KLB Moeldoko Mengonfirmasi Penanganan Pandemi Covid19 Hanya Guyon?

SATGAS penanganan pandemi Covid19 bisa dicap tak serius menangani wabah. Ketidakadilan penanganan pelanggaran protokol kesehatan kerap ditemukan di lapangan.

Kejadian paling anyar adalah Kongres Luar Biasa Partai Demokrat di Medan Sumatera Utara. KLB abal-abal yang ujung-ujungnya melambungkan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko ke pucuk pimpinan partai tersebut, tak hanya menyesakkan dada SBY maupun AHY, tetapi juga merobek-robek perasaan kader partai berlambang bintang mercy. Tak hanya itu, jutaan orang yang masih menjunjung tinggi etika dan moral politik juga ikut geram. God father buzzer nasional itu distempel sebagai pelakor, perebut lahan orang.

Lebih geram lagi ketika polisi tidak sudi membubarkan acara pembegalan pimpinan Partai Demokrat atas laporan anggota Komisi III DPR RI Hinca Panjaitan yang meyakini acara tersebut melanggar protokol kesehatan. Bahkan tidak ada izinnya. Hinca mengaku sudah mengecek langsung ke Kapolri bahwa penyelenggaraan KLB itu ilegal.

Sebelumnya polisi juga ogah-ogahan menindaklanjuti kerumunan massa yang dilakukan selebgram Raffi Ahmad dan mantan penista al Quran Ahok usai menghadiri pesta mewah ulang tahun pengusaha dan pembalap, Ricardo Gelael pada Rabu malam, 13 Januari 2021 di Jakarta. Penyidik Polda Metro Jaya menghentikan penyelidikan kasus kerumunan itu. Polisi berkilah jumlah tamu yang hadir hanya 18 orang dengan luas ruangan yang cukup menampung 200 orang. Selain itu, para tamu yang datang telah melakukan test swab dan hasilnya negatif Covid-19. Kata polisi, para tamu yang datang hadir secara spontanitas alias tanpa undangan.

Yang paling fenomenal adalah kerumunan massa yang dilakukan Presiden Jokowi saat kunjungan kerja ke Maumere, Nusa Tenggara Timur pada 23 Februari 2021 lalu. Loyalis Jokowi berkerumun tanpa saling jaga jarak, berjejer di pinggir jalan menyambut idolanya yang melintas dalam iring-iringan kendaraan. Jokowi yang saat itu hendak menuju lokasi peresmian Bendungan Napun Gete sempat keluar dari atap mobil dan melambaikan tangan ke kerumunan warga. Pemujanya histeris.

Profesor Jimmly Asshidiqie, mantan ketua Mahkamah Konstitusi menyarankan agar kasus Jokowi di Maumere ini dibawa ke DPR, MK dan MPR. Jokowi sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan telah melanggar UU Protokol Kesehatan. Seorang presiden tidak boleh dan dibiarkan melanggar UU. Negara akan rusak jika tindakan pelanggaran UU oleh presiden dibiarkan.

Saking kesalnya atas leletnya pekerjaan polisi, akhirnya Koalisi Masyarakat Anti Ketidakadilan melaporkan Jokowi ke Bareskrim Polri atas dugaan pelanggaran protokol kesehatan. Namun, mereka kecewa lantaran petugas Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Bareskrim Polri tidak mau menerbitkan surat laporan polisi terkait pengaduannya tersebut.

Hampir semua kasus pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan rezim dan pemujanya, tak pernah diproses. Ada saja alibi untuk menolaknya. Berbeda jika yang melakukan rakyat kecil, apalagi oposisi.

Di Bali, Tim gabungan Satpol PP membubarkan sebuah warung makan di Denpasar karena melanggar ketentuan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat).

Di Kendangsari, Surabaya seorang warga bernama Widodo menggelar resepsi pernikahan di halaman Masjid Baiturrozaq SIER Surabaya. Sebelum tamu undangan datang, acara dibubarkan oleh petugas karena melanggar Perwali Nomor 2 tahun 2021 yang ingin menegakkan 5 M.

Di desa Ngargoyoso, Tasikmadu, Mojogedang, Karanganyar Jawa Tengah, Satpol PP membubarkan acara hajatan dan penyelenggaranya dipolisikan karena melanggar Instruksi Bupati Nomor 183/3 Tahun 2021 tentang PPKM.

Apa bedanya kerumunan massa yang terjadi di Bali, Surabaya, dan Karanganyar dengan kerumunan Rafii Ahmad di Jakarta, Jokowi di Maumere, dan Moeldoko di Medan? Mengapa beda perlakuan?

