Kalau Presiden Perintahkan FPI Sweeping Mafia Kedelai?
Jakarta FNN – Selasa (05/01). Hari ini emak-emak mulai lega karena tempe dan tahu muncul lagi di pasaran. Bagi mayoritas rakyat Indonesia, dua jenis lauk-pauk pendamping makanan pokok ini nilainya sangat vital. Makan nasi tanpa tahu dan tempe rasanya jadi hambar.
Tempe dan tahu inilah yang dirasakan masyarakat dalam tiga hari terakhir karena produsen tempe dan tahu melakukan pemogokan nasional. Pemogokan akibat pemerintah gagal menekan meroketnya kenaikan harga kedelai. Padahal kedelai sebagai bahan baku pembuatan tempe dan tahu.
Menurut obrolan emak-emak dan pedagang di pasar becek, hilangnya tempe dan tahu di pasaran disebabkan para pejabat pemerintah terlena nonton sinetron “Jalinan Cinta”. Sinetron yang sedang booming akhir-akhir ini. Ada juga yang nyeletuk kisruh seputar tempe dan tahu ini akibat pemerintah terlalu sibuk membikin sinetron “radikal-radikul-radikel-radikil” yang pemeran utamanya adalah Hendroriyono. Itu cuma obrolan rakyat awam lho.
Fakta sebenarnya setelah lebih enam tahun berkuasa, Presiden Jokowi telah gagal memenuhi janji-janji kampanye dulu. Janji Jokowi untuk mewujudkan swasembada pangan. Sekarang mari kita gali lagi satu dari sekian banyak janjinya enam tahun yang lalu.
"Saya sudah beri target Menteri Pertanian tiga tahun. Tidak boleh lebih. Hati-hati, tiga tahun belum swasembada, saya ganti menterinya". Begitu kata Jokowi saat memberi kuliah umum di Kampus Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 9 Desember 2014.
Waktu itu Jokowi menyebut secara rinci. Swasembada pangan yang dimaksud mencakup empat komoditas, yaitu beras, gula, jagung, dan kedelai. Sebagai langkah awal, Jokowi targetkan pembangunan 30 bendungan untuk penyediaan irigasi lahan pertanian. Selain itu, Jokowi bertekad menekan impor pangan. Menurut Jokowi, impor bahan pangan selama ini disebabkan ada kepentingan oknum tertentu. "Semua masih seneng impor karena banyak yang mengambil rente di sini (impor)," katanya waktu itu.
Faktanya, sampai hari ini empat komoditas yang ditargetkan swasembada pada tahun 2017 itu masih diimpor. Sekarang, ada yang membangun alibi penyebab hilangnya tempe dan tahu di pasaran kemarin akibat harga pasaran kedelai internasional melambung tinggi. Ada lagi yang bilang akibat Cina memborong kedelai dari Amerika Serikat. Itu sama artinya dengan penegasan kedelai masih diimpor.
Mungkin besok ada lagi yang membangun opini bahwa pandemik covid-19 sekarang ini membuat pemerintah gagal memenuhi swasembada pangan. Padahal masalah sebenarnya bukan itu. Pertanyaan rakyat, ngapain saja pemerintahan Jokowi selama enam tahun ini? Ingat loh, enam tahun lalu kalian sudah mencanangkan swasembada beras, gula, jagung, termasuk kedelai pada tahun 2017.
Jadi, alasan apapun yang dikemukan, apalagi mengaitkan dengan konteks situasi krisis ekonomi dunia hari ini sudah sangat basi. Karena swasembada keempat bahan makanan pokok rakyat itu seharusnya sudah tercapai tahun 2017. Sedangkan pandemik Covid-19 baru datang Februari-Maret 2020.
Baiklah, sekarang sekali lagi kita maafkan kegagalan tersebut. Lantas apa yang seharusnya dilakukan pemerintah untuk mengejar kegagalan swasembada pangan ke depan? Sebetulnya langkah yang ditetapkan Jokowi enam tahun yang lalu sudah benar.
