Rocky Gerung: Jika Tidak Nol Persen, Sebaiknya Anies Tolak Dukungan Nasdem Jadi Capres
Hasil dari Rakernas Nasdem sebanyak 32 dari 34 DPW mengusulkan nama Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sebagai calon presiden 2024. Hanya dua provinsi yang tidak mengusulkan nama Anies, yakni, Papua Barat dan Kalimantan Timur.
Tetapi aneh, Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh mengatakan, suara terbanyak belum tentu masuk daftar tiga rekomendasi capres Partai NasDem. "Belum tentu (masuk daftar capres rekomendasi), karena pada dasarnya pembobotan yang dicalonkan itu sama, siapa pun itu," ujar Surya di Jakarta Convention Center, Jakarta.
“Itu sinyal buruk dalam upaya kita untuk menghasilkan pemimpin yang berintegritas di dalam partai sendiri,” kata pengamat politik Rocky Gerung dalam wawancara dengan wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam kanal YouTube, Rocky Gerung Official, Jumat, 17 Juni 2022. Petikannya:
Saya yakin sebagian besar dari Anda sudah menyimak soal nama-nama yang muncul dalam Rakernas Nasdem karena viewer kita mengikuti terus perkembangan politik.
Iya, akhirnya Nasdem memberi kepastian tentang ketidakpastian.
Kenapa Anda sebut kepastian yang tidak pasti?
Karena orang menduga dengan kuat di dalam Nasdem terjadi semacam perbedaan pendapat yang tajam, karena nama yang muncul di situ pasti dari awal sudah kita duga, Anies dan Ganjar. Dan memang Pak Surya Paloh dari awal memberi sinyal bahwa Anies sebetulnya lebih familiar dengan Nasdem karena Anies ikut mendirikan Nasdem yang formal. Ya, sebetulnya kita mau lihat apa sebetulnya akibat dari reshuffle kemarin. Ya, nggak ada akibatnya sebetulnya. Hanya orang menginginkan semacam kepastian bahwa kalaupun reshuffle itu enggak bermutu, minimal Nasdem mengeluarkan keputusan yang bermutu, walaupun itu baru tanggal 17.
Tapi, justru karena masih tanggal 17 keriwehan sudah terjadi di ruang sidang dan ataupun tokoh-tokoh Nasdem langsung berbeda pendapat itu. Itu sangat terlihat bahwa ada faksi Ganjar yang mungkin didesain dari awal oleh orang luar Nasdem. Kita selalu membaca bahwa partai itu ada dua layer, layer yang diatur oleh DPP dan layer yang diatur oleh para pembisik, para pengatur dari luar sana yang biasanya punya kapital uang maupun kapital koneksi.
Jadi, nama Anies akhirnya diucapkan secara mayoritas di Nasdem. Tetapi, harusnya, kalau kita pakai nama partai politik, begitu nama Anies disebutkan, maka Anies harusnya bergembira karena disebutkan namanya. Minimal itu. Tetapi, justru karena disebutkan, maka muncul keragu-raguan dari Nasdem sendiri, bahwa ya itu belum tentu. Ya, buat apa kalau begitu sistem bertahap dari bawah?
Kita tahu bahwa partai itu, lokasi awal dari pantai adalah DPC, DPW. Memang ada semacam aturan macam-macam partai bahwa nanti hak ketua umum. Iya, tapi itu tidak boleh bertentangan dengan hak dari dasar karena partai dasarnya adalah cabang-cabangnya. Jadi, itu sebetulnya problem kita. Tapi ya sudah, kita paham bahwa memang ada permainan luar biasa dari faktor luar untuk memastikan bahwa Anies tidak boleh ada di dalam radar. Jadi, itu sebetulnya sinyal pertama. Kendati memang dari awal Anies juga mengerti bahwa dia diombang-ambingkan oleh ketidakpastian karena dia tidak punya partai. Bahkan kalau dia punya partai, dia masih tidak pasti juga karena partai itu dua persen bukan milik partai, tapi milik si penyewa partai yang punya modal untuk meloloskan seseorang dengan membeli tiket 20%.