Mengapa kerumunan massa yang dilakukan pendukung HRS harus memakan 6 korban nyawa. Mengapa pula HRS harus dipenjara, rekening dibekukan, dan pengurusnya dikerangkeng. Padahal HRS sudah membayar denda Rp50 juta. Di mana letak keadilan bangsa ini? Seriuskah polisi menangani pendemi Covid19?

Terlalu banyak kesewenang-wenangan rezim ini terhadap rakyat. Rezim selalu merasa paling benar. Berbeda dengan pemimpin negara lain yang ksatria mengakui kesalahan.

Raja Yordania Abdullah II misalnya. Ia merestui pengunduran diri dua menteri yang telah melanggar aturan pengendalian Covid-19. Ini terjadi usai Perdana Menteri Yordania Bishr Al-Khasawneh meminta Menteri Dalam Negeri Samir Al-Mobaideen dan Menteri Hukum Bassam Al-Talhouni untuk mundur dari jabatan mereka.

Di Argentina, skandal antrean vaksin membuat Menteri Kesehatan Gines Gonzales Garcia dipecat langsung oleh Presiden Alberto Fernandez. Skandal tersebut memicu aksi unjuk rasa ribuan warga Argentina.

Di Amerika Serikat, dua menteri mundur lantaran tak bisa mencegah kericuhan pendukung Donald Trump di Capitol Hill, saat Kongres AS membahas hasil Pilpres AS yang dimenangi Joe Biden terus bergulir. Sebelumnya, sejumlah pejabat Gedung Putih juga mengundurkan diri akibat kerusuhan di Capitol Hill.

Pada awal Covid19 melanda Indonesia Juru Bicara Presiden Jokowi, Fadjroel Rachman, mengingatkan masyarakat untuk melakukan social distancing. Bagi yang masih nekat berkerumun bisa dikenakan hukuman penjara hingga 7 tahun.

Beberapa pasal bisa diterapkan sebagai bentuk pendisiplinan masyarakat terhadap social distancing ini. Fadjroel kemudian menutip Pasal 212 KUHP yang berisi imbauan untuk tidak berkumpul dan jika dibubarkan melakukan perlawanan. "Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan melawan seorang pejabat yang sedang menjalankan tugas yang sah, atau orang yang menuntut kewajiban undang-undang atau atas permintaan pejabat memberi pertolongan kepadanya, diancam karena melawan pejabat, dengan pidana penjara paling lama satu tahun," demikian bunyi Pasal 212 KUHP yang diunggah Fadjroel di akun Instagram miliknya, 29 Maret 2020.

Dalam beberapa hari ini masyarakat disibukkan dengan perebutan partai secara konyol dan brutal, sedangkan mereka sibuk menutupi kekurangannya dengan menciptakan kegaduhan demi kegaduhan.

Kerumunan KLB Moeldoko tidak dibubarkan polisi. Kerumunan Jokowi juga tidak diproses. Kerumunan Raffi Ahmad juga dibenarkan oleh penguasa bahwa Rafii hanya diundang, bukan penyelenggara. Banyak alasan untuk selalu membenarkan perilaku penguasa dan penjilatnya.

Kerumunan-kerumunan yang dilakukan penguasa dan penjilatnya – yang tidak diproses hukum - semakin menunjukkan bahwa wabah Covid19 seperti tidak mengerikan. Oleh karena itu pencegahan penangannya pun santai, guyon (bercanda), dan sesuai cara penguasa. Guyon yang paling menggelikan adalah anggaran penanganan Covid19 yang dikorupsi Menteri Sosial Juliari Peter Batubara. Publik geram, ada pejabat negara yang tega menggasak anggaran penanganan wabah. Publik makin terpingkal-pingkal ketika proses hukum terhadap sang koruptor penuh dengan intrik dengan mengabaikan peran sang Madame. Pasal sedang dipilih-pilih, tuduhan sedang direkayasa, dan kelak vonis pun sesuai selera.

Tak heran jika kemudian banyak masyarakat yang seenaknya melanggar protokoler kesehatan. Tak kaget pula jika banyak masyarakat yang menolak vaksinasi.

Jadi sesungguhnya penanganan Covid19 ini serius atau guyon sih? Kalau serius berlakukan secara adil dan beradab. Sedangkan kalau guyon katakan sejujurnya, guyon ya guyon biar masyarakat bisa ketawa bersama-sama. Janganlah ketawa pun dimonopoli satu pihak, biar seragam dan satu komando. Rakyat juga pingin ketawa biar imun meningkat. Tidak elok main monopoli. (sws)

1243

Related Post