Kemerdekaan Palestina di Depan Mata: Amerika dan Zionis Israel Lenyap

Oleh Faisal Sallatalohy - Mahasiswa S3 Hukum Trisakti 

SERANGAN dadakan Hamas pada 7 Oktober kemarin, makin memperlemah eksistenai Israel, Amerika dan seluruh negara Arab yg masuk dalam jebakan "Abraham Accords" hasil inovasi Donald Trump dan dilanjutkan Joe Biden. 

Abraham Accords adalah proyek mutakhir Amerika mendorong perluasan normalisasi antara negara-negara Arab dengan Israel sejak 2020 lalu. Proyek ini dipromosikan sebagai upaya diplomatik demi mendorong perdamaian di Timur Tengah, mencegah arogansi Israel terhadap palestina, serta mengakhiri konflik keduanya lewat gagas Two State Sollution 

Namun apa yg terjadi sejak perjanjian itu digulirkan ? Israel terus saja melakukan agresi ke Palestina, makin arogan mencaplok wilayah di Tepi Barat dan membangun pemukiman ilegal. 

Hal ini menunjukkan, Abraham Accords tidak lebih dari sebuah transaksi bisnis belaka. Tak satu pun dari kesepakatan ini mengubah situasi di Timur Tengah, khususnya di Palestina. 

Israel terus melakukan pembersihan etnis sistematis terhadap warga Palestina. Saat ini, tanah yg dimiliki Palestina hanya tersisah 18% dari luas wilayah hasil resolusi PBB 1948.  

Dibantu undang-undang polisi dan negara bagian yang mendiskriminasi non-Yahudi, pemerintah Israel ngotot mengusir warga Gaza ke daerah Sinai lalu masuk teritori Mesir. Sementara Warga Yerusalem dan Tepi Barat dipaksa berpindah ke wilayah Dataran Tinggi Golan lalu masuk teritori Yordania. 

Tujuan akhirnya, Palestina harus kosong dari penduduk asli. Sepenuhnya dikuasai otoritas Israel. 

Artinya, Abraham Accords memberikan kesan pada Israel bahwa mereka bisa melanjutkan apapun tanpa mempedulikan hak-hak warga Palestina. Abraham Accords justru mendorong pihak Israel semakin berani melakukan segala hal yang dikehendaki. 

Berbekal dukungan penuh dari Amerika yg memediasi normalisasi, pihak Israel bisa beramah-tamah dengan para tetangga Arab untuk mempermudah ambisinya menguasai total wilayah Palestina. 

Serangan Hamas pada 7 Oktober kemarin, menjadi pukulan telak bagi Amerika dan Seluruh negara Arab yang telah menormalisasi hubungan diplomatik dengan Israel. Terutama Saudi Arabia yang dalam waktu dekat ini akan masuk sebagai salah satu anggota Abraham Accords menyusul UEA, Bahrain, Qatar, Maroko dan Sudan. 

Serangan Hamas menjadi peringatan serius bagi negara-negara Arab yang menjalin hubungan diplomatik dengan Israel, termasuk Arab Saudi. Bahwa rakyat Palestina tidak rela menjadi tumbal atas jalinan kerja sama transaksional yang diinisiasi Amerika. Bahwa rakyat Palestina akan terus bertahan dan melawan. Cita-cita kemerdekaan masih hidup dan menyala. 

Dalam sepekan, Serangan Hamas telah membuat kelompok ini mendulang simpati mayoritas penduduk dunia serta mendapat rasa hormat yg besar di kalangan warga Palestina di Tepi Barat.  

Serangan Hamas mewakili Indeks Opini Arab Center terakhir tahun 2019-2020 yg dilakukan di 13 negara Arab, mewakili sekitar 300 juta orang. Hasilnya, 88% responden menolak gagasan normalisasi hubungan dengan Israel. 

Sejalan dengan hasil jejak pendapat Washington Institute for Near East Policy pada bulan Maret 2022, bahwa 71% warga UEA, 76% warga Bahrain, 75% Warga Saudi, Mesir dan Yordania masing-masing 84% menolak normalisasi hubungan diplomatik dengan Israel. 