Jadi, kita balik lagi pada problem awal bahwa oligarki tetap berkuasa dan partai itu sebetulnya adalah cabang dari oligarki saja. Jadi, mudah sekali kita rumuskan itu. Itu juga akan berlaku di partai-partai yang lain, karena kebetulan Nasdem jadi kelinci percobaan pertama.
Kita mau tahu budaya kelinci percobaan. Kita menghitung bagaimana determinasi dari Surya Paloh itu. Kalau betul kuat, maka harusnya secara optimistis beliau mengerti dan harus mengatakan bahwa oke ada mayoritas dan sangat mungkin kita akan perhatikan suara mayoritas. Itu lebih mungkin diucapkan daripada bilang belum tentu, walaupun dipilih dari bawah nama Anies, tapi dia belum tentu kita calonkan. Itu sudah sinyal buruk dalam upaya kita untuk menghasilkan pemimpin yang berintegritas di dalam partai sendiri.
Ya, memang orang jadi agak bingung, makanya wajar kalau Anda menyebutkan ini sebuah kepastian tapi ketidakpastian. Karena kok aneh kalau nama yang teratas tapi belum tentu yang dicalonkan. Tapi okelah, mungkin itu bagian dari tarik ulur dalam proses politik yang kita pahami bersama-sama. Tetapi satu fenomena yang menarik juga rupanya ada perubahan yang cukup menarik pada diri Ganjar karena sebelum ini berlangsung, sebelum namanya muncul dan rupanya dia sudah tahu juga pasti namanya muncul, tapi dia menyatakan bahwa saya itu kader PDIP. Ini apa yang terjadi dengan Ganjar?
Bukan yang terjadi bukan pada Ganjar, tapi pada PDIP. Ia berhasil dilobi. Tapi Ganjar akhirnya disuruh untuk sudah balik lagi ke PDIP, gua beresin PDIP. Kira-kira begitu kata si bos besar. Jadi, begitu sebetulnya cara kita melihat. Tapi di belakang ini ada persaingan politik identitas sebetulnya, karena PDIP tetap menganggap bahwa Ganjar itu tetap dibesarkan oleh partai untuk memelihara identitas partai. Sementara kalau Anies masuk ke PDIP itu agak tidak mix dengan baik kimianya. Karena orang anggap masa Kadrun masuk ke kandang Banteng. Jujur begitu tuh. Karena itu masih ada sampai sekarang, sinyal-sinyal semacam itu. Apalagi sponsor di belakang Anies maupun Ganjar juga kita tahu berbeda. Anies disponsori oleh semacam keinginan untuk melihat perubahan dan menganggap bahwa ada peluang sebetulnya muslim politik itu mengartikulasikan pandangan kepemimpinannya melalui Anies. Bagaimana pun sinyal itu kuat. Itu sebabnya PDIP juga balik mulai memikirkan buat kalau sinyal itu kuat, itu berarti ada peluang nasionalisme akan dikalahkan oleh religiusitas. Kira-kira begitu.
Jadi, kalau bilang nasionalis religius Anies pasti ditafsirkan oleh PDIP sebagai bagian dari religius, bukan yang nasionalis. Ganjar tetap nasionalis. Dan pikiran itu yang kemudian mungkin diolah oleh oligarki, oligarki plus lah kira-kira, untuk memastikan bahwa sebaiknya Ganjar kembali ke PDIP dan akan disponsori habis-habisan. Saya menduga begitu.
Dan think tank think tank di belakang PDIP kan kita tahu apa saja isi pikirannya. Demikian juga think tank-nya Anies. Dan terlihat bahwa kalau kalkulasi-kalkulasi yang kita buat itu akhirnya Indonesia tidak bisa melakukan yang berkali-kali kita sebut sebagai cost cutting loyal piece, bahwa partai nasionalis harusnya juga melihat figur yang walaupun datang dari tradisi religius tapi figurnya bersih. Kan begitu.
