Kapitalis Leluasa Dibawah Sinar Rule of Law

By Dr. Margarito Kamis

Jakarta, FNN - Kapitalis disepanjang rute sejarah konstitusionalisme dan demokrasi, teridentifikasi sebagai pioneer. Mereka teridentifikasi oleh sejarah sebagai pencipta “rule of law”. Ciptaan mereka, dalam kasus Inggris, diawali dengan “Magna Charta 1215”. Disusul secara bergelombang dengan penciptaan parlemen dua kamar. Dari sebelumnya hanya satu kamar, unicameral. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1365 di Inggris.

Mereka juga menjadi penyebab terbesar lahirnya konsep “habes corpus” pada tahun 1679. Sembilan tahun sebelum revolusi besar tahun 1688. Disusul sesudah itu dengan Petition of Right 1689, dan Parliamentary Act 1702 jauh setelah itu. Semuanya menyusul kemudian terhubung dengan mereka.

Rule of law, menempatkan hukum pada posisi tertinggi. Pada semua aspek sekecil apapun dalam kehidupan bernegara. Ini berkah dagang terbesar. Bagi kapitalis, inilah cara mereka lakukan untuk bisa merasuk masuk ke sumber ekonomi. Caranya kuasai dan atur hukum.

Dalam kasus Inggris tahun 1732, dibuktikan dengan dibuat Sumptuary Act. Dengan undang-undang ini, kapitalis Sutra Persia, pelopor Sumptuary Act, memonopoli produksi dan distribusi dari Sutra Persia. Akibatnya? Kapitalis katun India terpukul, dan hilang secara perlahan-lahan.

Dalam kasus mutakhir setelah Patriot Act 2003, yang mengotorisasi Amerika untuk menemukan dan menghabisi teroris dimanapun. Mereka bebas memasuki Irak. Saddam Husen, presiden Irak, teman Amerika pada tahun-tahun sebelumnya, akhirnya menemui nasib sebagai sponsor terorisme. Dalam status itu, Saddam dihabisi. Infrastruktur berantakan total.

Segera setelah prorak-poranda, Haliburton sebuah korporasi konstruksi menemukan mimpi tipikalnya. Makes a Killing on Iraq War, artikel Pratap Chartterjee, yang dipublikasikan oleh Special to Corpwacth 20 Maret 2003 menyajikan kenyataan yang kandungan kolutifnya menggunung.

As the first bombs rain down on Bagdad, tulis Charttejee, corpwacht menemukan seratus pekerja Haliburton di Irak. Haliburton diketahui menempatkan mantan Menteri Pertahanan Amerika Dick Cenney sebagai chief excecutive-nya.

Dalam artikel itu juga, Chatterjee menulis tentang saat ini Dick Cheney menerima upeti miliyaran dollar setiap tahun dari Haliburton. Upah ini sebagai bentuk terima kasih kepada Dick Chenney. Kerena berkat bantuan dari Dick Chenney, gedung putih memenangkan kontrak besar untuk Haliburton.

Soal terakhir ini, tulis Chatejjee disangkal oleh juru bicara Cheney. Itu satu soal. Namun persoalan lain yang menggoda untuk meyakini pernyataan kongklusif Chartterjee adalah Haliburton tidak sendirian. Chartterjee menunjuk pada 2001 Kellog. Brown and Root menjadi sub-kontraktor dari Haliburton dengan durasi tertentu. Mereka mengerjakan apa yang dikenal dengan Logistic Civil Augmentation Program (LOGCAP) dari Pentagon.

Betchel, korporasi konstruksi asal California berada disisi lain pembangunan kembali Irak. George Schultz mantan menteri luar negeri Amerika dalam pemerintahan Ronald Reagen, adalah salah satu anggota Dewan Direksi. Sementara itu Riley Betchtel, CEO-nya diangkat oleh Presiden Bush Jr sebagai penasihatnya di bidang perdagangan internasional.

Kolusi tersistem terlihat cukup meyakinkan. Donald Rumsfeld menjabat sebagai menteri pertahanan pada pemerintahan Bush. Sayangnya, Corpwachi teridentifikasi pernah ditugaskan oleh Schultz selagi Schultz menjadi Men Menteri Luar Negeri Amerika. Ia ditugaskan sebagai special envoy-nya di Irak. Apa yang dikerjakan Rumsfeld di Irak dalam statusnya sebagai special envoy?

