Kehadiran IMF Bisa Memicu Lengsernya Jokowi

by Tjahja Gunawan

Jakarta, FNN - Menkeu Sri Mulyani dalam Pertemuan Musim Semi Dana Moneter Internasional (IMF) -Kelompok Bank Dunia Tahun 2021, yang diselenggarakan secara daring pada 5-11 April 2021, meminta agar Bank Dunia dan IMF dapat membantu negara-negara di dunia untuk mengelola beban utang mereka termasuk Indonesia.

Kemudian, Sri Mulyani juga berharap agar kedua lembaga tersebut dapat memberikan bantuan dalam rangka peningkatan vaksin dan menerapkan strategi pemulihan pertumbuhan negara-negara yang membutuhkan. Selain itu, Sri Mulyani juga mengatakan bahwa pihaknya membutuhkan pengawasan dan bimbingan keduanya dalam mengatasi beban utang negara yang terus meningkat.

Rupanya Sri Mulyani sudah mulai kewalahan dan terlihat tanda-tanda menyerah dalam menghadapi meroketnya utang luar negeri. Kementerian Keuangan mencatat posisi utang Indonesia mencapai Rp 6.361 triliun per akhir Februari 2021, naik 2,05 persen atau Rp128 triliun dari periode Januari 2021. Jika utang tersebut ditambah dengan utang BUMN, jumlah totalnya menjadi sekitar Rp 8.500 triliun. Wajar kalau banyak yang memperkirakan Jokowi nanti akan mewariskan utang Rp 10.000 Triliun jika sudah tidak menjadi Presiden lagi.

Jika sekarang Sri Mulyani meminta bantuan IMF untuk mengatasi utang luar negeri, harus siap-siap nanti seluruh kebijakan ekonomi Indonesia akan diatur dan dikendalikan lagi oleh IMF seperti tàhun 1998. Sebenarnya kehadiran IMF ini juga bisa memicu lengsernya Presiden Jokowi. Sebab Kejatuhan Presiden Soeharto bulan Mei 1998, juga dipicu oleh kebijakan ekonomi IMF yang harus dijalankan oleh pemerintah Indonesia waktu itu.

Pasca Indonesia dihantam krismon tahun 1997, pemerintah Indonesia meminta bantuan IMF dan akhirnya Soeharto terpaksa menandatangi Letter of Intent (LoI) dengan IMF. Sehingga seluruh kebijakan ekonomi Indonesia waktu itu diatur dan dikontrol IMF. Adalah Prof Dr Widjojo Nitisastro, penasehat ekonomi Presiden Soeharto yang waktu itu menyarankan agar Indonesia meminta bantuan IMF untuk mengatasi krismon. Sikap Widjojo ini didukung oleh salah seorang tokoh pers yang berpengaruh sehingga output pemberitaan medianya waktu itu ikut mendukung kehadiran IMF di Tanah Air.

Namun anehnya Menkeu Mar'ie Muhammad dan Gubernur Bank Indonesia Sudradjad Djiwandono, sama sekali tidak dilibatkan pada saat penandatangan LoI antara IMF dengan Presiden Indonesia Soeharto pada Januari 1998. Keduanya memang diundang untuk datang ke rumah kediaman Soeharto di Jalan Cendana, Jakarta, tetapi Menkeu dan Gubernur BI hanya menunggu di luar ruangan.

Saya waktu itu masih aktif sebagai wartawan di lapangan, menulis berita tentang masalah moneter dan keuangan. Sehari-hari biasa meliput kegiatan di Bank Indonesia maupun Depkeu. Soedrajad Djiwandono keberatan dan menunjukkan ekspresi tidak nyaman selama berada di kediaman rumah Soeharto karena dirinya sebagai pemegang otoritas moneter, tidak dilibatkan dalam perumusan poin-poin kesepakatan yang tertera dalam LoI IMF tersebut.

Awalnya pada 31 Oktober 1997, Indonesia menandatangani LoI yang pertama dengan IMF sebagai wujud kesepakatan IMF untuk membantu memulihkan Indonesia. Kemudian penandatangan LoI kedua dilakukab Presiden Soeharto pada 15 Januari 1998.

Betapapun pahitnya resep IMF itu, rezim Orde Baru awalnya menduga keterlibatan dan peran lembaga keuangan ini bakal menyelesaikan krismon. Tapi nyatanya ekonomi Indonesia justru semakin terpuruk dan krismon tidak kunjung berakhir. Sebaliknya krismon meluas menjadi krisis sosial dan krisis politik.

Ketika itu pertumbuhan ekonomi yang semula tumbuh 6 % menjadi minus 13 %. Sedangkan nilai tukar rupiah merosot tajam dari Rp 2.500 per dollar AS, merosot tajam hingga ke level Rp 13.000 per dollar AS. Di saat yang sama, daya beli masyarakat menurun, sementara pengangguran dan PHK terjadi dimana-mana.

Akibatnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah pun turun. Akhirnya Soeharto lengser dari kursi Presiden pada 22 Mei 1998. Sebelum Soeharto lengser, IMF merekomendasikan kenaikan harga BBM hingga 74 % persen dan minyak tanah sebesar 44 %. Setelah itu, sontak masyarakat melancarkan protes yang kemudian memicu terjadinya gelombang aksi demonstrasi mahasiswa di berbagai daerah di Indonesia. Mereka menuntut Soeharto lengser.