Mayoritas masyarakat Arab menginginkan kemerdekaan warga Palestina. Konsekuensinya, Israel wajib dilenyapkan. Kembalikan keadaan Palestina ke Era sebelum Tahun 1948. Semua agama hidup rukun dan damai di tanah warisan Nabi Ibrahim AS. Teritori Zionis Israel, wajib dihapuskan. 

Kelemahan dan kegagalan Abraham Accords sebagai model perluasan normalisasi Arab-Israel yang digagas Amerika untuk tetap menjamin penjajahan Israel terhadap Palestina, makin menemui kenyataan. 

Pertama, kurangnya nilai Intrinsik menjadikan Kesepakatan Abraham tidak memiliki pencapaian inti yang substantif. Selain negara anggota Abraham Accords, dua negara Arab lainnya, Mesir dan Yordania, telah menjalin hubungan formal dengan Israel masing-masing selama 43 tahun dan 29 tahun. 

Lebih lanjut, Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dan Israel telah memiliki perjanjian selama 30 tahun, dan Otoritas Palestina bekerja dalam koordinasi harian dengan Israel selama hampir seluruh periode tersebut. 

Namun inti tujuan terhadap kemerdekaan Palestina tidak pernah tercapai. Israel terus saja arogan merampas tanah dan melakukan pembersihan etnis. Artinya, upaya diplomasi lewat berbagai perjanjian dan kerja sama perdamaian hanyalah omong kosong. 

Seluruh kerja sama yg dibangun hanya bertujuan untuk membangun koalisi antara Israel dan negara arab untuk saling bertukar kepentingan, bukan membangun perdamaian dan kemerdekaan Palestina. 

Kedua, Abraham Accords terlalu bergantung pada kekuatan Amerika. Padahal, sejalan dengan perubahan dinamika politik nasional Amerika yg berpengaruhi terhadap kebijakan politik luar negerinya saat ini, menjadikan Amerika sebagai mitra yg tidak dapat diandalkan. 

Amerika yg menjadi perantara diplomasi Arab-Israel dalam model Abraham Accords, menyediakan konsesi material kepada negara Arab. Mulai dari peralatan militer mutakhir untuk UEA, pengakuan diplomatik atas klaim Maroko di Sahara, serta menghapus sebutan Sudan sebagai pendukung terorisme demi mendapat jaminan mobilisasi modal global. Termasuk janji pengembangan pariwisata dan kemanan bagi Saudi yg direncanakan akan menormalisasi hubungan dengan Israel di Akhir 2023 ini. 

Semua konsesi dijaminkan Amerika kepada negara-Arab sebagai imbalan untuk menjalin hubungan dengan Israel. sementara Israel hampir merupakan peserta pasif. 

Ketergantungan struktural perjanjian pada Amerika, sangat problematis karena masyarakat Amerika tidak serta merta merasakan keuntungan langsung dari konsesi yang dibuat atas nama Israel. Terutama jika militer digunakan untuk melindungi kepentingan pihak ketiga dan bukannya melindungi kepentingan Amerika.  

Penolakan tersebut tercermin dalam kebijakan tiga presiden sebelumnya. Semuanya berupaya melakukan penghematan di Jazirah Arab, sebagaimana yg terjadi di Afghanistan, Irak dan Suriah. 

Dengan polarisasi dan disfungsi politik dalam negeri Amerika yang semakin merembes ke dalam kebijakan luar negerinya, semakin sulit bagi mitra atau sekutu Amerika untuk mempercayai kesinambungan sikap Amerika di luar negeri dari satu pemerintahan ke pemerintahan berikutnya. 

Kelemahan tersebut, kini diperhadapkan dengan Dukungan Kuat warga Arab terhadap Perjuangan Palestina. sentimen ini sudah tertanam erat dalam tatanan budaya dan politik masyarakat Arab serta umat Islam sedunia. Dukungan ini tidak akan berubah sampai kapanpun.  

Sebaliknya, antipati dan ketidakpercayaan terhadap Israel berakar kuat. Penindasan, pembantaian, perampasan hak yang dilakukan Israel terhadap warga Palestina yg terus dilakukan, semakin menyemai kebencian masyarakat Arab bahkan populasi dunia terhadap Israel. 

