Tidak Pernah Ada Pelanggaran HAM di Indonesia
Jakarta, FNN - Presiden Jokowi telah mengeluarkan Keputusan Presiden No. 17 tahun 2022 yang berisi akan menyelesaikan 12 pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi di Indonesia sejak tahun 1965.
Banyak pihak yang menyayangkan keluarnya Kepres tersebut, sebab tidak ada urgensinya. Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) bekerjasama dengan redaksi Forum News Network (FNN) mengadakan diskusi publik dengan tema "Keputusan Presiden No. 22 tahun 2022: Menyelesaikan atau Menambah Masalah," Kamis (19/01/2023) di Jakarta.
Jenderal TNI (Purn.) Gatot Nurmantyo menegaskan bahwa tahun 1961-1965 adalah limbah berakhirnya perang dingin.
Menurut Gatot, peristiwa 1965 bukan pelanggaran HAM. Atas peristiwa itu Presiden Jokowi diminta minta maaf. Padahal dulu saat dekat dengan pemerintahan, PKI membunuh para kyai.
"Sekarang diminta meminta maaf, siapa alat negaranya? Ini hanya bisa dilakukan oleh ABRI. Pelanggaran HAM bukan PKI bukan pula umat Islam. Arahnya adalah ABRI (TNI Polri). Ini akan berakibat lumpuh. ABRI akan dikucilkan dalam percaturan internasional. Anak anak sekarang sampai usia 43 buta sejarah," papar Gatot.
Ketua Presidium KAMI itu menyayangkan Presiden yang begitu mudah mengeluarkan Kepres tentang pelanggaran HAM. Ia meminta para pembisik Jokowi agar paham sejarah.
"Bukankah rekonsiliasi alami sudah terjadi. Semua anak-anak PKi sekarang sudah mendapatkan hak yang sama, baik di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pertahanan. Mereka sudah mendapatkan hak sama rata. Dan masyarakat tidak mempersoalkannya. Mengapa sekarang diungkit-ungkit lagi," tegasnya.
Jika Kepres ini dijalankan, kata Gatot maka yang akan terkena adalah keluarga Bung Karno.
"Apa salah Bung Karno? Sebagai proklamator, bapak bangsa, kenapa diungkit-ungkit ungkit?," tanyanya heran.
Gatot meminta agar pembisik Jokowi sadar. "Jangan sampai sejarah kelam kembali terjadi di Indonesia. Banjir darah akan terulang kembali. Mari bergandengan tangan maju ke depan," tegasnya.
Hal yang sama dikemukakan oleh Dosen Ilmu Politik SKSG UI Dr. Mulyadi, S.Sos bahwa dalam pandangan ilmu politik, tidak pernah terjadi pelanggaran HAM di Indonesia, yang terjadi adalah pemberontakan masyarakat yang menuntut keadilan dari pemerintah.
"Dalam politik, sejarah adalah masa lalu, sedangkan dalam sejarah, politik itu adalah masa depan," tegasnya.
Peristiwa Kahar Muzakar, kata Mulyadi bukan pemberontak, tapi protes atas distribusi kekuasaan yang tidak adil.
"Kepres HAM ini jelas akan semakin menambah masalah," tambahnya.
Komunisme, kata Mulyadi tidak akan pernah tidur. "Mereka paling rapi dan bagus melakukan gerakan revolusi. Mereka selalu mencari waktu dan tempat untuk melakukan pembalasan atas peristiwa masa lalu," tegasnya.
Mulyadi menegaskan bahwa setelah Kepres, Jokowi akan mengeluarkan
Inpres khusus untuk menindaklanjuti 12 pelanggaran HAM. Presiden akan ke Lampung dan Aceh juga mengumpulkan korban di LN. Jokowi akan membentuk Satgassus untuk penyelesaian Kepres ini.
"Kejaksaan akan koordinasi dengan Komnasham. Di sini akan terjadi salah tafsir. Nanti semua akan mengaku sebagai korban, ibarat borok ditusuk jarum," tegasnya.
Mulyadi mengetahui peristiwa 1965 bukan pelanggaran HAM, tapi konflik politik horizontal yang harus diselesaikan dengan mekanisme damai.
Semua konflik di Indonesia adalah konflik politik horisontal. Syarat konflik politik ada tiga yakni, ada dua kelompok yang berkonfrontasi, ada kebijakan politik yang merugikan, dan harus ada mediator.
Dalam kasus 1965, lanjut Mulyadi pemerintah tidak bisa menjadi mediator karena dia yang mengeluarkan kebijakan.
Mulyadi menegaskan kalau Kepres ini dipaksakan, maka akan jadi masalah karena banyak mengaku sebagai korban.
"Nanti PKI akan minta seluruh sejarah diubah. Minta dirikan monumen sebagai bukti kekerasan. Akan banyak ilmuwan telepon koin (pencari keuntungan) dibayar untuk memulihkan nama baik komunis," tegasnya.
Yang perlu kita lakukan sekarang kata Mulyadi adalah bahwa bangsa ini harus bisa memperbaiki politik pangan, politik maritim, politik papan.
"Kita harus desain ke arah sana, bukan menjadi korban kapitalisme dan komunisme," paparnya.
Sementara Prof Dr. Hafid Abbas, Ketua/Anggota Komnas HAM RI 2012-2017 menyatakan bahwa Kepres HAM ini merupakan produk non-yudisial. Dari 201 negara anggota PBB ada 52 negara yang punya mekanisme non-yudisial.
Menurut Abbas, sebetulnya gampang menyelesaikan pelanggaran HAM.
"Yang penting ada bukti dan ada yang mengaku lalu minta maaf. Lalu ada amnesty. Tidak bisa tiba tiba. Disiarkan setiap hari seperti di Afrika Selatan," tegasnya.
Anhar Gonggong, ahli sejarawan menyatakan bahwa kemerdekaan ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Yang terjadi justru menyedihkan.
Anhar pernah mempertanyakan pembunuhan 40 ribu orang dalam peristiwa Westerling. Tetapi Belanda justru balik bertanya, berapa orang yang dibunuh pasca kemerdekaan oleh Soekarno dan Soeharto.
Soekarno saat punya kekuasaan tahun 1960, ia teringat ide tahun 1926 yang ingin menyatukan nasional, agama dan komunisme yang tahun 1961 dirumuskan dalam Nasakom.
"Saat itu ruang bagi PKI sangat terbuka. Indoktrinasi manipol usdek berjalan secara masif. PKI menggunakan kesempatan terbuka dengan Nasakom. Kesalahan strategi PKi yakni mengusulkan angkatan kelima, dengan mempersenjatai buruh dan tani. Tapi di-cut oleh A Yani karena ABRI masih kuat," tegasnya.
Bicara PKI, kata Anhar bukan hanya tahun 1965 tetapi harus dari 1961 agar lebih komprehensif yang bisa diselesaikan dengan semangat Pancasila. Sayang Pancasila jaya di mulut.
"Tidak ada negara komunis yang mendapatkan kekuasaan tanpa kekerasan. Lenin butuh 500 ribu yang dibunuh untuk berkuasa," pungkasnya (sws)