Jadi, bukan berbasis pada politik identitas yang et all cost. Demikian juga Ganjar. Kalau dicalonkan oleh PDIP yang memang karena Ganjar nasionalis, tetapi kita tahu Ganjar gagal untuk menghasilkan keadilan, bahkan pada masyarakat Wadas. Jadi, poin-poin rill itu akhirnya dibatalkan oleh sentimen-sentimen yang sudah berurat akar dalam partai masing-masing, seolah-olah identitas partai itu tidak memperhatikan soal di luar masalah persaingan ideologi.
Ada soal yang lebih riil di situ, soal lingkungan, soal kesetaraan, segala macam. Jadi, yang kita mau bicarakan sebetulnya adalah bahwa keinginan kita untuk menghasilkan kemajemukan dalam politik akhirnya kelihatannya tidak akan terwujud karena orang balik pada Ganjar siapa memang. Kan Ganjar kita yang pilih. Anies siapa? Ya Anies kan bagian dari perkadrunan. Jadi masih begitu.
Tapi sudah, kita mungkin lihat nanti kalau Pak Surya Paloh juga gagal untuk mengatasi itu, maka artinya seluruh partai sudah dikuasai oligarki. Gampangnya begitu. Artinya akan ada satu paket lagi yang akan dibuat oleh pemerintah sebagai pendamping Ganjar supaya seolah-olah demokratis, tapi bukan Anies. Sehingga oke ada dua pasangan atau bahkan tiga pasangan. Yang satu sengaja untuk diumpankan, yang lain sengaja untuk dilemahkan, sehingga sebetulnya secara riil hanya ada satu calon yang sudah dsepakati. Dan itu terkait dengan kuota 20 persen yang enggak mau dibahas di MK.
Jadi, sekali lagi pandangan kita adalah politik Indonesia sebetulnya tetap masuk di dalam sinyal monolitik. Jadi, ditentukan searah dan demi arah yang sudah dipastikan oleh mereka yang menguasai partai melalui kekuatan modal dan kekuatan lobi.
Ini saya menangkap nadanya sangat pesimistis dari Anda, karena kelihatannya pakemnya sudah jelas dan begitu kuatnya mereka ini mencengkram sistem politik kita sehingga meskipun banyak suara-suara kritis bermunculan, banyak sekali manuver-manuver politik untuk menggagalkan gerakan-gerakan para oligarki ini, tapi tetap saja mereka jauh lebih dalam mencengkeramkan kuku-kukunya di kekuasaan kita.
Iya, dan pada akhirnya praktik bisnis lebih diunggulkan daripada praktik demokrasi. Tapi kita tahu di ujung sana nanti akan ada gerakan sosial yang akan menuntut keadilan kenapa elektabilitas yang juga kita kaitkan dengan etikabilitas dan intelektualitas yang sebetulnya ada pada Anies, minimal relatif terhadap yang lain, itu harus batal. Itu yang sering saya sebut potensi untuk people power. Demikian sebaliknya. Pada Ganjar, kalau elektabilitasnya tinggi dan PDIP tolak, maka akan ada people power dari dari pengikut Ganjar. Begitu kan jalan pikirannya.
Jadi, dua soal itu yang akan meledak nanti kalau tidak ada semacam kesepakatan baru bahwa politik itu enggak boleh sekadar diasuh oleh identitas partai, tapi musti ada semacam basis yang lebih luas untuk mengevaluasi apakah seorang mau jadi pemimpin bangsa, boleh jadi pemimpin bangsa, dan potensi untuk menggerakkan bangsa. Kalau begini bangsa akan terpecah lagi, karena pengkubuan itu itu akhirnya dipastikan akan berlangsung terus.(ida, sws)