Rumsfeld ditugaskan Schultz mendapatkan dukungan Saddam Husen kepada Bechtel mengerjakan pipa minyak dari Irak ke Yordania. Sisi kolutif lainnya, Riley Bechtel, mantan CEO Bechtel Corp, yang kini telah menjadi penasihat Bush, segera bertemu Terry Valenzano, pejabat Pentagon.

Petemuan direncnakan, dan berlangsung di Kuwait City. Hasilnya? Bechtel muncul sebagai kontraktor sejumlah proyek raksasa di Irak. Kontrak dengan nilai yang sangat pantastis, yaitu sebesar U$ 680 billion dollars untuk jangka waktu delapan belas bulan.

Tabiat penggunaan kedudukan official, alam karakter kolutif, untuk kepentingan pribadi kini terlihat lagi. Dalam perdebatan Komite Inteljen Kongres pada kasus penyelidikan pemakzulan terhadap Presiden Trumph, muncul tabiat kolutif itu. Dalam penyelidikan ini, Trumph ditemukan meminta dengan nada menekan, mengarahkan Presiden Ukraina menyelidiki Joe Biden, mantan Wapres Obama dan calon pesaingnya pada pemilu presiden 2020 ini.

Mengapa Trumph menunjuk Biden? Menurut Trumph, Biden dalam kedudukan sebagai Wapres Obama, teridentifikasi pernah menekan Jaksa Agung Ukraina menghentikan penyelidikan teradap anaknya, Hunter Biden. Itulah alasan Trump meminta Presiden Ukraina menyelidiki Biden. Sial baginya, tindakannya itu berbuah penyelidikan kongres dalam kerangka impeachment.

Bagaimana dengan Indonesia yang rule of lawnya naik kelas pasca Pak Harto? Terlihat sangat mirip, bahkan sama. Tak lebih dari sekadar menghidangkan “karpet merah terang” kepara para kapitalis untuk melipatgandakan penguasaan sumberdaya ekonomi.

Untuk sebagian kecil kasus, itulah yang teridentifikasi manis oleh Wahyuni Refi Setya Bekti. Dalam studi doktoral ilmu politik di FISIP Universitas Indonesia, Refi menemukan kenyataan, saya kualifikasi buruk. Terdapat kaitan politik yang kental antara kapitalis dengan politisi dalam pembentukan undang-undang.

Pembentukan undang-undang, khususnya undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Pengelolaan Sumberdaya Air, yang diriset mengantarkan Refi pada temuan itu. Cukup mengagumkan d temuannya. Ditemukan adanya pengaruh lembaga-lembaga donor dalam pembentukan undang-undang itu. Mereka berhasil memaksa negara agar membuat kebijakan yang menguntungkan mereka. Paling kurang harus menurut kepentingan mereka (Republika.co.id, 9/1/2020).

Studinya memperlihatkan pembahasan atas undang-undang ini tidak mendapat perhatian memadai dari kekuatan politik non DPR dan partai politik. Juga pembahasannya cukup cepat. Perihal pembahasan yang cukup tersebut cepat, juga terjadi pada pembentukan undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Membayar Utang. Ini dinyatakan Hamdan Zoelva, mantan Wakil Ketua Komisi II DPR periode 1999-2004.

Dalam keterangannya disidang pengujian konstitusi UU ini, Hamdan menerangkan betapa cepatnya pembahasan undang-undang ini. Hamdan juga menerangkan bahwa undang-undang ini tidak merumuskan ketentuan tentang berapa jumlah utang yang dapat dijadikan alasan untuk meminta sebuah korporasi dipailitkan (Detikcom, 14/2/2005).

Durasi pembahasannya adalah satu tipikal, bukan satu-satunya. Tipikal lainnya adalah karakter norma. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentan Migas, undang-undang Ketenagalistrikan, undang-undang tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Sekadar sebagai ilustrasi bahwa undang-undang yang disebutkan tersebut, bersifat sangat kapitalistik dan liberalis. Tipikalnya adalah “memberi hak” untuk mendapatkan sumberdaya itu. Sifat itu terbaca pada pertimbangan Mahkamah Konstitusi pada putusan-putusannya tentang undang-undang itu.

