Kabinet Muhammadiyah Lebih Pancasilais Daripada Kabinet Maju
Menjadi Presiden dan para pembantunya dalam Kabinet Maju, semua maju untuk mendapatkan fasilitas sebesar-besarnya. Dan, mereka bisa masuk dalam kabinet maju harus dengan segala cara.
Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih
PEMILIHAN langsung versi Pilpres atau Pileg adalah sistem untuk pemilihan pemegang jabatan politik di mana pemilih secara langsung memberikan suaranya untuk suatu kandidat atau pasangan calon, yang mereka inginkan agar mereka tersebut dapat terpilih.
Untuk pemilihan Presiden dan Wakil Presiden memiliki prosedur yang rumit, panjang dan berdarah-darahm bahkan banyak membawa korban kematian.
Tanpa dipanjangkan analisa mengenali prosesnya, yang berakhir dengan kekecewaan, baik soal transparansi sampai indikasi kuat manipulasi suara macam-macam praktiknya. Sampai harus bersengketa di peradilan Mahkamah Konstitusi (MK).
Tentu berbeda pemilihan pimpinan Ormas (Muhammadiyah) untuk 13 nama dengan pemilihan Presiden hingga berlanjut untuk pemilihan para pembantu presiden (para menterinya)
Sistem Pemilihan di Muhammadiyah berjalan dengan kawalan sistem dan manajemen yang kokoh, rapi, terstruktur penuh nilai religius, kemanusiaan dan keadaban, terwujud persatuan yang kokoh, tersirat permusyawaratan perwakilan penuh hikmat kebijaksanaan dan terasa rasa keadilan untuk semuanya yang jadi dalam muktamar.
Berakhir dengan damai, tidak ada kubu-kubuan, tidak ada tim sukses. Tidak ada kampanye terselubung, tidak ada serangan fajar/subuh apalagi serangan di malam buta. Bebas dari transaksi uang, sama sekali tak tercium.
Semua proses berjalan dengan wajar, singkat, terbuka dalam suasana keakraban, persahabatan ukhuwah yang tulus, ikhlas bahkan sangat mengharukan ketika teman-teman ormas lain bahkan dari kalangan umat agama lain ikut membantu untuk suksesnya muktamar berjalan lancar dan sukses.
Terlintas dalam pikiran: mungkinkah sistem Pemilu Muhammadiyah ini diadopsi untuk pilpres tingkat negara Indonesia. Kita tahu pemilu dan pilpres kita itu terlalu rumit, panjang, penuh intrik, berdarah-darah sampai timbul korban anggota TPS hingga ratusan orang.. ngeri dan mengerikan.
Terlalu bertele-tele dengan biaya mahal. Dampak politiknya masyarakat terbelah dan melahirkan konflik tanpa ujung. Sangat berbeda dengan proses pemilihan di Muhammadiyah.
Dalam muktamar ada peserta resmi dan peninjau. Yang luar biasa ada penggembira. Peserta penggembira ini jauh lebih besar datang dari seluruh penjuru tanah air.
Mereka datang dengan penuh gembira, hebatnya dalam ukhuwah tercipta rasa satu tidak ada rasa berbeda dengan para peserta resmi muktamar sekalipun fungsi dalam muktamar pasti berbeda.
Para penggembira datang dengan biaya sendiri-sendiri penuh rasa bangga karena rasa memiliki Muhammadiyah. Mereka bukan pendukung salah satu calon ketua, tidak punya hak suara, tidak punya hak bicara, hanya punya hak untuk bergembira.
Mereka gembira dengan jaminan adanya budaya bersih, jujur, dan damai di Muktamar Muhammadiyah. Bersih muktamar, bersih niat, pikiran, dan bersih fisik di lingkungan muktamar.
“Kembali bayangan terjadinya pemilihan Presiden yang bisa sedamai pemilihan kabinet Muhammadiyah”.
Bayangan itu kembalinya fungsi MPR sebagai lembaga tertinggi negara untuk memilih Presiden dengan kawalan sistem yang ketat dari virus praktik seperti transaksi politik, intervensi kekuatan dari luar, selain murni pilihan sesuai pilihan rakyat.
Ketika negara sudah kembali Presiden dipilih oleh MPR, masing masing anggota MPR harus terikat dengan suara dari daerah pilihannya seperti peserta muktamar Muhammadiyah yang sejak seleksi sampai pemilihan 13 nama pasti suara murni dari masing masing daerahnya.
Tidak bisa dipengaruhi oleh kekuatan dari luar, apalagi dibeli suaranya. Apa itu bisa diadopsi oleh MPR, jawabnya pasti bisa. Prosesnya benar ada dan dijiwai oleh moral dan perilaku dari nilai-nilai Pancasila.
Prestasi demokrasi dan pengamalan Pancasila musyawarah (melalui Pemilihan yang bersih dan jujur) Muhammadiyah telah membuktikan, tanpa harus gembar-gembor dan cuap-cuap “sayalah paling Pancasilais”.
Kualitas kabinet Muhammadiyah sangat terjaga dan dijamin kualitasnya, karena lagi-lagi ada persyaratan melalui mekanisme yang ketat dalam AD/ ART yang tidak bisa direkayasa untuk lompat pagar. Nama nama calon kabinet Muhammadiyah yang tidak memenuhi persyaratan AD/ART pasti tereliminasi dengan sendirinya.
Hasil pilihan kabinet Muhammadiyah disambut gembira oleh semua peserta yang hadir dalam Muktamar dan seluruh kader dan anggota Muhammadiyah di seluruh tanah air. Tersisa setelah muktamar terakhir satu tekad bersama bekerja membawa Muhammadiyah yang berkemajuan,
“Memajukan Indonesia, Mencerahkan Semesta”
Dengan sistem pemilu seperti itu, Muhammadiyah bisa menghindari banyak virus yang merusak organisasi. Termasuk tidak mungkin terjadi, misalnya, seseorang tokoh tiba-tiba jadi pimpinan, hanya bermodalkan popularitas atau kekuasaan.
Jadi pimpinan terpilih sebagai pimpinan (kabinet) Muhammadiyah sudah terseleksi secara ketat, berjenjang, transparan. Hampir tidak mungkin terjadi kasus '”salah pilih'”.
Termasuk tidak bisa “menjual” Muhammadiyah dalam pemilu atau pilpres. Sebab Muhammadiyah lebih sebagai kumpulan para pengabdi. Maka tidak terpilih pun tidak masalah karena semua dalam semangat yang sama yaitu mengabdi menghidupi Muhammadiyah, bukan mencari hidup dari Muhammadiyah.
Yang membedakan antara kabinet Muhammadiyah dengan Kabinet Maju rezim ini dan sangat mencolok adalah: kabinet Muhammadiyah tidak ada keuntungan finansial apa pun untuk menjabat ketua umum dan pengurus Muhammadiyah. Juga tidak mendapat fasilitas. Sebaliknya mengejar sebagai Kabinet Maju tak beda mengejar fasilitas yang harus diraihnya.
Menjadi Presiden dan para pembantunya dalam Kabinet Maju, semua maju untuk mendapatkan fasilitas sebesar-besarnya. Dan, mereka bisa masuk dalam kabinet maju harus dengan segala cara.
Bahkan, saya suka menyebut kabinet maju saat ini adalah kabinet persengkongkolan hasil persengkokolan sejak awal proses pemilihan yang sangat miskin dan kering dari nilai-nilai Pancasila. (*)