LBP, Menyerahlah!

Luhut Binsar Pandjaitan.

Oligarki saat ini jelas adalah musuh bersama bagi kita. Dengan eksistensinya yang kerap tersamar, mereka sejatinya adalah imagined enemy. Untuk itu diperlukan penguatan kesadaran bagi siapa saja akan bahaya oligarki ini.

Oleh: Sutoyo Abadi, Koordinator Kajian Politik Merah Putih

ISU info yang konon didapat dari putrinya Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) langsung, bahwa ayahnya akan segera memilih pensiun dan meletakan seluruh jabatannya lalu tinggal di luar negeri (namun tidak diberitahu di negara mana?), beredar masif di media sosial (dunia maya).

Info tersebut tentu tidak bisa serta merta untuk dipercaya, karena watak sikap politik selalu diselimuti wajah abu-abu dan bisa saja bentuk lain, hanya Test the Water.

Posisi LBP yang telah menjadi common enemy rakyat dan khususnya umat Islam tidak bisa dinafikan dari stigma pejabat negara yang kekuasaannya melebihi peran Presiden. Bahkan, telah menempel status sebagai Riil Presiden dan Komandan Oligarki di Indonesia.

Kebencian pada umat Islam ditandai dengan rekayasa pengendalian Covid-19 sebagai instrumen mengatur ibadah umat Islam, sementara LBP beragama Kristen, kecurigaan umat Islam bisa mengarah SARA yang berbahaya.

Bahwa LBP membawa misi Yahudi untuk menyerang, melemahkan dan ingin menghancurkan umat Islam. Di samping stigma yang melekat perannya sebagai leader Oligarki.

Watak LBP adalah watak Oligarki yang menempatkan kepentingan diri dan kroninya di atas segalanya, sehingga manakala ada kebaikan yang mungkin ditimbulkan untuk khalayak, itu lebih sekadar efek (yang kebetulan saja). Atau memang sengaja dirancang, namun tetap dalam rangka mengamankan kepentingan mereka saat ini atau jangka panjang.

Mereka tidak segan-segan lagi memainkan banyak peran. Dalam situasi yang mengharuskan mereka terlihat membela demokrasi dan orang banyak, para oligarki tidak segan melakukan itu. 

Watak oligarki yang agile, adaptif, oportunis dan pastinya memiliki kesadaran politik tinggi. Hal yang menyebabkan mereka terus bisa eksis dan tidak mudah ditaklukan, sekelompok kecil pemilik kapital yang sangat besar, yang telah kehilangan sentuhan spirit equality (persamaan), karena terbenam dalam jerat kekuasan segelintir orang.

Di atas kendalinya praktik oligarki bukannya semakin melemah melainkan saat ini semakin kuat dan arogan menindas rakyat dan merusak tatanan negara sekaligus dengan rakusnya menguasai, mengendalikan dan menguras sumber daya alam negara.

Keberadan oligarki adalah salah satu benalu yang mewarnai kehidupan politik bangsa ini. Bahkan, berpotensi akan merusak negara karena semua aturan negara harus sesuai kehendaknya.

Manakala pemerintahan atau penguasa mulai menggantungkan diri dan memberikan fasilitas kepada mereka, maka segera negara akan bergantung pada mereka. Akibatnya virus itu menjadi aktif dan menjalar kemana-mana.

Situasi ini diperburuk dengan meredupnya kemandirian partai-partai. Sejak tahun 1970-an akhir, lambat tapi pasti partai-partai makin mengandalkan campur tangan “orang kuat” atau pihak eksternal.

Akibatnya menjadi eksklusif, berorientasi top-down, dan akhirnya bergantung juga pada pemerintah dan kroni-kroninya. Dengan kata lain partai-partai itu makin tidak berdaya dalam genggaman Oligarki.

Partai menjadi sekadar aksesoris demokrasi yang tidak lagi berpijak kuat di akar rumput. Di sisi lain, masa awal hingga pertengahan 1990-an, negara pun telah semakin bergantung pada oligarki, yang diantaranya telah menjadi pemain aktif di parlemen dan pada partai penguasa.

Dalam rangka mempertahankan kekuasaan yang dibungkus dengan semangat pembangunan, rezim menyolidkan kelompok-kelompok pengusaha besar dalam barisan pendukungnya. Indonesia pun lengkap terjajah.

Daya rusak yang ditimbulkan oligarki meliputi banyak dimensi. Tidak saja dalam moral politik yang saat ini makin terabaikan dan melahirkan petualang-petualang politik tanpa etika, namun pula terkait dengan tercerabutnya hak-hak masyarakat adat.

Bukan saja terkait dalam soal meranggasnya pelaksanaan rule of law, namun juga kerusakan lingkungan fatal dengan kerugian material dan immaterial yang fantastis. Tidak saja merenggut hakekat demokrasi substansial, namun pula menggerus rasa keadilan sosial.

Oligarki saat ini jelas adalah musuh bersama bagi kita. Dengan eksistensinya yang kerap tersamar, mereka sejatinya adalah imagined enemy. Untuk itu diperlukan penguatan kesadaran bagi siapa saja akan bahaya oligarki ini.

Manakala ide besar oligarki sebagai musuh bersama bisa bergulir dan mudah-mudahan pada akhirnya bisa menguasai benak kebanyakan masyarakat kita, terutama generasi muda. Kita tidak perlu ragu, sebab perubahan besar kerap berawal dari soal yang sederhana, kadang hanya dari sekadar wacana.

“Seorang pemain catur pemula segera belajar bahwa mengendalikan pusat papan caturnya adalah ide yang baik. Kesadaran ini akan muncul kembali secara tersamar dalam situasi yang jauh dari papan catur. Mungkin ada baiknya kita mencari hal yang setara degan pusat papan caturnya dalam situasi apapun, atau melihat bahwa peran pusatnya telah bergeser ke pinggir, atau menyadari bahwa tidak ada papan caturnya dan tidak ada tipologi tunggal ...” (Claude On Strategy, Tiga Von Ghyzy, Bolko Von Oetinger, ChristopherBassford, Eds., 2001).

Sama dan sebangun dengan kuasa Oligarki dan China di Indonesia yang sulit untuk diajak kompromi karena memang ada pusat papan catur yang tidak bisa diajak kompromi.

Justru yang terlahir para jongos yang sudah membabi buta – situasi tidak akan bisa dilawan dengan petisi dll. Jalan keluarnya rebut kembali tanpa kompromi.

Pilihan bagi LBP dan geng Oligarki – terus bertahan dan akan dihancurkan rakyat atau meninggalkan Negara ini sebelum situasi terburuk terjadi dan menimpa dirinya. (*)

628

Related Post