Keterbelahan Yang Makin Dalam
Jakarta FNN - Kamis (07/01). Sangat menarik mencermati sinyalemen seorang politisi tentang “jenderal tua” yang dia yakini ikut memperkeruh situasi politik Indonesia saat ini. Seolah-olah, menurut politisi itu, pemerintah Jokowi terlalu banyak mendengarkan masukan dari para “pemain tua” dalam mengambil kebijakan, khususnya kebijakan politik.
Kalau dilihat sejak awal pemerintahan periode pertama 2014-2019, ada benarnya bahwa kebijakan politik Presiden Jokowi terasa sangat dipengaruhi oleh cara berpikir para politisi lama yang militeristik. Padahal, Jokowi semula diharapkan akan menjadi katalisator menuju Indonesia yang lebih demokratis dan lebih futuristik. Maksud futuristik bukanlah konsep angan-angan, melainkan konsep yang lebih tajam dalam bervisi masa depan.
Mengapa Jokowi diharapkan menjadi figur katalisator? Karena ia mewarisi dan seharusnya melanjutkan periode transisi demokratis dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). SBY berperan sangat besar dalam membangun pondasi “civil society” yang akan mendasari perubahan total menuju sistem demokrasi yang relatif bersih dari kesewenangan dan ketidakadilan.
Ternyata itu tidak terjadi. Jokowi terjebak ke dalam “cara lama” dalam menyelesaikan masalah-masalah politik. Dia malah memundurkan upaya keras SBY untuk mewujudkan pengelolaan negara tanpa kekerasan politik dan politik kekerasan.
Tidak begitu jelas di kilometer berapa Jokowi terjerembab ke dalam jebakan “cara lama” itu. Bisa jadi di kilometer 50. Wallahu a’lam.
Akan tetapi, sangat jelas bahwa Jokowi membalikkan pondasi “civil society” yang dibangun SBY selama 10 tahun memerintah. Presiden Jokowi yang “dicintai” rakyat karena kelihatannya merakyat itu, mengajak masuk para “pemain tua” yang dirujuk sebagai “jenderal tua” itu. Jokowi pun mendengarkan mereka. Tentang cara menghadapi elemen bangsa yang telah didemonisasikan sejak lama sebagai pengganggu.
Dalam konsep politik kekerasan si “jenderal tua” alias “pemain tua”, umat Islam garis lurus harus dilihat sebagai musuh penguasa. Jokowi menerima dan mengadopsi thesis “sikat habis” yang dibangun dan dijabarkan oleh para “pemain tua” tempo hari vis-a-vis umat Islam garis lurus yang distigmakan sebagai pengganggu itu.
Jebakan “jenderal tua” menjadi sempurna ketika Jokowi secara implisit menyetujui pemberangusan alias “sikat habis” FPI dan semua yang terkait dengan Habib Rizieq Shihab (HRS). Tindakan penguasa dalam menjabarkan “sikat habis” itu sangat keras beraroma konsep kekerasan politik “jenderal tua”.
Inilah yang memicu politisi yang disebut pada bagian awal tadi mencuitkan kegerahannya. Sebab, politik “sikat habis” pasti akan meninggalkan luka-luka berat di kalangan umat Islam. Bagi para “pemain tua” mungkin itu tidak masalah. Karena selama ini mereka bisa selalu lolos dari jerat hukum. Akan tetapi, politik kekerasan tidak hanya beraspek hukum yang bisa dikendalikan oleh para “pemain tua” di masa lampau. Politik kekerasan juga meninggalkan kepahitan yang boleh jadi tidak mudah untuk dihilangkan dari memori perasaan dan sistem ‘lobus frontalis’ umat Islam.
Artinya, politik kekerasan yang diterapkan oleh para penguasa terhadap elemen yang seolah dijadikan musuh abadi itu, tidak mungkin bisa terus-menerus diredam dengan memompakan kesabaran ke dalam dada umat. Sebab, secara natural, semua hal yang bergerak pasti akan menemukan titik klimaks.
Perasaan, termasuk perasaan disakiti atau sakit hati, adalah benda yang bergerak. Ia tidak statis. Sebaliknya bisa menjadi sangat dinamis. Bisa bergolak menjadi sesuatu yang memiliki daya ledak yang sangat kuat. Ingat, kata “dynamic” (dinamis) dan “dynamite” (bahan peledak) masih berada dalam satu rumpun. Jika keduanya berbaur terlalu dekat, dikhawatirkan bisa menimbulkan persoalan besar.
Alhamdulillah, umat Islam sangat elegan. Dalam suasana penindasan yang sangat ekstrem pun masih bisa mengendalikan diri. Ini yang membuat kita pantas bersyukur. Tetapi, siapa pun yang masih berpredikat manusia, pastilah terikat dengan aksioma titik klimaks tadi. Kita semua berharap agar hal itu tidak menjelma.
Sangat mungkin klimaks itu bisa terhindarkan. Akan tetapi, suasana yang bisa kita rasakan saat ini adalah keterbelahan bangsa yang semakin dalam. Jika dibiarkan terus keterbelahan bangsa ini, tidak menutup kemungkinan terjadinya perpecahan bangsa, sesuatu yang tidak kita inginkan terjadi.
Artinya, biarlah penghinaan, penistaan, penindasan, ketidakadilan, dan lain-lainnya berlangsung tanpa henti, asalkan persatuan semu yang diinginkan oleh para penguasa saat ini bisa terjaga.**