Koran Got, BuzzeRp Jaman Orde Lama
Oleh Ridwan Saidi - Budayawan
18 juta sukarelawan dikumpulkan Front Pemuda siap untuk dikirim mengganyang Malaysia.
(Ini kliping koran Bintang Timur tanggal 25 Maret 1964 yang saya terima dari rekan sejarawan negara jiran).
Berita Bintang Timur itu bohong dan tidak logis. Bintang Timur ternasuk salah 1 koran kategori Koran Got versi Muchtar Lubis selain Harian Rakyat, Warta Bhakti, Suluh Indonesia, Pemuda, dll.
Koran Got dalam istilah sekarang buzzeRp.
Indonesia mau kirim 18 juta sukarelawan ke Malaysia jelas tak masuk di akal, makan saja susah.
Koran Bintang Timur mempunyai rubrik mingguan Lentera yang diasuh Pramudya Ananta Toer. Lentera ajang pembantaian seniman dan pengarang yang mereka tak sukai a.l Buya Hamka.
Cara bekerja Koran Got sama dengan BuzzeRp sekarang. Menulis gaya intelek tapi banyak memutar balik fakta, atau bohong 100%. Misal saja US Dollar dicetak tanpa koleteral. Kalau benar, kok di Indonesia di-kurs 14.300 rupiah. Jelas hoax, ini untuk kepentingan oligarkhi yang ketakutan melihat perkembangan econ Rusia dan pebisnisnya yang dengan mudah dihancurkan The West.
Aksi hari ini 11/4 mereka sadari sasaran strategisnya oligarki, yang lain2 cuma sasaran antara. Atau sekadar objek kocak2an. Untuk dapat mengendalikan sebuah executif versi oligarki memang yang dijadikan tokoh harus si Kocak.
Aksi hari ini tak direaksi buzzeRp karena mereka kaget dengan perubahan sikap pemerintah. Mulanya dimunculkan Wiranto yang memberi khobar bahwa beliau berhasil bikin insaf BEM Nusantara tentang penundaan pemilu dan perpajangan masa jabatan Presiden. Hanya beberapa jam setelah itu Menko Polhukam pimpin rapat dan kemudian menyatakan aksi 11 April jangan di-uthik2. Hal yang sama disampaikan Pamglina TNI dalam kesempatan berbeda. Lalu ada penjelasan pihak BEM Nusantara bahwa yang menemui Wiranto itu tak representatif.
Kalau tidak ada berada tak akan tempua bersarang rendah. Kata pepatah tua. Memang perintah ubah sikap terhadap 11/4 itu mengandung pertanyaan. Dan ini membuat buzzeRp cep kelakep disumpel salep.
Apa yang terjadi sesungguhnya di tataran elit politik, tak mudah dipahami. Panglima TNI dua kali bertemu Ketua DPD. Sedangkan Ketua DPR dan Ketia MPR, kata orang Betawi, kagak di-lirik2 acan. Ini betul2 persoalan politik yang menggoda untuk didalami. Moga2 bagus untuk Indonesia. (*)