KSP: Aspirasi Masyarakat Sipil Tak Terpisahkan dari DIM RUU TPKS
Jakarta, FNN - Deputi V Kantor Staf Presiden (KSP) Jaleswari Pramodhawardani menekankan pemerintah akan terus menampung masukan dan aspirasi masyarakat terkait Rancangan Undang-undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS).
Ia memastikan bahwa perspektif yang digali dari koalisi masyarakat sipil dan akademisi melalui konsultasi publik RUU TPKS mendapatkan perhatian serius dan dikaji secara mendalam sebagai bagian dari proses penyusunan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) oleh pemerintah.
“Masukan kelompok masyarakat sipil dan akademisi merupakan bagian tidak terpisahkan dalam proses penyusunan DIM oleh pemerintah. Kami ingin semua pihak turut serta dan aktif menyempurnakan substansi RUU TPKS,” kata Jaleswari usai menghadiri acara konsultasi publik RUU TPKS yang digelar secara hybrid di Jakarta, Jumat, sebagaimana siaran pers yang diterima.
Jaleswari yang merupakan Wakil Ketua Tim Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Pembentukan RUU TPKS ini menyampaikan bahwa kementerian/lembaga telah menyiapkan skema tindak lanjut untuk mendukung implementasi RUU TPKS ke depan.
Skema itu, di antaranya kajian pembentukan direktorat khusus untuk penanganan kasus kekerasan seksual di Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia serta Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) sebagai one-stop service bagi korban kekerasan seksual.
“Proses penyusunan DIM ini dikoordinasikan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dengan melibatkan berbagai kementerian/lembaga serta perwakilan kelompok masyarakat sipil dan akademisi. Kami dari pemerintah mengucapkan terima kasih terhadap kawan-kawan sipil serta akademisi,” ujar Jaleswari.
Dalam konsultasi publik yang dihadiri lebih dari 80 perwakilan masyarakat sipil dan akademisi tersebut, Joni Yulianto dari Forum Masyarakat Pemantau untuk Indonesia Inklusif Disabilitas (Formasi Disabilitas) menyampaikan bahwa korban kekerasan seksual disabilitas membutuhkan bentuk-bentuk penanganan dan pendekatan yang berbeda. Menurutnya RUU TPKS perlu menjamin hal tersebut.
“Difabel sering tidak menyadari dan tidak memahami tentang alat kontrasepsi bahkan tidak memahami pelecehan dan kekerasan seksual sehingga pendekatannya menjadi cukup berbeda, dari situlah saksi ahli dan profile assessment menjadi penting untuk menjelaskan hal-hal seperti ini,” kata Joni.
Selain itu, beberapa isu seperti kewajiban restitusi bagi pelaku, kehadiran lembaga pelayanan di kawasan pelosok dan terpencil, serta perlindungan komprehensif bagi korban kekerasan seksual di bawah umur menjadi perhatian utama para perwakilan masyarakat sipil dan akademisi.
“Kami mengapresiasi kerja keras tim pemerintah yang tidak berlama-lama menyiapkan DIM. Kami berharap untuk terus dilibatkan lebih jauh dalam diskusi-diskusi penting seperti ini dalam tim pemerintah dan mengawal bersama RUU TPKS saat pembahasan di DPR RI,” kata Ratna Batara Munti, Pengurus Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK). (sws)