Jokowi Lempar Handuk dalam Urusan Lapangan Kerja
"KUNCI lapangan kerja bukan dari pemerintah." Demikian judul berita yang dapat dibaca di berbagai media daring atau online.
Kalimat itu bersumber dari ucapan Presiden Joko Widodo, di Istana Bogor, Sabtu, 20 Februari 2021.
Perluasan lapangan kerja secara berkelanjutan, katanya, hanya bisa dilakukan oleh pelaku usaha, bukan pemerintah. Itu berarti, kunci dari penyediaan lapangan kerja ada di pengusaha.
Perluasan lapangan kerja berkelanjutan adalah dari pelaku usaha, dari dunia usaha, kuncinya di situ bukan dari pemerintah. Sedangkan pemerintah hanya bisa menyediakan lapangan usaha sesekali waktu atau tidak berkelanjutan.
Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan ucapan Jokowi itu, jika disampaikan dalam situasi normal. Akan tetapi, ucapannya itu menjadi pertanyaan bagi rakyat.
Jika kunci lapangan kerja tidak di pemerintah alias diserahkan kepada pelaku usaha, lalu fungsi pemerintahan itu ke mana? Apakah ucapan itu dapat diartikan bahwa Jokowi ingin meliberalisasi perekonomian secara total?
Apakah ucapan Jokowi itu menunjukkan, pemerintah cuci tangan alias lempar handuk atas ketidakmampuan atau tidak becusan mengurus negara, terurama di bidang ekonomi? Sehingga, jika terjadi kegagalan dalam penyerapan tenaga kerja, yang disalahkan adalah dunia usaha atau pelaku usaha.
Kira-kira kalimatnya melempar handuknya begini. Misalnya, tahun 2021 ini, pemerintah akan menciptakan lapangan kerja antara 2,8 sampai 3 juta dengan Undang-Undang Cipta Kerja. Mudahan-mudahan tercapai, sehingga jumlah pengangguran tidak bertambah.
Nah, jika tidak tercapai, pemerintah sudah memiliki beberapa jawaban. Pertama, kunci lapangan kerja bukan di tangan pemerintah, tetapi sudah diserahkan kepada pengusaha, terutama dunia usaha swasta.
Anda tahu sendiri kan, jika kunci mobil atau kunci rumah sudah berpindah tangan, ya suka-suka pemegang kunci baru. Mau mobilnya diganti warna dan tambah variasi, ya urusan pemegang kunci baru itu. Mau rumah direnovasi sedikit atau total, itu urusan pemilik rumah yang sudah menerima kunci itu.
Jika kita sandingkan dengan kunci lapangan kerja bukan di pemerintah, artinya diserahkan semua urusan penerimaan kerja dan cara mempekerjakannya diserahkan kepada pelaku usaha swasta. Makanya, pengusaha swasta semakin banyak yang sewenang-wenang terhadap pekerjanya. Kesewenang-wenangan ini diperkirakan terus meningkat dengan berlakunya UU Cipta Kerja, apalagi dengan ucapan presiden yang menyerahkan kunci lapangan kerja ke sektor swasta.
Kedua, jika lapangan kerja 2,8 sampai 3 juta tahun ini tidak tercapai, Jokowi dan para menterinya diperkirakan akan kompak mengeluarkan kalimat ngeles. Bisa alasannya karena perekonomian belum pulih. Kalau alasan ini yang keluar, mungkin semua rakyat maklum.
Akan tetapi, kalimat yang muncul bukan karena ekonomi belum pulih. Melainkan kalimat menggelikan atau bahkan menyakitkan. "UU Cipta Kerja didemo terus oleh buruh/pekerja. Yang mengganggu ya pekerja juga. Jadi mereka menghalangi calon pekerja." Demikian kira-kira bunyi ucapan kalimatnya. Sebuah kalimat yang tidak diharapkan, karena sangat provokatif dan mengadu-domba pekerja dengan pengusaha.
Jadi, Jokowi jangan menyerahkan kunci lapangan kerja itu ke pengusaha. Pemerintah harus pro-aktif dalam membuka lapangan kerja bagi rakyatnya. Pemerintah tidak bisa berdiam diri manakala pengangguran semakin banyak.
Ketika anak-anak SMA/SMK dan perguruan tinggi yang baru lulus menganggur, dikhawatirkan sangat berdampak buruk pada kehidupan sosial dan hukum. Kejahatan intelektual bisa meningkat, karena yang menganggur orang-orang terdidik.
Jadi, sekali lagi jangan serahkan kunci itu kepada pengusaha. Apalagi mengingat janji manis kampanye Jokowi pada 14 Februari 2019. Saat itu ia berjanji akan memberikan tiga kartu jika terpilih menjadi presiden pada periode 2020-2024.
Tiga kartu yang dijanjikan itu adalah kartu pintar, kartu sembako murah dan kartu pekerja. Kartu pekerja akan diberikan agar pelayanan kepada pekerja lebih maksimal. Kartu tersebut juga diperuntukkan bagi calon pekerja dan bekas pekerja.
Semua menunggu realisasi janji manis dari Jokowi. Rakyat, khususnya pekerja dan lebih khusus lagi calon pekerja dan bekas pekerja yang di PHK, menunggu bukti, bukan sekedar janji. Rakyat jangan disodorkan dengan "sinetron" yang tidak berarti dan bernilai. **