Kasus Ferdy Sambo, Pintu Masuk Pengusutan Penembakan KM 50 Secara Tuntas.

Pengacara, Juju Purwantoro. (Foto: M. Anwar Ibrahim/FNN)

Jakarta, FNN - Peristiwa tewasnya Brigadir Joshua (J) pada 8 Juli 2022 karena  penembakan oleh sesama anggota polisi di rumah dinas Ferdy Sambo,  di Duren Tiga, Jakarta Selatan, masih terus bergulir antara misteri dan fakta hukum. Modus dan fakta hukum yang sebenarnya  diharapkan akan terungkap di meja persidangan nantinya.

Hal itu dikatakan Juju Purwantoro, salah satu pembela Habib Rizieq Syhab, Munarman dan Edy Mulyadi, dalam siaran persnya yang diterima FNN, di Jakarta, Sabtu, 20 Agustus 2022.

Untuk mengusut motif tewasnya Brigadir J secara serius, Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah membentuk Tim Khusus. Kasus tersebut juga telah menjadi atensi serius publik, termasuk dari presiden Jokowi.

Lalu bagaimanakah halnya dengan pengungkapan kasus penembakan 6 laskar Front Pembela Islam (FPI) di rest area KM 50, Tol Jakarta-Cikampek?

Kasus penembakan laskar FPI tersebut, yang katanya juga dilakukan oleh anggota Satgas khusus dari Polri juga menjadi perhatian besar rakyat.

Apalagi Kapolri juga pernah menyampaikan komitmennya sesuai temuan/laporan Komnas HAM (Hak Azasi Manusia) pada 10 Agustus 2022, akan serius mengusut tuntas kasus-kasus yang mendapat perhatian besar dari masyarakat. 

Saat menangani kasus KM 50 yang terjadi pada 6 Desember 2020 itu, Ferdy Sambo menjabat sebagai Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polru, melakukan tindakan dan analisis bersama Propam Polri. Ferdy Sambo mengerahkan sebanyak 30 anggota Tim Propam untuk mengungkap fakta  tragedi KM 50 tersebut.

Pada 7 Desember 2020 Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Metro Jaya, Inspektur Jenderal Fadil Imran  tampil dalam konperensi pers, bersama  Brigadir Jenderal Hendra Kurniawan, Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam) Jaya Mayor Jenderal  Dudung Abdurahman dan Kepala Bidang Hubungan Masyarakat  (Kabid Humas) Polda Metro, Komisaris Besar (Kombes) Yusri Yunus. Mereka menerangkan ada peristiwa tembak- menembak, dengan menunjukkan alat bukti 2 pistol, samurai dan celurit. Tentu saja patut diduga semua uraiannya diragukan, sebagai rekayasa cerita, alat bukti dan kebohongan publik (obstruction of justice).

Keterlibatan Divisi Propam dalam kasus ditembaknya secara sepihak enam anggota laskar FPI, bukan karena adanya indikasi pelanggaran ataupun perlawanan, namun jelas- jelas adanya extra judicial killing.

Kalau kita merujuk  persidangan KM 50 pada 18 Maret 2022, di PN Jakarta Selatan, hakim  memvonis bebas kedua terdakwa, yakni Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda Yusmin. Ironi, seperti 'sidang dagelan dan peradilan sesat' padahal fakta persidangan yang terjadi adalah, enam korban laskar FPI terbukti dianiaya lebih dahulu sebelum ditembak mati dalam 'status ditangkap'.

Namun, kedua terdakwa tidak dijatuhi hukuman dengan alasan menembak untuk membela diri (overmacht). 

Peradilan kasus KM 50 dan kasus polisi tembak polisi di Duren Tiga, tentunya dapat dijadikan 'preseden dan pintu masuk' (entering point) untuk mengusut lebih lanjut kasus penembakan (unlawfull killing) 6 laskar FPI.

Karenanya, Kapolri Listyo Sigit juga harus berkomitmen mengungkapkan dan memproses lebih lanjut (tidak mempetieskan) kasus penembakan laskar FPI di KM 50, secara  terang-benderang demi hukum dan keadilan.

Peristiwa tersebut adalah  pelanggaran HAM berat, TSM (Terstruktur, Sistematis, Masif), sesuai UU No.26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dan UU 39 tahun 1999 tentang Pelanggaran HAM berat. 

Demikian juga mereka dapat dijerat pasal 340 KUHAP tentang Pembunuhan Berencana dengan ancaman hukuman mati, pasal 351 (ayat 3) KUHAP tentang Penganiayaan sampai Mati, jo pasal 55 KUHAP. (Anw/FNN).

1039

Related Post