Jokowi Yang Disuntik, Anak Tokoh PKI Curiga
PERISTIWA yang paling ditunggu publik adalah bagaimana reaksi medik terhadap kesehatan tubuh Presiden Jokowi setelah menjalani suntikan pertama vaksin Sinovak (asal China) di lengan kirinya, Rabu (13/01) lalu. Sebagian masyarakat dengan tingkat kecerdasan tertentu, menunggu dengan amat sangat. Malah ada yang cemas, dan itu mungkin saja.
Sementara kelompok masyarakat lain dengan kecerdasan berbeda, lebih kritis, akan bersikap tenang. Tidak gupuh-gapah dan bingung. Karena sudah bisa menebak, pasti tidak terjadi apa-apa dengan Presiden Jokowi. Tidak akan jatuh sakit, pingsan misalnya. Apalagi sampai mati. Tidak mungkin itu.
Jokowi agaknya, tengah memainkan trik propaganda “menang atau benar” di belakang. Sehingga lebih memiliki kualitas kebenaran tinggi. Bahkan lebih berarti. Sehingga tertancap opini publik, bahwa Jokowi adalah orang benar. Apalagi ini Presiden.
Pandangan itu didasarkan pada penilaian dari khabar yang tersiar jauh hari sebelumnya, jika Jokowi dan beberapa pejabat tinggi negara ogah disuntik pertama kali vaksin dengan penangkal Covid-19 buatan negara komunis China itu. Bahkan pakar hukum Tata Negara, Refly Harun, dan beberapa kritikus lain sempat berlontar kata, Jokowi sebagai pemimpin harus bisa menjadi tauladan. Harus sanggup menjadi orang pertama yang bersedia disuntik vaksin.
Nah, peristiwa Rabu lalu, penyuntikan Jokowi oleh Wakil Kepala Tim Dokter Kepresidenan, seakan-akan sebagai konfirmasi bahwa Jokowi bukan pengecut. Bukan juga pengkhianat. Jokowi adalah pemimpin yang bertanggung jawab atas keselamatan rakyatnya.
Disini muncullah pembentukan opini publik, "Jokowi adalah pemimpin tulen. Berani mengambil resiko kematian sekali pun". Luar biasa hebatnya. Buktinya, tudingan miring para pengamat dan kritikus ternyata meleset semua. Tak terbukti.
Namun begini. Segala hal yang berkaitan dengan penanganan sesuatu oleh pihak yang memiliki profesi tertentu, yang terjadi adalah sebuah kondisi dimana cuma pihak yang memiliki profesi yang menguasai persoalan. Sedangkan sisi pihak yang meminta tolong hanya bersandar kepada kenyataan “bergantung”. Karena memang tidak mengerti. Juga tidak mudeng.
Misalnya, seseorang bermaksud memperbaiki sepeda motornya yang rusak. Entah kenapa, karena bukan ahlinya, maka motor itu dibawa ke sebuah bengkel motor. Padahal ngadatnya motor tersebut cuma karena businya yang sowak. Harganya murah. Apalagi kalu mau membeli sendiri.
Namun karena pemilik motor bukan ahlinya, dibilang sama mekanik bengkel misalnya, kerusakan terjadi pada piston. Atau onderdil lain bagian dalam mesin. Pemilik motor dipastikan tidak tahu. Jangankan untuk memegang barang yang rusak. Melihat saja belum pernah. Maka pemilik motor tidak memiliki opsi lain, kecuali mengiyakan.
Dalam praktek dunia suntik menyuntik. Pasti dilakukan oleh tenaga ahlinya, dokter atau para medis lainnya. Tidak ada pasien yang mengerti, obat atau cairan apa yang disuntikkan. Berapa cc seharusnya? Bagaimana reaksinya? Serta seluk-beluk dunia kedokteran lainnya. Semua tidak dikuasai oleh pasien.
Nah, cairan yang disuntikkan ke lengan Presiden Jokowi itu apakah benar Sinovac? Boleh jadi itu cuma vitamin biasa yang memang tidak berefek frontal. Pingsan atau mati misalnya. Sebab, dalam dunia kedokteran dikenal dengan istilah plasebo. Plasebo adalah sebuah teknik pengobatan yang tidak memiliki dampak apa-apa. Lain kata, plasebo itu tindakan medis secara palsu yang bertujuan mengontrol efek dari pengharapan.
Bisa jadi, Jokowi tengah berafirmasi. Atau melakukan testimoni di hadapan publik tentang mujarabnya Sinovac pabrikasi China komunis itu. Dengan harapan, setelah dia disuntik rakyat pun berbondong minta suntik tanpa rasa khawatir. Terlebih usai diinjeksi Jokowi bilang, "tidak terasa apa-apa".
Anak tokoh PKI sekalipun mencurigai Presiden Jokowi terkait dengan persuntikan vaksin sinovac itu. Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PDIP, dr. Ribka Tjiptaning, anak gembong PKI, Soeripto Tjondro Saputro, menuding bahwa cairan yang disuntikkan ke tubuh Jokowi dan para tokoh lainnya, boleh jadi, bukanlah vaksin Sinovac. (law-justice.co, 14/01).
"Bisa saja itu bukan Sinovac. Yang dikasih kan kita enggak tahu semuanya. Jangan ada dusta diantara kita," kata Ribka. Ribka pun mengaku sempat ditegur partainya, PDIP, terkait pernyataannya itu. Pandangan tersebut disampaikan Ribka, berlatar pengalamannya saat mengetahui adanya vaksinasi polio beberapa tahun lalu. Saat itu, kata Ribka, masyarakat sehat malah menjadi mati sebanyak 12 orang setelah mendapat vaksinasi polio.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) turut menstempel tentang kehalalan vaksin Sinovac. Namun, kembali ke atas. Halal atau tidak halal itu otoritas MUI. Sedangkan rakyat tidak pernah tahu, apakah barang tersebut benar-benar halal. Andai pun halal, bagaimana kemanjurannya?
Publik dan kader-kader PDIP sangat faham kalau Ribka Tjitaning adalah kawan baik Presiden Jokowi. Apalagi separtai di PDIP. Namun jika kawan baik saja mencurigai perilaku Jokowi, itu pertanda Sinovac memang serius untuk dicurigai.
Sementara, ahli epidemiologi, dr. Tifauzia Tyassuma, menurut repelita.co, 12/1, menolak injeksi vaksin Sinovac. Akademisi dan peneliti dari Lembaga Ahlina Institute ini mengaku hanya bersedia divaksin buatan dalam negeri, yakni Vaksin Merah Putih.
Ke NKRI-an dokter cantik ini sangat mengagumkan. "Lebih baik saya mati setelah disuntik Vaksin Merah Putih. Daripada mati dalam suntikan vaksin lain (Sinovac)," tegasnya. Sebab itu, seandainya dia mati atas Vaksin Merah Putih setidaknya kematiannya bernilai kebangsaan. Menggerakkan si peneliti vaksin untuk memperbaiki kualitas temuannya, agar tak terjadi ulang pada pihak lain.
Vaksinasi Covid-19 belum tamat hanya sampai pada Presiden Jokowi disuntik. Kita tunggu bersama kisah vaksinasi ini pada peristiwa lanjutan. Apakah normal-normal saja? Baik-baik saja? Ataukah berefek tragis yang menimbulkan korban jiwa seperti yang pernah terjadi di vaksinasi polio beberapa tahun lalu itu? Vaksin folio itu juga terjadi masih dalam kepemimpinan Jokowi.