersebut.

Menurut Rocky, Desmond Mahesa adalah politisi Gerindra yang tahu segala macam tukar tambah, apalagi di Komisi III. Tetapi, dia juga sekaligus  aktivis yang selalu dekat dengan kalangan aktivis. Dia berupaya untuk yang membuat refleksi, terutama setelah Pemilu 2019, dan masuk pada potensi untuk perpanjangan pemilu.  Jadi, Desmond tahu banyak aspek dan berupaya untuk memberi peringatan. Jadi, kita anggap saja peringatan dari orang dalam. Hal itu menunjukkan Gerindra sendiri mendua dalam upaya untuk membayangkan masa depan, karena tentu dengan segala strateginya, Desmond pasti mengerti bahwa Prabowo paham apa yang dimaksud dengan tulisan itu.

“Itu bisa dibilang semacam evaluasi dari Desmond selama ada di Komisi III atau sebagai politisi Gerindra, melihat arah bangsa ini. Kira-kira begitu,” ujar Rocky.

Desmond mengutip ada lima dampak buruk yang ditimbulkan jika terjadi penundaan pemilu: Pertama, pemerintah dan DPR tidak legitimate; kedua, Pemda tidak dikontrol DPRD; ketiga, TNI/Polri membangkang kepada Presiden (itu bisa terjadi); keempat, rakyat bisa anarkistis, bertindak semaunya; kelima, muncul pemerintahan diktator.  Ini sinyal yang tidak enak semua. Karena itu, sejak awal FNN mengingatkan agar berhentilah dari upaya terus-menerus untuk memperpanjang masa jabatan dan penundaan pemilu.

Sebetulnya, hal ini setiap hari dibicarakan atau dianalisis oleh FNN. Sekarang, analisis FNN paralel dengan apa yang akhirnya ditulis oleh Desmond. “Itu betul-betul menunjukkan ada yang resah. Bukan cuma Desmond, tapi ada kalangan yang juga dalam kabinet, yang mulai menganggap bahwa jebakan-jebakan otoriter ini sudah di depan mata,” ujar Rocky Gerung. Menurut Rocky, kalau kita lihat gejala hari-hari ini, Pak Prabowo mungkin juga cemas bahwa pada akhirnya Pak Prabowo mungkin dibatalkan untuk jadi calon.

Jadi, yang ditulis oleh Desmond itu semacam pre-teks untuk dibaca juga oleh Pak Prabowo atau mungkin juga sudah dikonsultasikan dengan Pak Prabowo. “Tetapi, lepas dari semua itu, tetap keinginan pribadi Presiden Jokowi untuk memperpanjang kekuasaannya, itu sebenarnya tidak bisa dihalangi lagi. Bagian itu yang akhirnya mengarah pada istilah pemerintahan diktator dan lawan dari pemerintahan diktator adalah people power pasti kan?” tegas Rocky.

 “Jadi, secara sederhana, Saudara Desmond mau mengatakan untuk bersiap-siap people power,” lanjut Rocky. Menurut Rocky, itu sinyal yang bagus sebetulnya. Rocky menduga Desmond tahu apa yang sudah terjadi atau sudah sedang berlangsung hari-hari ini, yaitu tukar tambah antara oligarki dan istana, lalu beberapa orang kepercayaan Pak Jokowi mungkin sudah mengajukan 1-2 skenario dan tawar-tawaran dengan oligarki.

“Jadi, kasak-kusuk di dalam kabinet sudah berlangsung dan kemudian dibawa ke publik melalui suara-suara orang semacam Bamsoet, Bahlil, La Nyalla, sehingga menjadi orkesterasi di situ,” lanjut Rocky.Tetapi, nanti satu persatu kita akan lihat klarifikasi, misalnya. Pak La Nyalla sudah kasih klarifikasi bahwa dia bersumpah tidak ada transaksi dalam proses untuk memperbaiki bangsa melalui usulan kembali pada naskah awal Undang-Undang Dasar ’45. Demikian juga Bamsoet dan macam-macam. Tetapi, itu klarifikasi. Yang berlangsung di belakang itu adalah upaya untuk membaca opini publik. (ida)

437

Related Post