Sales Promotion Girl IMF

Sama seperti Prof Widjojo Nitisastro, kali ini Menkeu Sri Mulyani kembali meminta bantuan lembaga keuangan internasional. "Kami membutuhkan pengawasan dan bimbingan yang lebih besar dari Bank Dunia dan IMF untuk mengatasi masalah utang dan mengurangi tekanan yang meningkat," kata Sri Mulyani, Selasa (13/4/2021).

Ekonom Rizal Ramli mengkritik keras langkah Menkeu Sri Mulyani itu. Rizal menilai langkah tersebut justru bisa membawa Indonesia masuk ke dalam jurang krisis yang lebih dalam lagi. Bahkan Mantan Menko Maritim ini menyebut Sri Mulyani sebagai Sales Promotion Girl (SPG) IMF. "Dasar SPG Bank Dunia/IMF," kata Rizal Ramli dalam keterangan tertulis, Sabtu (17/4/2021).

Dia menilai perekonomian Indonesia akan semakin hancur, seperti tahun 1998. Rizal kembali mengingatkan sejarah hubungan Indonesia dengan IMF khususnya tahun 1998. "Saya dulu ekonom yang menentang masuknya IMF. Saya bilang keras-keras, Indonesia tidak butuh IMF. Krisis akan makin buruk kalau IMF diundang masuk ke Indonesia," katanya.

Hanya saja hal tersebut terlambat, Presiden Soeharto justru meneken perjanjian dengan IMF. Direktur Pelaksana IMF Michael Camdessus menyaksikan momen penandatanganan LoI tanggal 15 Januari 1998 itu sambil menyilangkan kedua lengan di dada. Sementara Soeharto membungkuk untuk menandatangani LoI. Inilah momen kekalahan Indonesia oleh IMF.

Kekhawatiran Rizal soal IMF bukan tanpa alasan. Dia melihat beberapa negara malah terperosok makin dalam. Benar saja, IMF segera mengeluarkan aneka kebijakan yang membuat situasi makin buruk. Begitu IMF masuk, disarankan menaikkan tingkat bunga bank dari 18 persen rata-rata jadi 80 persen. Akhirnya banyak perusahaan langsung bangkrut.

Selanjutnya, tàhun 1997 saat krismon IMF juga meminta pemerintah Indonesia untuk menutup 16 bank swasta nasional. Langkah itu menimbulkan polemik dan keresahan di kalangan masyarakat terutama para nasabah. Hal ini menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat pada perbankan Indonesia.

Para nasabah ramai-ramai menarik uang simpanan mereka di bank. Dari sini pemerintah terpaksa menyuntikkan dana BLBI sebesar US$ 80 miliar. Inilah awal malapetaka kasus korupsi triliunan rupiah yang belum tuntas sampai sekarang.

Kemudian Rizal membandingkan sikap Malaysia yang menolak IMF yang mengeluarkan kebijakan ketat soal moneter. Hasilnya mereka bisa dengan mudah keluar dari krisis.

Oleh karena itu saat menjadi Menko Perekonomian era Presiden Gus Dur, Rizal Ramli menolak secara tegas saran IMF. Menurutnya, cuma di era Gus Dur ada presiden tak menambah jumlah utang negara.

"Waktu saya masuk, minus 3 persen ekonominya. Kami putuskan tidak mengikuti kebijakan IMF. Kita jalan sendiri dengan segala kontroversinya," kata Rizal. Dia yakin kalaupun saat ini Indonesia menghadapi berbagai persoalan termasuk masalah ekonomi, akan ada sosok pemimpin hebat yang bisa mengatasi persoalan tersebut. Masa depan Indonesia tergantung pada pemimpinnya. Hanya Ada dua tipe pemimpin, yakni pemimpin hebat dan memble.

Pemimpin memble tidak akan mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan masalah. Sebaliknya membuat masalah yang tadinya sederhana menjadi ruwet. Presiden paling hebat di Amerika namanya Franklin Delano Roosevelt Waktu dia jadi presiden, ekonomi Amerika mengalami depresi berat.

Kinerja ekonomi Amerika pada waktu itu juga hanya nomor 7 di dunia, tapi Franklin Roosevelt karena kepemimpinannya dia mampu membalikkan ekonomi Amerika. Perekonomian tumbuh pesat, lapangan pekerjaan tersedia dan akhirnya ekonomi Amerika naik dari nomor 7 jadi nomor 1.

Roosevelt termasuk pemimpin yang kuat meski kakinya diserang penyakit polio. Para menterinya yang bekerja lembek dan tidak mampu mengatasi masalah yang ada, diminta mundur. Akhirnya, Roosevelt bisa bekerjasama dengan bawahannya yang termasuk orang-orang baik, tangguh, yang kemudian membuat Amerika jadi negara adidaya.

Nah, apakah Jokowi termasuk tipe pemimpin hebat atau memble ? Sebenarnya kalau memang sudah tidak sanggup lagi menjadi Presiden, bisa saja Jokowi mengundurkan diri. Tidak perlu pura-pura meminta Menkeu Sri Mulyani mengundang IMF datang ke Indonesia untuk mengatasi meroketnya utang luar negeri. ***

Penulis adalah Wartawan Senior FNN.co.id.

3765

Related Post