Jokowi Tetap Menolak Lockdown?

Jakarta FNN – Jum’at (08/01). Memasuki pekan kedua bulan Januari, kondisi Indonesia makin berat. Kondisi berat secara kesehatan. Apalagi secara ekonomi.

Per tanggal 7 Januari lalu, angka positif Covid-19 sudah mendekati 800 ribu kasus. Sementara kasus harian nyaris tembus 10.000. Tepatnya total kasus 797.723 orang, dan kasus positif harian mencapai 9.321.

Dilihat kasusnya ini merupakan rekor tertinggi. Angka-angka tersebut terus naik hari demi hari. Tiga hari menjelang dan selama Natal, angkanya tembus 7.000. Naik 8.000, dan sekarang sudah di atas 9.000 kasus. Diperkirakan jumlahnya akan meningkat 30—40 persen, seiring usainya libur panjang Natal dan Tahun Baru.

Meski pemerintah mengimbau warga agar tidak bepergian, namun Departemen Perhubungan memperkirakan, ada sekitar 16 juta orang yang melakukan perjalanan selama libur panjang kemarin. Akibatnya. Sejumlah rumah sakit di kota-kota besar, seperti Bandung, Surabaya, apalagi Jakarta sekarang sudah penuh.

Di Surabaya dilaporkan, pasien Covid sampai harus dirawat di lorong-lorong rumah sakit. Karena tidak kebagian tempat tidur. Sementara di Jakarta, sebuah video viral menunjukkan seorang pasien ditawari dirawat di tempat duduk. Sudah tidak tersedia tempat tidur, kata seorang perawat.

Situasi semacam ini sesungguhnya tidak terlalu mengagetkan. Kondisi ini sudah diprediksi jauh-jauh hari. Ini untuk pertama kalinya Presiden Jokowi secara serius, menampakkan kekhawatirannya ,dengan perkembangan Covid.

Bahkan dia mengingatkan Indonesia, khususnya Jawa dan Bali berpotensi dilakukan lockdown. Seperti halnya dilakukan oleh kota-kota lain di dunia. Jokowi menyebut contoh beberapa negara yang harus melakukan lockdown. London, Tokyo, dan yang paling dekat dengan kita Bangkok. Jokowi bahkan menyebut bukan hanya London, Inggris juga melakukan lockdown.

"Hati-hati ini jadi catatan kita semuanya, jangan sampai terjadi lonjakan yang sangat drastis, sehingga kita dipaksa untuk melakukan (lockdown)," tegas Jokowi ketika melakukan rapat virtual bersama menteri dan sejumlah gubernur.

Meski mengingatkan kemungkinan pemerintah terpaksa melakukan lockdown. Namun itu baru berupa wacana. Sama seperti sikap Jokowi sejak awal pandemi. Dia menolak tegas opsi lockdown yang akan akan diberlakukan Gubernur Jakarta Anies Baswedan.

Seperti kita ketahui, pemerintah akhirnya memilih opsi pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Berbeda dengan lockdown, dalam PSBB tidak ada konskuensi biaya yang akan membebani APBN.

Bila lockdown yang dipilih, sesuai ketentuan UU, semua kebutuhan hidup warga, bahkan termasuk binatang peliharaan juga harus ditanggung pemerintah. Sementara dalam PSBB tidak ada kewajiban semacam itu kepada pemerintah.

Pada PSBB juga ada opsi-opsi pengecualian. Terutama yang berkaitan dengan kegiatan perekonomian. Makanya kemudian dikenal berbagai istilah PSBB yang diperlonggar, dan berbagai istilah absurd lainnya. Intinya pemerintah ingin agar kegiatan perekonomian dapat tetap berjalan.

Situasinya kini jelas berbeda. Menteri keuangan Sri Mulyani sudah mengisyaratkan. Situasinya saat ini benar-benar sudah darurat. Dia menyatakan tak ada pilihan lain bagi pemerintah. Menerapkan PSBB di Jawa dan Bali. Bila tidak dilakukan PSBB, maka situasinya bisa lebih buruk lagi.

Sri Mulyani menggunakan istilah dalam bahasa Inggris getting worse. Pernyataan Sri Mulyani ini menunjukkan betapa buruknya situasi keuangan negara saat ini. Ada nada putus asa dalam pernyataannya.

Kalimat “bila tidak dilakukan akan getting worse” menunjukkan bahwa pilihan terburuk itu mau tidak mau harus dilakukan. Ini merupakan peringatan keras bagi Jokowi dari seorang bendahara negara.

Menkeu sangat tahu seperti apa kondisi keuangan negara saat ini. Namun dia juga sangat tahu bahwa kebijakan pemerintah selama ini, selalu menolak untuk melakukan lockdown, atau apapun istilahnya.

Bahwa keuangan negara semakin memburuk itu sesungguhnya sudah bisa dibaca publik. Pemerintah misalnya membatalkan rencana kenaikan gaji untuk ASN minimal Rp 9 juta. Padahal sudah diumumkan oleh Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara Tjahjo Kumolo. Rencananya akan direalisasikan tahun 2021.

Banyak juga rumor yang muncul. Misalnya, gaji pegawai belum diterima. Kalau diterima, baru sebagian. Tunjangan-tunjangan yang biasa diterima tak kunjung turun. Seorang pejabat tinggi negara bahkan menyampaikan. Kemampuan keuangan negara membayar gaji, paling banter hanya kuat sampai bulan April 2021 nanti.

Sri Mulyani juga berkali-kali curhat betapa beratnya situasi keuangan negara. Pada bulan November 2020, di depan KPK, Sri Mulyani menyampaikan betapa sulitnya mengelola perekonomian negara dan fiskal selama pandemi Covid-19..

Tak lama setelah mencuat kasus korupsi bansos, Sri Mulyani curhat ke Direktur IMF. Dia susah payah mencari bantuan ke donatur. Tetapi anggaran untuk orang miskin malah ditilep Mensos Juliari Batubara. Sekarang, menghadapi lonjakan Covid-19, Sri Mulyani menyatakan tidak ada pilihan lain. Harus dilakukan PSBB untuk Jawa dan Bali. Bila tidak akan lebih buruk lagi.

Bagaimana sikap Jokowi? Sewaktu Jakarta ingin melakukan PSBB diperketat saja, pemerintah pusat menolak dan melakukan tawar menawar. Apalagi sekarang Jawa dan Bali. Tetapi masalahnya, seperti kata Menkeu, tidak ada pilihan lain yang lebih baik.

Silakan diputuskan Pak Jokowi. Jadi Presiden itu memang berat. Biar Pak Jokowi yang memikirkannya. Rakyat tidak akan kuat!! End

455

Related Post