Pertama, bangun waduk untuk irigasi pertanian. Progresnya tinggal dipercepat ,dan harus ada goodwill prioritas anggaran. Kedua, memberantas “import minded” yang tentunya melibatkan pejabat dan pengusaha. Nah langkah ini yang belum terlihat sama sekali. Jadi langkah yang kedua ini harus digeber sekarang juga oleh Pak Jokowi.
Sampai hari ini, sektor pengadaan pangan nasional masih dikuasai mafia. Jadi tidak heran dari hari ke hari emak-emak dan suaminya pusing mengatur keuangan rumah tangganya untuk menyiapkan makanan anak-anaknya di rumah. Modus mafia pangan ini sudah terbaca dari dulu, yaitu dengan menarik rente impor yang tinggi dan penimbunan barang.
Operasi pemberantasan penimbunan beras ini prnah dilakukan Kapolri Tito Karnavian beberapa waktu lalu. Sejak itu suplai beras stabil sampai sekarang. Kenapa hal ini tidak dilakukan terhadap penimbum kedelai di eranya Kapolri Jendral Idham Azis yang sebenatr lagi pensiun?
Sementara ini kita memang mustahil serta-merta bisa menghapus kebijakan impor berbagai komoditas pangan. Karena kebijakan ini pasti akan dibalas negara lain dengan menolak masuk komoditas kita. Tetapi sambil mengejar kemandirian pangan, termasuk sandang dan pangan yang entah kapan bisa terwujud, paling tidak modus penimbunan barang inilah yang bisa dilakukan sekarang juga.
Penimbunan kedelai pasti ada. Buktinya, tempe dan tahu bisa seketika mereka hilangkan dari dipasaran selama tiga hari. Setelah itu mereka munculkan lagi di pasaran seketika. Motifnya sudah tentu barang sengaja ditimbun di suatu gudang dan tidak dilepas ke produsen tempe dan tahu sampai pemerintah menyesuaikan harga jual kedelai sesuai kalkulasi keuntungan yang mereka harapkan.
Kemarin kita lihat aparat keamanan nampak sigap sekali mencopoti spanduk Front Pembela Islam (FPI). Bahkan sempat-sempatnya melancarkan operasi spektakuler penyergapan rombongan pengawal Habib Rizieq Shihab di kilometer 50 jalan tol Jakarta-Cikampek. Penyergapan yang berakhir sadis dengan ditempaknya enam anggota Laskar FPI oleh anggota Polda Metro Jaya.
Sayangnya, sejauh ini tidak nampak inisiatif dan kesigapan aparat mereka untuk membantu Presiden Jokowi, dengan menyergap para penimbun bahan pangan yang jelas-jelas merugikan seluruh rakyat. Jadi, ada baiknya Presiden Jokowi mulai berpikir out of the box. Misalnya, mengangkat Habib Rizieq jadi Komandan Satgas Penumpasan Mafia Pangan.
Habib Rizieq dengan FPI-nya sebetulnya punya energi besar untuk menumpas segala kemaksiatan di negeri ini. Selama ini FPI terbukti efektif menekan maraknya peredaran minuman keras, praktik prostitusi dan perjudian. Metode-metode sweeping dan konfrontasi yang mereka lancarkan terhadap preman-preman dan backing-backing segala jenis kemaksiatan terbukti menimbulkan simpati luar biasa dari masyarakat Indonesia yang mayoritas ber-Tuhan.
Dalam doktrin kamtibmas maupun doktrin pertahanan semesta, FPI sesungguhnya modal sosial yang harus dimanfaatkan oleh setiap rezim yang sungguh-sungguh ingin menegakan hukum dan kedaulatan nasional. Operasi pemberantasan FPI sekarang ini sesungguhnya hanya menyenangkan geng-geng mafia yang ingin mempertahankan status quo, termasuk mafia kedelai.
Mereka itulah yang ini menyutradarai sinetron “intoleran- radikal-radikul-radikel-radikil” sebenarnya hanya untuk menyesatkan fokus rakyat Indonesia menuju kemandirian bangsa. Menuju swasembada pangan. Nah, kalau FPI yang sweeping mafia kedelai, kemungkinan kedelai bakal membanjiri pasar lagi. Tempe-tahu bakal mudah didapat lagi di Warung Tegal (Warteg).