Jokowi Menempatkan Diri Sebagai Raja, Bukan Presiden

Oleh Syafril Sjofyan - Pemerhati Kebijakan Publik, Aktivis Pergerakan 77-78, Sekjen FKP2B

NEGARA yang berbentuk kerajaan memang sang raja harus mempersiapkan dan memilih seorang pangeran untuk di mahkotahi. Pengganti dirinya meneruskan kekuasaan sang raja,  demi negara kerajaan. Tetapi Indonesia bukanlah kerajaan.  Indonesia adalah negara demokrasi  berbentuk  republik.  

Mungkin Jokowi  lupa atau tidak tahu atau wawasan kenegaraannya kurang. Republik Indonesia adalah negara demokrasi yang mempunyai konstitusi. Jauh berbeda daulat rakyat, bukan daulat raja.  Menentukan dan memilih  pengganti presiden adalah rakyat, artinya dengan kelupaan, ketidaktahuan atau tidak punya wawasan Jokowi menempatkan dirinya sebagai raja. Jelas ini melanggar etika negara demokrasi. 

Melalui tindakan Jokowi sebagai Presiden sekaligus Kepala Negara, ikut cawe-cawe berpihak bahkan secara langsung ikut aktif menjadi timses memenangkan pilihannya dengan alasan demi negara. Jokowi bukanlah raja, artinya sangat tidak tepat sikapnya berbahaya bagi tegaknya demokrasi serta keberlanjutan Pemilu. Dengan sikap seperti itu pemilu pasti tidak akan terselenggara secara jurdil (jujur dan adil).

Tanpa Jokowi cawe-cawe saja, kecurangan pemilu tetap ada. Akan tetapi jika Jokowi mengabaikan etika, dirinya sebagai Presiden tetap ngotot merangkap sebagai ketua timses salah satu capres, kekuasaan presiden yang berpihak tidak netral, akan menyebabkan kecurangan secara sistemik, masif, dan terstruktur.

Mengapa, sebab secara langsung atau tidak langsung semua kementerian/badan, termasuk semua  infrastruktur yang berada di bawah presiden, seperti lembaga keuangan dan perusahaan BUMN termasuk militer dan BIN, mau tidak mau, diperintah ataupun tidak, harus menuruti kemauan sang presiden. 

Jika demikian, jelas percuma diadakan pemilu dengan biaya yang sangat besar. Penyelenggara Pemilu (KPU) dibiaya lebih Rp70 Triliun, Pengawas Pemilu (Bawaslu) Rp30 Triliun dan Pengamanan Pemilu (Polri) Rp20 Triliun. Dipastikan ketiga lembaga tersebut akan berada di bawah kendali presiden. Hasilnya sudah ditentukan sebelumnya untuk dimenangkan. Maklum “perintah” presiden.  

Sebenarnya tidak perlu adanya pilpres 2024 dengan mengorbankan semua energi dan tenaga serta keuangan negara. Apa yang dipertontonkan Jokowi bukanlah sebagai seorang negarawan, dia menempatkan dirinya sebagai “raja” dengan mengabaikan kedaulatan rakyat.

Jika Presiden secara sadar melanggar etika negara demokrasi menempatkan diri sebagai raja, bukan lagi sebagai Presiden dan Kepala Negara yang dipilih rakyat serta “memaksakan” keinginannya untuk menempatkan putera mahkota pengganti dirinya, maka hilanglah kedaulatan rakyat. 

Mau tidak mau rakyat dalam negara republik yang berdasarkan konstitusi, bukan kerajaan, harus merebut kedaulatannya. Memakzulkan presiden dijamin oleh konstitusi agar mimpi presiden menjadi “sang raja” segera tersadar, bahwa dia bukanlah raja dan bukan siapa-siapa. Dia hanyalah rakyat yang sebelumnya dipilih menjadi presiden, serta dibatasi waktunya. 

Lalu pilihannya karena rakyat yang memilih dan rakyat juga yang berhak menjatuhkan Presiden melalui UU Pemakzulan, maka rakyat berhak memakzulkannya. Ada juga ahli tata negara yang berpendapat revolusi juga dijamin oleh konstitusi. Rakyat tinggal memilih dengan tepat dan cepat.

Bandung, 31 Mei 2023.

4794

Related Post