LaNyalla: Negara Ini Makin Sekuler, Liberalis dan Kapitalis!
Jakarta, FNN - Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Muttalitti menegaskan, perjuangannya mengembalikan kedaulatan rakyat setelah ia bertransformasi menjadi pejabat negara.
Menurut wartawan senior FNN Hersubeno Arief dalam Kanal Hersubeno Point, Rabu (6/7/2022), hal ini disampaikan LaNyalla untuk menanggapi banyak pertanyaan dan komentar di media Sosial baik itu grup WA maupun di Twitter atau media sosial lainnya.
Ada banyak pertanyaan dari beberapa kalangan, mengapa LaNyalla akhir-akhir ini kritis dengan narasi-narasi fundamental tentang negara ini. Dulu-dulu LaNyalla kemana? “Begitu inti dari pertanyaan jika saya simpulkan,” tutur La Nyalla, selasa, 28 Juni 2022.
Berikut petikan jawaban LaNyalla yang disampaikan melalui Hersubeno Point secara lengkap:
Bagi saya pertanyaan-pertanyaan seperti itu wajar terutama bagi mereka yang tidak mengikuti perjalanan saya sejak dilantik menjadi ketua DPD RI pada tanggal 2 Oktober 2019 dini hari yang lalu.
Karena sejak saat itu saya menyadari betul bahwa saya telah melakukan transformasi posisi dari sebelumnya pengusaha menjadi pejabat negara dari sebelumnya aktivis organisasi di ormas menjadi pejabat negara di Lembaga Negara yang mewakili daerah maka sejak saat itu saya putuskan untuk keliling ke semua daerah di Indonesia.
Untuk apa? Untuk melihat dan mendengar langsung suara dari daerah. Agar lembaga DPD RI ini memiliki manfaat sebagai wakil daerah apalagi Lembaga ini dibiayai dari APBN meskipun jauh lebih kecil dibanding DPR RI.
Hampir satu tahun awal masa jabatan saya terus berkeliling daerah bahkan diawal Covid dan apa yang saya temukan ada dua persoalan yang hampir sama yaitu ketidakadilan yang dirasakan masyarakat dan kemiskinan struktural yang sulit dilepaskan.
Dari temuan itu, saya simpulkan bahwa dua persoalan tersebut adalah persoalan yang fundamental. Tidak bisa diatasi dengan pendekatan karitatif dan kuratif ibarat di dunia medis persoalan tersebut hanya simtom dari sebuah penyakit dalam
Saya berdiskusi dan berdialog dengan banyak orang kolega di DPD RI dan sahabat memang benar persoalan tersebut ada di Hulu bukan di Hilir. Ini tentang arah kebijakan negara yang dipandu melalui konstitusi dan ratusan undang-undang yang ada, sehingga sering saya katakan ini bukan persoalan pemerintah hari ini saja atau Presiden hari ini saja. Tetapi persoalan kita sebagai bangsa.
Oleh karena itu saat DPD RI menjadi penyelenggara sidang tahunan MPR pada 16 Agustus 2021 yang lalu saya mulai menyampaikan persoalan kebangsaan ke muka publik dalam sidang yang dihadiri semua lembaga negara saat itu. Termasuk Presiden dan Wakil Presiden.
Sejak saat itu saya terus-menerus meresonansikan bahwa kita harus melakukan koreksi atas arah perjalanan bangsa karena negara ini semakin hari semakin sekuler, liberal dan kapitalis.
Karena itu saya juga sampaikan berulang kali bahwa saya mengajak Semua pejabat negara untuk berpikir dan bertindak sebagai negarawan bukan politisi karena negarawan tidak berpikir Next Election. Tetapi berpikir Next Generation.
Saya menyadari betul bahwa sebagai pejabat negara saya disumpah untuk taat dan menjalankan konstitusi dan peraturan perundangan yang berlaku. Tetapi sebagai manusia saya dibekali akal untuk berfikir dan qalbu untuk berzikir. Sehingga saya selalu memadukan akal, pikir dan zikir.
Saya melihat ada persoalan di dalam konstitusi kita dimana kedaulatan rakyat di dalam sistem demokrasi perwakilan yang didisain oleh para pendiri bangsa sudah terkikis dan hilang bahkan kita telah meninggalkan Pancasila sebagai grondslag negara ini.
Puncak dari semua itu adalah saat kita melakukan amandemen konstitusi pada tahun 1999 hingga 2002 silam dengan cara yang ugal-ugalan dan tidak menganut pola adenddum, sehingga kita menjadi bangsa yang lain.
Karena itu wajar bila Profesor Kaelan dari UGM dari hasil penelitian akademiknya menyimpulkan bahwa amandemen 1999 hingga 2002 silam bukanlah amandemen atas konstitusi tetapi penggantian konstitusk.
Saya tidak perlu mengulas panjang lebar di sini silakan dibaca sendiri hasil penelitian tersebut..
tetapi yang pasti sejak amandemen itu semakin banyak lahir undang-undang yang menyumbang ketidakadilan dan kemiskinan struktural dan itulah yang saya temukan setelah saya berkeliling ke 34 provinsi di Indonesia.
