Jokowi Diminta Segera Hentikan Buzzer

Jakarta, (FNN) – Presiden Joko Widodo (Jokowi) diminta segera menghentikan buzzer melalui orang yang memeliharanya. Sebab, jika buzzer disetop, berarti Jokowi menginginkan perubahan. Ulah para buzzer jelas dapatt merusak persatuan dan kesatuan, karena selalu mengadu-domba sesama anak bangsa.

Permintaan tersebut disampaikan Yusuf Muhammad Martak dalam webiner yang diselenggarakan FTNN TV Youtube Channel, Senin, 16 Agustus 2021 malam. Pada acara yang dikemas dalam, “Indonesia Journalist Forum” itu, Yusuf Martak berbicara sebagai keponakan yang menghibahkan rumah tempat Bung Karno dan Hatta membacakan teks proklamasi 17 Agustus 1945, di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56. Sekarang, di tempat tersebut berdiri Tugu Proklamasi, dan berubah menjadi Jalan Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat.

“Saya tahu persis siapa memelihara buzzer. Saya tahu siapa yang pelihara DS, AM, AB, karena saya beberapa kali melihat mereka di sekitar ring satu. Buzzer saja belum bisa dihentikan, bagaimana dikatakan merdeka,” kata Martak dalam webiner bertema, “Makna Merdeka Pada Saat Pandemi Covid-19.”

DS, AM dan AB mengacu kepada nama Deny Siregar, Ade Armando dan Abu Djanda. “Kita singkirkan buzzer setan. Sengaja dilindungi. Mereka dipelihari aparat. Beberapa kali saya ketemu. Jangan ada kebohongan demi kebohongan,” katanya dalam webiner yang dipandu Pemimpin Redaksi FNN, Mangarahon Dongoran.

Martak yang juga Ketua Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama mengharapkan dan menghimbau agar genarasi muda jangan hanya belajar dan mendengarkan sejarah dari medsos (media sosial) dan buzzer. “Belajarlah kepada orang yang menguasai sejarah dan buku sejarah. Ini (Indonesia) bukan negara main-main. Bukan negara buzzer yang kerjanya saling jatuhkan adu domba suku dengan suku dan agama dengan agama. Ini salah fatal,” katanya.

Mengenai makna Hari Ulang Tahun ke-76 RI, Martak mengaku sedih melihatnya. Sebab, perayaan sekarang lebih pada simbolik. Tidak seperti perayaan semasa dia kecil dan masih muda.

“Tiga empat hari lalu di depan rumah saya dipasang lampion tanda perayaan kemerdekaan. Tiba-tiba saya merasa sedih, karena tidak seperti waktu saya kecil dan muda, 17 Agustus dirayakan secara tulus. Rasanya sekarang cuma simbolik. Dulu benar-benar semarak,” ujarnya.

Menurut pendapatnya, merdeka itu beradaulat, berdikari (berdiri di aas kaki sendiri), berjuang tanpa menggantungkan pada negara lain. Merdeka juga berarti bisa mengatasi segala masalah tanpa libatkan bangsa lain. Akan tetapi, tampaknya sudah bergeser jauh. Realita, jika lihat ke belakang, sejarah orang tua kita, berbeda orang tua, bapak yang hadir di zoom meeting dan dengar berbeda.

Ia menceritakan secara singkat mengapa rumah keluarga Martak dihibahkan kepada Bung Karno dan kemudian ke negara. Antara Bung Karno dan keluarga Martak terjalin persahabatan yang erat.

Pada awalnya, di pengasingan Bung Karno menderita sakit. Sakit yang sangat berat sekali. “Karena kedekatan keluarga Martak, yaitu paman saya langsung Faradj bin Said bin Awadh Martak adik kandung bapak saya Muhammad bin Said bin Awadh Martak, yang sangat cintai Bung Karno bahkan keluarganya. Jadi kalau mencintai Bung Karno pasti cintai merah putih negara RI. Saya sebagai turunan orangtua, paman saya berjuang untuk kemerdekaan dan kelangsungan negara,” ucapnya.

