KESEPAKATAN ISRAEL-HAMAS: Pergi ke Bulan, atau ke "Neraka"!
Oleh Sabpri Piliang | Wartawan Senior
"KITA memilih pergi ke Bulan"! Presiden AS John F. Kennedy (JFK) berujar, suatu hari. Setelah terpilih dan dilantik sebagai Presiden AS ke-35 (20 Januari 1961).
Tak sampai satu dasawarsa. Dari Kennedy Space Center, tepatnya 8,5 tahun kemudian (1969). Pesawat Apollo 11 mendarat ke Bulan. Kata-kata seorang Presiden, dan janjinya tertepati.
"Bersepakatlah (gencatan senjata)! Atau neraka akan terjadi di Timur Tengah. Jika perdamaian tidak tercapai, sebelum pelantikan Presiden" (20 Januari 2025). Kata-kata Presiden terpilih AS ke-47 (Donald Trump), akan tertepati? Seperti memperingatkan, dan mengancam.
Hari itu, hari "Sabat". Hari dimana tidak ada yang bekerja ke kantor, menanam pohon, menggembalakan ternak.
Dalam agama Yahudi, itu adalah hari istirahat, dan berasal dari bahasa 'ibrani' (Sabbath).
Tergopoh-gopoh. PM Benyamin Netanyahu "melanggar" ketentuan hari istirahatnya. Di bawah protes stafnya, pemimpin Partai Likud ini masuk kantor (bekerja). Menerima Utusan Presiden terpilih Donald Trump, Steve Witkoff, pastinya ada pesan dari Donald Trump.
Sebegitu pentingkah! Menerima seorang Utusan Presiden yang belum dilantik? Tak punya jabatan kenegaraan.
Hanya sekali! Catat! Hanya sekali pertemuan, Netanyahu langsung memerintahkan Kepala Mossad (David Barnea), dan Kepala Shin Bet (Ronen Bar), berangkat bertemu perunding Qatar, Mesir, dan AS.
Dalam hitungan jam, ter-"declared", kesepakatan gencatan senjata, dalam klausul yang sama seperti draf Mei 2024. Hampir semua pihak: Mesir, Qatar, AS, Hamas, dan Israel menyebutkan, perundingan hampir mencapai kesepakatan.
Semua orang terkejut. Ini ajaib. Bahkan, PM Benyamin Netanyahu, setelahnya menyempatkan menelepon Donald Trump. Untuk mengucapkan terima kasih. Di luar nalar saya!
Sebegitu kukuhnya Netanyahu. Alot menolak klausul Hamas, sejak Mei 2024. Harga perdamaian yang dituntut Hamas: tarik semua pasukan IDF dari Gaza, mundur dari koridor Philadelphia sepanjang 14 kilometer (Gaza Selatan), juga Poros Netzarim selebar 4 km (Gaza Tengah). Israel tak pernah setuju.
Setahunan Menlu AS Antony J. Blinken bolak-balik Washington-Qatar-Mesir, untuk mengupayakan titik temu Israel-Hamas. Hasilnya nihil. Israel semakin ganas membom Gaza, secara acak (random). Korban tak terkirakan.
Semua diabaikan! Israel tak peduli: PBB, sanksi kejahatan perang di Den Haag, himbauan badan pangan dunia, dan anggota NATO. Dianggap remeh!
Target Operasi (TO) Israel adalah mengusir Hamas (mengeliminasi) dari Gaza. Bila itu telah tercapai, Netanyahu baru mau membuat kesepakatan perdamaian permanen dengan Palestina. Lantas, mengapa tiba-tiba Israel setuju dengan klausul tersebut?
Bahkan, selepas pertemuannya dengan Steve Witkoff. Netanyahu menelepon terlebih dahulu Donald Trump. Bukan Joe Biden selaku ex-officio Presiden AS.
Sekali lagi! Kata-katanya. Terima kasih atas bantuan Trump, dalam membantu Israel mengakhiri penderitaan puluhan sandera, dan keluarga mereka. Bagi saya sebagai pengamat, narasi Netanyahu ini mengejutkan!
Media ternama Inggris "The Guardian", bahkan menyebut. Utusan Donald Trump (David Witkoff), mempengaruhi PM Benyamin Netanyahu, hanya dalam sekali pertemuan saja. Dibanding dengan pertemuan-pertemuan dengan Biden (Utusan), sepanjang tahun (berkali-kali). Hasilnya minimalis.
Apa yang terjadi setelah 15 bulan perang berdarah berlangsung di Gaza (sejak 7 Oktober 2023)? Semua orang frustrasi. Rasanya "moon shot" (jauh sekali) untuk menggapai penghentian pembantaian rakyat Gaza.
Tak ada yang bisa berbuat, apalagi mencegah Israel meluluhlantakkan perisai "Tanah Gaza". Tak ada penduduk yang mau pergi keluar (mengosongkan) Gaza. Meski beresiko kematian. Seperti yang diharapkan Israel.
Bahkan, dalam dialog beberapa keluarga yang kehilangan anggotanya menyebut. Kematian adalah satu "keberuntungan". Saking "kejam" dan rasa sakit tak terperikan yang mereka alami.
Mengapa bisa seperti ini daya tahan rakyat Gaza? Jim Collins, seorang penulis. Dalam bukunya "Good To Great & Built To Last mengatakan satu idiom yang disebut BHAG, yaitu:
Sebuah sasaran yang besar (big), berbahaya dan mengerikan (hairy), serta menuntut keberanian (audacious), telah dilalui. Rakyat Gaza khususnya, dan Palestina umumnya sudah melewati fase yang sangat sulit dan kini telah datang "moonlight". Sinar Bulan yang mencerahkan.
Pertanyaan yang muncul sekarang. Siapa yang berperan melunakkan Israel? Mengapa PM Israel menempuh "bahaya", yaitu bakal ditinggalkan koalisi garis kerasnya? Neraka Timur Tengah, lebih menakutkan Netanyahu?
Tekanan Donald Trump lewat Steve Witkoff, jelas lebih dominan terhadap Netanyahu. Trump tanpa "basa basi", telah memaksa Netanyahu menerima klausul dan konsesi Hamas menyangkut: Koridor Philadelphia, Netzarim, dan keluarnya Israel dari Gaza.
Israel paham karakter Donald Trump yang ingin perang "gila" ('unhinged war') ini, diakhiri lebih cepat. Israel memahami, cara beroperasi Trump, sangat berbeda dengan Biden. Satu lagi, Trump akan menjabat Presiden kurun empat tahun ke depan.
Terlepas dari itu, Israel juga telah letih. Perekonomian hancur, pariwisata tak bergerak. Yang juga penting, Hamas adalah sebuah Ideologi yang tak bisa diberangus. Israel akhirnya memahami.
Semoga gencatan senjata Israel-Hamas yang akan dimulai Minggu (19 Januari) lusa, tanpa halangan. Persetujuan Knesset (Parlemen Israel) dan pemungutan suara Kabinet Israel hari ini, adalah tantangan yang sulit. Namun, optimistis dunia terus membuncah.
Keduanya (Israel-Palestina) bisa hidup berdampingan, tanpa perlu lagi darah tertumpah. (***).