LaNyalla: Pasal 33 UUD 1945 Cetak Biru Negara Kesejahteraan
Jakarta, FNN - Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, menegaskan Pasal 33 UUD 1945 ayat 1, 2 dan 3 adalah konsepsi asli pemikiran para pendiri bangsa untuk mewujudkan Indonesia sebagai welfare state atau negara kesejahteraan.
Welfare state sendiri berarti negara dengan konsep pemerintahan yang mengambil peran penting dalam perlindungan dan pengutamaan kesejahteraan ekonomi dan sosial warga negaranya.
Penegasan tersebut disampaikan LaNyalla secara virtual dalam Dialog Publik Nasional Dies Natalis Juris Polis Institute (JPI) ke-1 di Jakarta, Ahad, 20 Maret 2022.
“Itulah pemikiran luhur para pendiri bangsa ini, sehingga Pasal 33 di dalam UUD 145 Naskah Asli disebut dalam Bab Kesejahteraan Sosial. Karena muara dari perekonomian yang harus disusun oleh negara ini adalah kesejahteraan sosial,” ujarnya.
Pasal tersebut dengan jelas mengatur bagaimana kekayaan alam negara ini, yang menyangkut hajat hidup orang banyak diatur hingga dikelola oleh negara.
Oleh karena itu, LaNyalla sering mengkritik konsep perizinan pertambangan dan konsep perizinan konsesi lahan yang diberikan negara kepada swasta dengan sangat murah dan tidak sepadan dengan sumber daya alam yang dikuras habis.
“Perusahaan tambang swasta hanya bermodal selembar Surat Izin Usaha Produksi, yang mungkin dikeluarkan dengan biaya yang sangat murah, sudah bisa menguasai puluhan hektar wilayah yang mengandung ratusan juta kubik ton mineral yang ada di dalam tanah. Lalu perusahaan tersebut listing di bursa saham, dan menawarkan kepada dunia, bahwa mereka memiliki ratusan juta kubik mineral berharga,” katanya.
Dari proses itu, perusahaan mendapat dana di depan dari para pembeli saham mereka di lantai bursa. Sedangkan negara hanya mendapat royalti dan bea ekspor yang masuk ke kas negara yang diberi nama Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).
“Mau tahu berapa besarnya PNBP dari situ? Tahun 2020 lalu, Kementerian ESDM mencatat uang yang masuk ke negara dari pertambangan mineral dalam setahun sebesar Rp 35 triliun. Padahal yang disebut pertambangan mineral itu mencakup Batubara, Nikel, Bijih Nikel, Emas, Perak, Bauksit, Timah, Tembaga, Granit dan lain-lain. Jadi siapa yang makmur kalau begitu,” katanya.
Begitu juga dengan pendapatan negara dari perkebunan sawit. Padahal, negara telah memberikan izin konsesi lahan sekitar 16 juta hektar. Pada 2020, pendapatan yang masuk ke negara tercatat sekitar Rp 20 triliun. Padahal devisa ekspor perusahaan-perusahaan sawit tersebut yang tercatat di Bank Indonesia mencapai angka di kisaran Rp 350 triliun dalam setahun.
“Ini hanya secuil dari contoh pentingnya rekonseptualisasi arah pembangunan nasional dalam perekonomian bangsa ini. Oleh karena itu, kita harus berani bangkit. Harus berani melakukan koreksi. Bahwa Sistem Ekonomi Pancasila yang sudah kita tinggalkan mutlak dan wajib kita kembalikan. Tanpa itu, negeri ini hanya akan dikuasai oleh oligarki yang rakus menumpuk kekayaan,” katanya.
LaNyalla menjelaskan, idealnya ekonomi Indonesia disusun dan dijalankan oleh tiga entitas yang saling mendukung dan menjaga. Tiga entitas itu ibarat kapal laut, punya tiga palka. Palka pertama adalah Koperasi atau Usaha Rakyat, Palka kedua adalah BUMN atau BUMD dan BUMDes, dan Palka ketiga adalah Swasta murni, baik nasional maupun asing.
“Koperasi atau usaha rakyat adalah entitas bisnis yang dapat dijalankan oleh rakyat di sebuah wilayah atau daerah. Artinya, selama rakyat di suatu wilayah mampu mengorganisir dirinya dan berserikat untuk memiliki alat produksi melalui usaha bersama, atau koperasi, maka negara wajib memberikan perlindungan. Sehingga harus ada cluster pertambangan rakyat, perkebunan rakyat, perikanan rakyat dan sejenisnya,” ujar LaNyalla.
Sedangkan BUMN, BUMD atau BUMDes, lanjut LaNyalla, adalah garda terdepan negara dalam menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi hajat hidup orang banyak. “BUMN harus menjalankan tugas suci negara untuk kemakmuran rakyat,” tuturnya.
Oalka ketiga, swasta baik nasional maupun asing, diberi ruang di luar sektor-sektor strategis tersebut. Kecuali bila swasta bekerjasama dengan BUMN, dengan porsi yang tetap dalam koridor penguasaan negara atas cabang-cabang yang penting bagi hajat hidup orang banyak, atau yang ditujukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. (Rahmi Aries Nova/FNN).