Oleh karena perjuangan orangtua dan paman yang begitu hebat terhadap Indonesia, maka jangan coba-coba mem-framing dan memprovokasi saya sebagai orang yang begini dan begitu dengan tuduhan macam-macam.

Kembali ke hubungan keluarga Martak dengan Bug Karno, ia menyebutkan ketika proklamator itu sakit berat, keluarganya membawa obat dan memberikan kepada Soekarno. Keluarga Martak seakan merawatnya.

Kesehatan Bung Karno pulih menjelang pembacaan proklamasi. Menurut cerita yang ia peroleh, awalnya teks proklamasi itu akan dibacakan di lapangan Ikada sekarang Monas (Monumen Nasional). Akan tetapi, tiba-tiba dengan hati nurani dan panggilan jiwa nasionalisme yang sangat tinggi dari paman saya, ia sampaikan ke Bung Karno, “Saya tidak sejutu kalau fakta atau teks proklamasi negara yang besar ini dibacakan di pinggir jalan.”

“Akhirnya dibawa ke Jalan Pegangsaan Timur 56. Bukan rumah kosong, tetapi rumah tinggal, dan keluarga sedang ada semua di dalam. “Saya keturunan Arab. Akan tetapi, belakangan sering ada tuduhan, keturunan Arab tidak punya jasa pada Indonesia. Ini terjadi karena ada fitnah antara suku yang satu dengan suku yang lain. Ironi!” katanya.

Ada yang mencoba memutus atau menghilangkan sejarah seolah Arab sama sekali tidak mempunyai jasa dan dianggap asing. “Kalau sejarah saja sudah diputarbailkan bagaimana keturunan atau generasi mendatang mengetahui sejarah,” ujarnya.

Sebagai bukti bahwa keluarga Martak menghibahkan rumah dan lahan itu, pada 14 Agustus 1950 pemerintah memberikan penghargaan yang disampaikan Menteri Pekerjaan Umum dan Perhubungan, Ir. Mananti Sitompul. Penghargaan itu diberikan sebagai ucapan terimakasih pemerintah atas hibah rumah kepada Bung Karno dan kepada negara.

Menurut Martak, setelah pembacaan teks proklamasi, pamannya kurang puas jika hanya meminjamkan rumah. Jika hanya meminjamkan, seolah tidak ada sejarah kepada bangsa dan negara, serta keluarga. Cerita yang saya dengar, keluarga berunding. “Mereka ikhlas dan tulus keluar dari rumah itu dan diberikan kepada negara,” katanya.

Ia kemudian membacakan surat yang ditulis Bung Karno pada 1953 kepada Bapak Faradj Martak “Saya ucapkan banyak terimakasih atas kiriman saudara madu arab yang baik sekali buat kesehatan saya karena saya menderita sedikit sakit beri-beri, muntah. Anggap madu itu baik sekali buat saya, di samping vitamin B3,” kata Martak yang membacakan surat yang ditandatangani Bung Karno itu.

Alhamdulullah, sebagai generai kedua keluarga Martak, saya merasa bangga telah berbuat pada negara tanpa merongrong engara, tanpa ambil satu rupiah, satu sen pun korupsi. Alhamdulilah orang tua memberi contoh kepada anak turunannya memberi sebelum diberi, hibahkan sebelum mendapatkan hibah. Kalau saya dan keluarga memberi sesuatu kemudian mendapat sesuatu untung besar adalah wajar,” katanya.

Jusuf Kalla ketika menjadi Wakil Presiden sempat berbincang dengannya di Tugu Proklamasi itu. Ia mengatakan, Jusuf Kalla sangat menyayangkan rumah yang dihibahkan telah dipugar, tidak lagi sesui aslinya.

Mau tahu nilai hibah itu sekarang? “Luas Pegangsaan Timur 56 itu bukan hanya 100 atau 1000 meter per segi. Bisa 10.000 meter per segi. Jika dinilai sekarang, bisa triliunan rupiah,” kata Martak. (FNN/MD).

717

Related Post