Teknis “norma kapitalistik” teridentifikasi melalui rumusan pasal yang berbunyi, misalnya “Pemerintah dapat mengikutsertakan pihak swata dalam …….. Atau pemerintah dapat mengikutsertakan pihak lain………” Tidak akan ditemukan norma yang tegas-tegas.

Tidak ditemukan misalnya “swasta berhak mengerjakan……” Itu tidak ada. Sama sekali tidak. Norma jenis itu terlalu konyol. Itu cara berpikir yang konyol. Begitulah cerdasnya kapitalis “menciptakan pintu masuk” ke penguasaan sumberdaya ekonomi.

Agar bisa mengecoh, maka harus dipastikan pemerintah tetap memegang kekuasaan. Bukan dengan melepaskan semuanya kepada pihak kapitalis. Untuk itu, rumusan norma harus seperti contoh sederhana di atas. Otang tolol dan konyol akan segera menyatakan bahwa Pemerintah, dengan rumusan seperti itu tetap sebagai pemegang kekuasaan. Padahal justru rumusan itu memberi kewenangan pemerintah memanggil kapitalis masuk.

Secara hipotetik beralasan diproyeksikan norma “kapitaklistik dan liberalistik” akan muncul pada undang-undang Ibu kota baru di Kalimantan Timur. Undang-undang ini sedang disiapkan. Dimana letak beralasannya? Pembangunan itu membutuhkan biaya besar 466 triliun rupiah.

Rinciannya kurang lebih sebagai berikut; APBN sebesar 19,2 % setara dengan 89,472 triliun rupiah, Swasta sebesar 26,2% setara dengan 122,092 triliun, dan Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha sebesar 54,6% setara dengan 254, 436 triliun rupiah (CNBCIndonesia, 27/8/2019). Kapitalis, pada waktunya menjadi kantong terakhir uang itu.

Pesta kapitalis dengan uang itu sempurna bersamaan dengan selesainya undang-undang, yang diisitilahkan secara teoritik “omnibus law”. Tipikal undang-undangh ini adalah materi muatannya meliputi berbagai sektor dan berbagai isu yang sifat dasarnya secara konseptual saling berkaitan.

Undang-undang ini akan dibungkus dengan argumen teknokratis, “memperlancar investasi.” Pasti sangat merdu, manis dan indah kedengarnya. Begitulah cara menghilangkan bau keterlibatan kapitalistik dalam pembuatan undang-undang. Itu sialnya. Untungnya? Saya tidak tahu.

Agar sukses terus mendekat, maka pola canggih amodel Amerika harus dipanggil. Apa saja polanya? Warga negara dan kehidupan masyarakat yang telah terhimpit padatnya jalanan kehidupan, harus terus dikurung di dalamnya. Harus selalu muncul isu baru, yang memanggil secepat mungkin kontroversi. Satu demi satu isu kontroversial baru diproduksi. Harus disajikan dari minggu ke minggu. Begitu seterusnya.

Kapitalis terus menggunung, dan rakyat kebanyakan terus terhimpit di dalamnya. Lalu datanglah deskripsi hebat kapitalis mencapai puncak itu karena mereka rajin, kreatif dan sejenisnya. Sementara orang kebanyakan kelewat malas, dan terlalu banyak bicara hal-hal non ekonomi. Padahal orang malas masih kerja mendorong gerobak jualan nasi goreng disaat kapitalis rajin telah tertidur pulas.

Begitulah cara rule of law mendistribusikan keadilan. Begitulah kesengsaraan dan nestapa orang kebanyakan dibuat biasa dibawah sinar rule of law. Kapitalis-kapitalis ini, konyolnya lagi, teridentifikasi sebagai orang-orang yang rajin. Orang miskin justru sebaliknya, teridentifikasi sepenuhnya sebagai orang yang malas. Bukan miskin karena kebijakan kapitalistik, yang selalu dalam semua level dan aspek bersifat diskriminatif. Konyol memang.

Penulis adalah Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Khairun Ternate.

636

Related Post