Mengapa itu terjadi? Karena telah meninggalkan madzhab ekonomi, pemerataan dan meninggalkan perekonomian yang disusun atas azas kekeluargaan dengan membiarkan ekonomi tersusun dengan sendirinya oleh mekanisme pasar.
Kita telah meninggalkan ciri utama dari demokrasi Pancasila dimana semua elemen bangsa ini yang berbeda-beda harus terwakili sebagai pemilik kedaulatan utama yang berada di dalam sebuah lembaga tertinggi di negara ini.
Kita telah meninggalkan sistem demokrasi yang paling sesuai dengan watak dasar dan DNA bangsa yang super majemuk ini dimana demokrasi dilakukan dengan pendekatan konsensus bukan dengan pendekatan mayoritas.
Akibatnya tidak ada lagi ruang bagi elemen Civil Society nonpartisan untuk ikut menentukan arah perjalanan bangsa ini, karena hanya partai politik yang pada prakteknya menjadi penentu.
Sehingga Pancasila sekarang seperti zombie, Walking Dead atau istilah lainnya Pancasila Not Found dan negara ini akhirnya dibajak oleh bertemunya oligarki ekonomi dengan oligarki politik.
Inilah yang saya sebut dengan kita sebagai bangsa telah durhaka kepada para pendiri bangsa, telah durhaka kepada para pahlawan yang merelakan nyawanya dengan dua pilihan kata saat itu, yaitu; Merdeka atau Mati ! Sebuah semboyan yang kini terasa absurd.
Padahal itu semua mereka lakukan demi kemerdekaan, demi perwujudan kecintaan pada tanah air dan demi satu harapan mulia agar tumbuh generasi yang lebih baik.
Tetapi hari ini yang tumbuh adalah oligarki ekonomi yang menyatu dengan oligarki politik yang menyandera kekuasaan agar negara tunduk dalam kendali mereka.
Bagi saya untuk memperbaiki Indonesia harus dimulai dengan murnikan kembali demokrasinya artinya mengembalikan demokrasi yang selama ini digenggam kalangan oligarkis yang rakus kepada kaum intelektual yang beretika, bermoral dan berbudi pekerti luhur.
Karena kita merdeka oleh kaum intelektual, kaum yang beretika, kaum yang bermoral dan berbudi pekerti luhur yaitu para pendiri bangsa kita bukan partai politik, karena berdirinya partai politik sebagai bagian dari tata negara adalah setelah wakil presiden Muhammad Hatta mengeluarkan maklumat Wakil Presiden pada tanggal 3 November 1945.
Maklumat itu pun diberi Restiksi yang sangat jelas dan tegas bahwa partai politik memiliki kewajiban untuk memperkuat perjuangan, mempertahankan kemerdekaan dan menjamin keamanan rakyat.
Sehingga maknanya jelas "Partai politik memiliki kewajiban untuk ikut memperjuangkan visi dan misi dari lahirnya negara ini, di mana reksinya jelas tercantum di alinea kedua Pembukaan konstitusi yaitu untuk menjadi negara yang merdeka, bersatu berdaulat, adil dan makmur, sedangkan misi negara juga jelas tertulis di alinea keempat Pembukaan konstitusi kita yaitu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia perdamaian abadi dan keadilan sosial".
Saya meyakini masih banyak kader partai politik yang memiliki idealisme yang sangat ideologis dengan platform perjuangan partainya tetapi dengan mekanisme pemilihan anggota DPR yang memberikan peluang kepada peraih suara terbanyak maka mereka seringkali tersingkir dalam pemilu karena keterbatasannya.
Saya juga meyakini masih ada anggota DPR RI yang masih memiliki idealisme yang sangat ideologis dengan Papua perjuangan partainya tetapi dengan mekanisme satu suara fraksi dan aturan recal, serta ancaman PAW tentu melemahkan perjuangan tersebut.
Dan bangsa ini sudah tidak mengerti lagi kedalaman makna dari kata Republik yang dipilih oleh para pendiri bangsa sebagai bentuk dari negara ini padahal dalam kata Republik tersimpul makna filosofis yang sangat dalam yakni Res publica yang artinya kemaslahatan bersama dalam arti seluas-luasnya.
Itulah mengapa kesadaran kebangsaan ini harus kita resonansikan kepada seluruh elemen bangsa ini bahwa kedaulatan rakyat harus kita rebut kembali, karena rakyat adalah pemilik sah negara ini.
Silakan partai politik sibuk menyusun koalisi tetapi rakyat juga berhak menyusun polisi yaitu kualisi rakyat bersatu untuk perubahan Indonesia yang lebih baik.
Saya berharap para mantan aktivis progresif yang sekarang menjadi komisaris-komisaris di BHMN dan pejabat negara tidak berubah menjadi taqlid buta sehingga menjadi pejuang anti perubahan dan menjadi politisi yang berpikir keras tentang Next Elextion. (mth/sws)