Indeks Opini warga Arab menunjukkan 88% masyarakat di kawasan percaya bahwa “perjuangan Palestina menjadi perhatian semua orang Arab dan bukan hanya rakyat Palestina saja. 

Hal ini, perlahan menjadi pukulan telak bagi pemerintahan negara-negara Arab untuk terus bertahan dalam diplomasi dengan Israel. Masyarakat Arab di Timur Tengah, terus mendesak pemerintahanya untuk berhenti menjalin hubungan baik serta kerja sama diplomatik dalam bentuk apapun dengan Israel. Dalam artian, menjaga hubungan yg hangat dan terbuka dengan Israel akan terus-menerus menguras reputasi dan citra pemerintahan yg sedang melakukan normalisasi, baik di dalam negeri maupun secara regional dengan Israel. 

Kelemahan berikutnya terkait hegemoni Amerika yg mulai meredup pasca Arab Spring dan kegigihan era Perjanjian Oslo. Kenyataan menunjukan, periode supremasi Amerika di Timur Tengah diramalkan akan segera berakhir. Posisinya semakin terpuruk dipukul rival utamanya: Tiongkok, Rusia dan Iran. Kekuasaan unipolar Amerika berhasil dipecah menuju era baru multipolar. 

Meskipun negara-negara Teluk masih akan memandang Amerika sebagai mitra, tapi rasa hormat mereka telah hilang. Terlihat dari berbagai cara. Paling mutakhir, negara Arab kompak mengabaikan posisi AS dalam perang di Ukraina, berkolaborasi dengan Rusia dalam memanipulasi pasar energi melalui OPEC+. Termasuk sikap Saudi yg mendekatkan diri ke Tiongkok sebagai sekutu strategis serta menormalisasi hubungan dengan Suriah dan Iran. 

Bashar al-Assad menentang tuntutan Amerika dan menedang Amerika dari proses perdamaian Suriah berdasarkan arahan Rusia. Tren ini tidak memberikan pertanda baik bagi proyek normalisasi negara-negara Arab dengan Israel yg dipelopori Amerika. 

Mengingat kelemahan-kelemahan ini, tidak mengherankan jika tidak ada penambahan baru dalam proyek normalisasi Israel-Arab. Negara terakhir yg diprediksikan bergabung, Saudi Arabia terpinggirkan dan terancam batal akibat serangan Hamas. 

Hal ini berdampak serius terhadap pelemahan lebih lanjut bagi Amerika untuk memperluas koalisi lewat tangan Israel untuk tetap menjadi aktor strategis di Timur Tengah. 

Catatan pentingnya, kelemahan Amerika dan Israel, saat ini dimanfaatkan dengan baik oleh rival terkuatnya: Cina, Rusia dan Iran untuk memperluas kemitraan strategis di Timur Tengah. 

Kabar terkahir, Amerika tingkatkan bantuan militer ke Israel kepung Hamas di Palestina. Hamas dikuatkan Hizbullah (Iran) yg konsisten mendukungnya sejak menang pemilu 2006 lalu. 

Di belakang Iran ada Rusia. Ini perang besar yg eskalasinya sulit diredakan. Boleh jadi menjadi awal kejatuhan Amerika dan lenyapnya Zionis Israel. 

Di sisi lain, serangan Hamas pada 7 Oktober lalu telah menghambat perluasan normalisasi Arab-Israel. Memicu kemarahan hebat Joe Biden hingga mengutuk Hamas dengan sebutan Teroris. Bahkan Israel menyebut Hamas dan warga Palestina sebagai "H**w*n.   

Artinya, kecemasan Amerika dan Israel menjadi kenyataan. Bahwa serangan Hamas yg berbuntut eskalasi perang hebat, dalam waktu singkat, berhasil merusak perluasan normalisasi Arab-Israel. 

Di satu sisi, hal ini mendatangkan keuntungan bagi Rival Utama Amerika dan Israel: bahwa normalisasi justru berbalil mendekati Rusia, China dan Iran. 

Semoga ini menjadi awal lenyapnya pengaruh Amerika dan Israel di Timur Tengah. Jika itu terjadi, kemerdekaan rakyat Palestina di depan mata. (*)

485

Related Post